*Mengapa Nasab Kabib klan Ba‘alwi Sangat Layak Disebut Mitos?*
Dalam dunia sejarah, ada dua istilah yang sering kali tumpang tindih: peristiwa sejarah dan cerita sejarah. Yang pertama adalah kejadian nyata di masa lalu, dengan segala kompleksitas dan faktanya. Yang kedua adalah narasi yang disusun belakangan, entah dari dokumen, manuskrip, atau bahkan sekadar kabar tutur. Di sinilah perdebatan soal nasab Ba‘alwi masuk: apakah ia peristiwa sejarah atau hanya cerita sejarah?
Bagi sejarawan, perbedaan itu sangat menentukan. Peristiwa sejarah membutuhkan jejak otentik—naskah primer, dokumen kontemporer, catatan administratif, atau saksi mata. Tanpa itu semua, yang tersisa hanyalah kisah yang dirangkai ulang. Cerita bisa hidup berabad-abad, menjadi populer, tapi tanpa bukti ia tak lebih dari mitos.
*Nasab dan Klaim Keturunan*
Klaim nasab Ba‘alwi sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW sudah berabad-abad disebarkan. Mereka menisbatkan garis keturunan pada Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir. Namun, masalahnya, tokoh “Ubaidillah” sendiri tak tercatat dalam sumber-sumber abad ke-4 Hijriah, melainkan baru muncul dalam tulisan abad ke-9, seperti karya Ali al-Sakran. Itu pun tanpa referensi primer yang bisa diverifikasi.
Sejarawan filologi Prof. Dr. Manachem Ali (Universitas Airlangga) menekankan bahwa ketika sebuah nama tokoh baru muncul ratusan tahun setelah periode yang diklaim, maka keotentikan silsilah itu wajib dipertanyakan. “Dalam ilmu filologi, semakin jauh jarak antara peristiwa dengan penulisan, semakin besar pula kemungkinan distorsi, interpolasi, bahkan fabrikasi,” ujarnya.
*Ilmu Genetika Bicara*
Di era modern, klaim genealogis tak lagi bisa hanya bertumpu pada catatan manuskrip. Genetika menawarkan alat verifikasi yang obyektif. Dr. Michael Hammer, pakar genetika dari University of Arizona, dalam risetnya mengenai haplogroup di Timur Tengah, menunjukkan bahwa keturunan Bani Hasyim secara konsisten ditandai dengan haplogroup J1-P58. Penelitian serupa di berbagai negara Arab, termasuk Yaman, juga menegaskan bahwa garis keturunan Nabi Muhammad SAW berada dalam klaster haplogroup tersebut.
Namun, hasil uji Y-DNA terhadap sejumlah individu dari kalangan habib Ba‘alwi justru menunjukkan haplogroup G, bukan J1-P58. Fakta ini memberi sinyal kuat bahwa klaim Ba‘alwi sebagai dzurriyah Nabi tidak sejalan dengan data genetika.
Dr. Sugeng Sugiarto, pakar genetika Indonesia, menegaskan: “Haplogroup adalah kunci. Silsilah tanpa pengujian genetika hanyalah asumsi. Dalam konteks Ba‘alwi, jika haplogroup tidak sesuai dengan J1-P58, maka klaim dzurriyah Nabi runtuh secara ilmiah.”
*Antara Fakta dan Cerita*
Perlu dicatat, sejarah Nabi Muhammad SAW berbeda. Kisah hidup beliau, keluarga, dan keturunannya terdokumentasi dalam Alquran dan hadits—teks agama yang otoritatif dan tak menuntut verifikasi ilmiah karena berdimensi iman. Namun ketika klaim genealogis meluas ke luar itu, terutama di luar ranah teks suci, maka standar ilmiah harus berlaku.
Pertanyaannya sederhana: manakah yang lebih layak dipercaya?
- Cerita yang ada buktinya.
- Cerita terkenal tapi tanpa bukti.
Jika kita memilih B, kita hanya mempercayai mitos. Jika A yang dipilih, maka klaim nasab Ba‘alwi harus diletakkan dalam kotak besar bernama “cerita populer tanpa bukti.”
Nasab Ba‘alwi disebut mitos bukan karena ingin merendahkan kelompok tertentu, melainkan karena ia gagal memenuhi syarat dasar verifikasi ilmiah. Manuskrip primer tak tersedia, nama kunci dalam silsilah baru muncul belakangan, dan bukti genetik tidak mendukung.
Dalam tradisi akademik, mitos bukan sekadar dongeng. Ia adalah narasi yang dipercaya luas, tetapi tanpa dasar faktual. Dan di situlah persis nasib klaim Ba‘alwi hari ini.