*Boikot Bodoh yang Merugikan Sesama Muslim: Tanggapan terhadap Penyegelan Gerai Alfamart di Ciamis*
Tanggal 13 Juni 2025, masyarakat Indonesia kembali dihadapkan pada tontonan ironi. Sebuah video yang viral di media sosial menunjukkan aksi sekelompok orang—yang mengaku santri dan ulama—melakukan penyegelan terhadap salah satu gerai Alfamart di Kecamatan Rajadesa, Kabupaten Ciamis. Mereka membawa spanduk “Boikot Produk Israel” sambil menempelkan stiker “Disegel” di pintu gerai, dengan dalih solidaritas terhadap Palestina.
Tindakan ini mengundang pertanyaan besar: di mana letak akal, hikmah, dan akhlak dalam bentuk protes yang semestinya mewakili nilai-nilai Islam?
*1. Gerakan Boikot Tidak Sama dengan Aksi Premanisme*
Fatwa MUI Nomor 83 Tahun 2023 yang dijadikan rujukan oleh kelompok ini tidak pernah menginstruksikan untuk melakukan penyegelan atau penutupan paksa terhadap toko-toko. Fatwa itu menganjurkan umat Islam untuk tidak membeli produk yang mendukung agresi Israel, bukan melakukan tindakan sepihak yang merugikan warga lain.
Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin, salah satu tokoh ulama NU dan penggagas fatwa-fatwa MUI sebelumnya, dalam banyak kesempatan menegaskan bahwa fatwa bukan hukum positif negara. Ia bersifat anjuran, bukan paksaan. Maka memaksakan fatwa dengan tindakan koersif adalah bentuk penyimpangan fatwa itu sendiri.
*2. Tasawuf Mengajarkan Hikmah, Bukan Huru-Hara*
Dalam dunia tasawuf, protes bukan dilakukan dengan amarah. Ulama besar seperti Imam Abu al-Qasim al-Qusyairi dalam Risalah Qusyairiyah menekankan bahwa seorang sufi sejati adalah yang menahan nafsunya dalam menghadapi kedzaliman, dan mengubah keadaan dengan hikmah dan kelembutan, bukan dengan kekerasan yang menyakitkan umat lain.
Penyegelan gerai milik pengusaha lokal dan dijaga oleh karyawan Muslim, yang sedang mencari nafkah halal untuk anak-istrinya, adalah perbuatan zalim. Menurut Syaikh Ibnu Athaillah dalam Al-Hikam, “Tidak akan berkah tindakan yang lahir dari ego dan bukan dari ilmu.” Apa yang terjadi di Ciamis bukanlah bentuk kecintaan pada Palestina, tapi ekspresi kesembronoan berjubah agama.
*3. Bela Palestina Tidak Berarti Menghancurkan Ekonomi Bangsa Sendiri*
Jika tujuan utama mereka adalah memerangi dominasi ekonomi global pro-Israel, mengapa bukan mendorong persaingan bisnis yang adil dan sehat? Mengapa tidak membentuk koperasi umat, mendirikan toko pesaing, atau memperkuat UMKM lokal?
- Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, ketika melihat umat Islam tertinggal, tidak turun ke jalan menyegel toko kolonial. Beliau justru mendirikan sekolah, rumah sakit, dan bisnis mandiri umat. Inilah jalan elegan dan solutif.
*4. Akhlak Lebih Tinggi daripada Emosi*
Rasulullah SAW tidak pernah mengajarkan umatnya untuk mengekspresikan protes dengan merusak atau menyakiti pihak yang tidak bersalah. Bahkan dalam perang, Islam melarang membunuh wanita, anak-anak, dan merusak pohon. Maka, bagaimana bisa kita mengklaim membela Palestina namun menyakiti pedagang kecil di negeri sendiri?
Dalam kitab Bidayatul Hidayah, Imam al-Ghazali mengingatkan:
“Bukan termasuk jalan hidayah orang yang mengaku cinta Allah namun menyakiti hamba-Nya yang tak bersalah.”
Aksi penyegelan seperti di Rajadesa itu adalah aib, bukan amal shalih.
*5. Jalan Protes yang Elegan dan Cerdas*
Jika ingin serius membela Palestina, lakukan dengan strategi berikut:
- Himbau konsumen untuk berpindah ke produk nasional tanpa menyakiti pelaku usaha lain.
- Bangun jejaring bisnis Muslim yang profesional dan transparan.
- Edukasi masyarakat dengan kajian terbuka, bukan amarah tertutup.
- Dorong wakil rakyat dan negara untuk mengambil sikap diplomatik dan ekonomi yang jelas terhadap Israel.
Seperti dikatakan Gus Baha’, “Kalau kamu ingin melawan, jangan dengan kemarahan yang memalukan. Lawan dengan ilmu dan amalmu yang menjadikanmu lebih baik.”
*Boikot Tak Berarti Membabi Buta*
Bela Palestina bukan berarti harus menjadi bodoh. Tidak semua minimarket menjual produk pro-Israel. Bahkan jika pun ada, kita harus menyampaikan aspirasi dengan cara beradab dan berdasarkan hukum yang berlaku. Apalagi jika pemilik dan karyawannya sesama Muslim, maka menutup rezeki mereka dengan alasan boikot adalah kebodohan yang memalukan dan menzalimi umat sendiri.
Jangan sampai, dengan semangat membela Palestina, kita justru menganiaya rakyat Indonesia. Islam tidak pernah mengajarkan itu. Mereka yang mengaku santri dan ulama seharusnya menjadi contoh akhlak, bukan justru mempermalukan Islam di depan publik.
*Referensi:*
- Fatwa MUI No. 83 Tahun 2023
- Imam al-Ghazali – Bidayatul Hidayah
- Imam Abu al-Qasim al-Qusyairi – Risalah Qusyairiyah
- Syaikh Ibn ‘Athaillah as-Sakandari – Al-Hikam
- KH Ahmad Dahlan dan Riwayat Muhammadiyah
- Ceramah Gus Baha’ dan KH. Ma’ruf Amin