PWI–LS dan Perlawanan atas Distorsi Sejarah: Ketika Para Ulama Pasang Badan untuk Kebenaran
Satu tahun lalu, tepatnya pada 29 Agustus 2023, sebuah tonggak sejarah ditancapkan di Pesantren Buntet, Cirebon. Bukan hanya simbol perlawanan, tetapi juga gerakan moral keilmuan yang bernama PWI–LS (Perjuangan Walisongo Indonesia – Laskar Sabilillah). Lahir dari keprihatinan mendalam terhadap gelombang distorsi sejarah dan penyesatan genealogi keagamaan yang sistematis, PWI–LS hadir sebagai jawaban tegas.
Sebelum kelahiran gerakan ini, dua tokoh sentral—KH Imaduddin Utsman al Bantani dan Gus Abbas Buntet—mengunjungi para ulama kharismatik negeri ini. Mereka sowan ke Abuya Muhtadi Dimyathi (Mufti Madzhab Syafi’iyah), KH Said Aqil Siradj, KH Ali Masyhuri, KH Mustofa Bisri, Gus Muwaffiq, Gus Nuril Arifin, dan banyak ulama sepuh lainnya. Ini bukan sekadar silaturahmi. Ini konsolidasi. Mereka menyampaikan kegelisahan: sejarah umat sedang dibajak oleh klaim-klaim tak berdasar.
Salah satu episentrum kegelisahan itu adalah klaim sepihak bahwa Klan Ba’alwi adalah dzuriyyah Rasulullah SAW. Klaim yang sejak lama diterima tanpa verifikasi ilmiah kini mulai diuji dengan pendekatan multidisipliner: sejarah, filologi, dan genetika. Dan hasilnya mengejutkan: tidak ditemukan bukti ilmiah bahwa klan Ba’alwi merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW. Tak ada sanad yang bisa dipertanggungjawabkan, dan tidak ada dukungan data genetik Y-DNA haplogroup J1-P58 yang menjadi ciri khas keturunan Quraisy. Justru muncul data haplogroup G, yang sama sekali asing dari jejak Bani Hasyim.
Di tengah persekusi dan tekanan dari apa yang disebut KH Imad sebagai “Mukibin” – kelompok yang fanatik membela klaim-klaim fiktif itu – PWI–LS tak surut. Bahkan sebaliknya, mendapat dukungan moril dan struktural dari banyak pihak. Abuya Muhtadi bukan hanya membubuhkan restu. Beliau termasuk salah satu tokoh yang berada di balik berdirinya gerakan ini.
Tak lama setelah itu, Gus Muwaffiq dan Gus Nuril Arifin, dua pendekar Nahdlatul Ulama dan pengawal Gus Dur, pasang badan membela PWI–LS. Gus Muwaffiq menggerakkan Laskar Pagar Nusa, sementara Gus Nuril menurunkan Pasukan Garuda Nusantara. Lalu mengalirlah dukungan dari berbagai elemen, termasuk dari Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Yogyakarta, yang menghadirkan Alap-Alap Mataram dan Laskar Mataram Raya.
Mereka semua satu suara: menolak distorsi sejarah dan membela kebenaran ilmiah. Bukan sekadar klaim keturunan, tapi menyangkut harga diri bangsa, kemurnian sanad keilmuan Islam, dan kelurusan sejarah Nahdlatul Ulama yang telah coba dikaburkan oleh satu klan yang terus-menerus mendaku sebagai dzuriyyah Rasul tanpa verifikasi akademik.
PWI–LS bukan gerakan sentimental. Ini gerakan berbasis ilmu. Sebuah jihad intelektual yang menolak tunduk pada mitos. Sebuah barisan yang menolak bangsa ini dikuasai oleh klaim keturunan palsu yang kemudian menjalar ke berbagai institusi, mencuri sejarah, dan memanipulasi identitas para pahlawan bangsa demi kepentingan golongan.
Kebenaran memang tak selalu diterima dengan senang hati. Tapi ia akan tetap berdiri, walau diterjang badai klaim-klaim palsu dan narasi suci yang dikonstruksi tanpa dasar.
Dan selama PWI–LS berdiri, akan selalu ada benteng yang menjaga warisan Walisongo, sejarah bangsa, dan kebenaran tentang siapa sebenarnya dzuriyyah Rasulullah SAW.