*Klan Ba’alwi dan Ironi Sejarah PKI: Menuduh, Tapi Melupakan Jejak Sendiri*
Tudingan bahwa para pengkritik nasab Ba’alwi berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) belakangan kembali mengemuka. Tuduhan itu kerap dilontarkan oleh sebagian kalangan Ba’alwi dan kelompok pendukungnya (mukibin), setiap kali klaim keturunan mereka dipertanyakan. Namun, sejarah mencatat hal yang justru sebaliknya.
Fakta menunjukkan, salah satu tokoh utama PKI, Dipa Nusantara Aidit, berasal dari keluarga bermarga Aidid—marga yang terhubung langsung dengan klan Ba’alwi asal Hadramaut, Yaman. Hubungan ini dikonfirmasi oleh putra D.N. Aidit sendiri, yang menyatakan bahwa keluarganya adalah bagian dari diaspora Arab-Yaman di Indonesia.
Namun, tak seperti tokoh-tokoh lain yang sering diklaim sebagai keturunan Ba’alwi—seperti Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, hingga tokoh keraton Jawa—nama D.N. Aidit seolah dihapus dari narasi nasab mereka. Mengapa?
*Jejak Komunis dari Hadramaut hingga Jakarta*
D.N. Aidit bukan satu-satunya figur dari klan Ba’alwi yang memiliki keterkaitan dengan PKI. Nama-nama seperti Ahmad Sofyan Baraqbah (anggota parlemen dari PKI) dan Fahrul Baraqbah (kader penting PKI) tercatat dalam sejarah politik partai tersebut. Ini menegaskan bahwa keterlibatan klan Ba’alwi dalam PKI bukanlah kasus tunggal, melainkan bagian dari dinamika politik internal mereka.
Keterkaitan ini bukan hanya fenomena lokal. Republik Demokratik Rakyat Yaman (1967–1990), yang merupakan negara komunis pertama di dunia Arab, berdiri di wilayah asal klan Ba’alwi: Hadramaut. Sejarah ini menambah dimensi baru dalam memahami posisi ideologis sebagian keturunan Ba’alwi di masa lalu.
*Ulama Pribumi Jadi Korban, Ba’alwi Aman?*
Pertanyaan kritis muncul: jika Ba’alwi benar-benar berdiri di barisan pembela Islam, mengapa tak ada satu pun ulama Ba’alwi yang tercatat sebagai korban kekejaman PKI? Sementara itu, ratusan ulama dari Masyumi dan Nahdlatul Ulama (NU)—yang mayoritas adalah pribumi—menjadi target utama pemberontakan 1948 dan 1965.
Absennya nama-nama ulama Ba’alwi dari daftar korban menimbulkan pertanyaan: apakah karena sebagian dari mereka justru berada di lingkaran dalam partai tersebut?
*Narasi Palsu, Pengalihan Isu*
Tuduhan bahwa pengkritik nasab Ba’alwi adalah antek PKI tampaknya lebih merupakan strategi pengalihan isu. Sebab, fakta sejarah justru menunjukkan bahwa tokoh-tokoh Ba’alwi sendiri memiliki hubungan dengan PKI, baik sebagai pimpinan, anggota parlemen, maupun kader aktif.
Alih-alih menjawab secara ilmiah atau membuktikan klaim nasab dengan data faktual—termasuk DNA atau dokumen sejarah resmi—narasi “anti-Ba’alwi = PKI” digunakan untuk membungkam kritik.
*Edukasi Sejarah yang Jujur*
Masyarakat berhak tahu kebenaran. Upaya mempertahankan kehormatan leluhur seharusnya tidak dibangun di atas pelintiran sejarah. Sebaliknya, keterbukaan terhadap fakta dan kesediaan dikritik adalah ciri kaum terpelajar.
Sudah saatnya umat Islam dan masyarakat Indonesia membaca ulang sejarah secara objektif, tanpa fanatisme nasab dan tanpa kebohongan tambahan untuk menutup kebohongan lama.