*“Dekonstruksi Klaim Ba’alwi: Membongkar Distorsi Sejarah demi Jati Diri Bangsa”*
Di tengah geliat pembangunan dan transformasi sosial, ada satu ancaman yang kerap luput dari perhatian: hilangnya jati diri bangsa. Ancaman ini tidak datang dalam bentuk serangan fisik, tetapi hadir dalam narasi—yang perlahan-lahan mengikis kesadaran sejarah dan mengaburkan identitas.
Salah satu bentuk ancaman itu adalah klaim bahwa klan Ba’alwi merupakan dzurriyat Nabi Muhammad SAW. Sepintas, ini tampak sebagai urusan internal sebuah komunitas. Namun jika ditelaah lebih dalam, klaim ini telah melahirkan distorsi sejarah, pembajakan identitas, dan manipulasi kesadaran publik atas nama kesucian.
Klan ini tidak sekadar mengklaim keturunan Nabi, tetapi juga menyusupkan narasi bahwa para pahlawan bangsa seperti Pangeran Diponegoro dan Tuanku Imam Bonjol berasal dari garis keturunan mereka. Mereka memalsukan makam-makam leluhur pribumi, mengganti silsilah tokoh-tokoh Nusantara, dan menyebarkan doktrin bahwa Indonesia ini “milik Tarim”—dan bangsa kita hanyalah “anak-anak pintu” dari negeri Yaman.
Ini bukan sekadar kesalahan tafsir sejarah. Ini adalah proyek jangka panjang untuk menguasai ruang simbolik, memanipulasi rasa hormat masyarakat lewat narasi spiritualitas yang tidak berbasis kebenaran ilmiah. Dan celakanya, narasi ini berhasil menancap kuat karena dibungkus dengan simbol suci.
Padahal, secara ilmiah klaim tersebut telah banyak dibantah. Dari sisi genetika, penelitian yang melibatkan pakar dunia seperti Dr. Michael Hammer dari University of Arizona mengungkap bahwa garis keturunan Nabi Muhammad SAW berasal dari haplogroup J1. Sementara beberapa individu dari klan Ba’alwi yang diuji DNA-nya justru berasal dari haplogroup G—yang secara genetik tidak memiliki keterhubungan dengan bangsa Arab Quraisy.
Kajian sejarah dan filologi juga memperkuat bantahan tersebut. Prof. Dr. Manachem Ali, filolog dari Universitas Airlangga, menunjukkan bahwa figur sentral dalam silsilah Ba’alwi—yakni Alawi bin Ubaidillah—tidak ditemukan dalam manuskrip-manuskrip sejarah primer abad-abad awal Islam. Nama itu baru muncul dalam dokumen abad ke-9 Hijriyah, tanpa sanad atau bukti historis yang sahih. Bahkan, narasi tentang jalur nasab ini lebih banyak bersumber pada karya-karya yang tidak bisa diverifikasi secara akademik.
Penelitian serupa dilakukan oleh KH Imaduddin Utsman al Bantani yang mengkaji silang antara dokumen klasik, bukti lapangan, hingga temuan genetik. Ia menyimpulkan bahwa klaim dzurriyat oleh klan Ba’alwi tidak memiliki legitimasi ilmiah maupun keabsahan dalam sejarah Islam klasik.
Namun, mengapa kebohongan ini tetap hidup? Karena di negeri yang masih takjub pada gelar-gelar religius dan simbol-simbol spiritual, klaim suci menjadi alat efektif untuk menguasai kesadaran publik. Lewat jaringan dakwah, panggung keagamaan, bahkan institusi pendidikan, klaim ini disusupkan perlahan hingga akhirnya diterima tanpa pertanyaan.
Ini berbahaya. Bangsa yang kehilangan jati dirinya akan mudah dikendalikan dan diarahkan. Ia akan ragu melangkah karena tak tahu dari mana ia berasal. Maka perjuangan melawan klaim palsu semacam ini bukan sekadar urusan nasab, melainkan bagian dari upaya mempertahankan martabat bangsa.
Sejarah bangsa ini dibangun oleh darah dan air mata leluhur kita sendiri—bukan oleh klaim dari luar yang datang belakangan lalu mengaku pemilik rumah. Kita perlu bersikap tegas: jangan biarkan satu kebohongan terus-menerus dilanggengkan hanya karena dibungkus dengan jubah kesalehan.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang tahu siapa dirinya. Maka perjuangan hari ini adalah perjuangan menjaga memori kolektif, menolak narasi palsu, dan membangun kesadaran bahwa budaya, sejarah, dan jati diri bangsa harus dilindungi dari infiltrasi simbolik yang membahayakan masa depan.
Sudah saatnya kita berkata cukup. Cukup membiarkan manipulasi sejarah mengakar. Cukup membiarkan simbol-simbol suci digunakan sebagai alat pembenaran kekuasaan. Jika kita benar-benar mencintai negeri ini, maka kebenaran harus ditegakkan, walau berat dan tak populer.
Ini bukan tentang kebencian. Ini adalah tentang cinta pada kebenaran. Cinta pada bangsa yang besar ini. Dan cinta pada sejarah yang hendak mereka hapuskan.
—
Penulis adalah pemerhati sejarah dan budaya, aktif menyuarakan pentingnya integritas budaya dalam membangun bangsa.
—