*“Neo-Fatimiyah di Tanah Jawa: 7 Langkah Senyap Klan Ba’alwi Menundukkan Nusantara”*
*Dengan simbol cinta Ahlul Bait, jaringan Ba’alwi menyusup ke relung budaya, sejarah, dan keagamaan Indonesia. Di balik kerudung “Habib”, benarkah ada ambisi menanamkan ulang imperium Syiah seperti Dinasti Fatimiyah?*
—
Mereka datang bukan dengan meriam atau panji-panji militer. Tapi dengan sorban putih, kisah leluhur yang ditinggikan, dan doktrin cinta pada keturunan Nabi. Namun, di balik dakwah yang terdengar menyejukkan itu, tersimpan proyek panjang: rekayasa sejarah, penguasaan narasi keagamaan, hingga distorsi identitas bangsa.
Ini bukan teori konspirasi picisan. Beberapa pengamat sejarah, pakar filologi, dan peneliti genetik telah lama mempertanyakan kredibilitas jalur nasab klan Ba’alwi yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW dari jalur Fatimah az-Zahra. Ironisnya, klaim ini sangat mirip dengan taktik lama Dinasti Fatimiyah—dinasti Syiah Ismailiyah yang pernah menguasai Mesir dan Afrika Utara (909–1171 M), yang didirikan oleh Ubaidillah al-Mahdi, sosok yang belakangan diketahui menyambung nasabnya secara palsu ke Rasulullah.
Kini, ribuan kilometer dari Kairo, “bayangan Fatimiyah” itu seperti hendak dibangkitkan di tanah Jawa, dengan metode yang lebih halus namun dampaknya tak kalah dahsyat.
*Berikut 7 strategi Ba’alwi yang patut dicermati publik Indonesia:*
—
*1. Memalsukan Makam, Menanam Jejak Palsu*
Dari Jawa hingga Kalimantan, makam-makam “Habib” bermunculan. Menurut penelusuran KH Imaduddin Utsman al-Bantani, banyak di antaranya tidak memiliki catatan silsilah sah. “Kuburan diklaim sebagai keturunan Nabi tanpa bukti filologis dan historis yang valid,” kata Imaduddin. Tujuannya? Membangun persepsi bahwa tanah ini telah diwariskan pada mereka sejak dahulu.
—
*2. Merombak Narasi Sejarah Nasional*
Klaim bahwa Walisongo dan para pahlawan nasional berasal dari Ba’alwi makin santer. Bahkan ada yang menyebut Pangeran Diponegoro sebagai keturunan Hadramaut. “Ini bukan klaim biasa, tapi proyek rekayasa sejarah,” ujar sejarawan Prof. Dr. Anhar Gonggong. Jika tidak dihentikan, narasi ini bisa mengubah arah pendidikan sejarah nasional.
—
*3. Menciptakan Doktrin Khurafat*
Narasi “karomah ekstrem” seperti leluhur Ba’alwi bisa mi’raj 70 kali semalam atau memadamkan api neraka dengan jari kelingking, mulai menjadi dogma di sebagian masyarakat. “Ini upaya pengkultusan yang melemahkan akal kritis umat Islam,” tegas Prof. Dr. Manachem Ali, filolog Universitas Airlangga.
—
*4. Mempengaruhi Umat Lewat Cerita Mistis*
Banyak cerita khurafat digunakan untuk menarik simpati muhibbin: mulai dari malaikat ditampar oleh leluhur Ba’alwi karena mengganggu tidur, hingga jaminan surga lewat surat sakti dari seorang Habib. “Ini jelas bukan Islam Ahlussunnah wal Jamaah,” kata Sayyid Qosim Al-Hasani dari Madinah.
—
*5. Merendahkan Kiai dan Ulama Pribumi*
Dengan narasi bahwa “Habib bodoh lebih utama dari 70 ulama Jawa,” klan ini membangun kasta baru dalam Islam Indonesia. Ini bentuk kolonialisme budaya yang menistakan para pejuang Islam lokal yang sesungguhnya.
—
*6. Menggunakan Mimbar untuk Adu Domba*
Di berbagai orasi, beberapa tokoh Ba’alwi tampil bak jenderal spiritual: menyerang tokoh-tokoh bangsa, memprovokasi umat, dan menciptakan rasa tidak percaya pada negara. Di satu sisi, mereka bicara cinta tanah air. Di sisi lain, mereka menabur benih konflik horizontal.
—
*7. Memainkan Isu PKI untuk Framing Politik*
Ironisnya, isu PKI yang dihembuskan oleh sebagian orator Ba’alwi ternyata justru berbalik arah. Sebab tokoh utama PKI seperti D.N. Aidit dan Muso disebut-sebut memiliki darah Ba’alwi. “Ini manipulasi sejarah yang menertawakan logika,” ujar peneliti senior Dr. Sugeng Sugiarto, spesialis genetika sejarah.
—
*Kebangkitan Neo-Fatimiyah?*
Jika ditarik benang merahnya, semua pola itu mirip dengan taktik Dinasti Fatimiyah: membentuk loyalitas berbasis nasab, membangun kepercayaan dengan kisah sakral, lalu menguasai struktur sosial dan politik. Kini, di Nusantara, benih itu tumbuh subur dalam berbagai bentuk yayasan, thariqah, dan organisasi lintas negara.
“Ini bukan semata soal agama, tapi tentang kedaulatan identitas bangsa,” kata KH Imaduddin Utsman al-Bantani. “Dan setiap warga negara berhak dan wajib menyuarakan perlawanan terhadap kolonialisme baru.”
—
Satu Kata: LAWAN.
—