Menggugat Distorsi Sejarah: Kontroversi Habib Luthfi bin Yahya dalam Narasi JATMAN dan NU

*Menggugat Distorsi Sejarah: Kontroversi Habib Luthfi bin Yahya dalam Narasi JATMAN dan NU*

PBNU tahu, tapi memilih diam.
Kalimat itulah yang berulang kali ditegaskan Kyai Ahmad Chalwani, Ro’is ‘Am Idaroh Aliyah JATMAN, ketika menyinggung perubahan narasi sejarah sejak kepemimpinan Habib Luthfi bin Yahya. Kritik ini bukan suara sumbang di tepi jalan. Ia datang dari pucuk kepemimpinan resmi tarekat dalam tubuh Nahdlatul Ulama (NU).

*Distorsi Sejarah yang Dipersoalkan*

Menurut Kyai Chalwani, sejak Habib Luthfi memimpin JATMAN, muncul versi baru tentang siapa sesungguhnya pendiri organisasi itu. Fakta sejarah yang sebelumnya dianggap final tiba-tiba dipelintir, diganti dengan narasi lain.
“Saya tidak benci pada Habib Luthfi,” ujar Kyai Chalwani dalam sebuah forum resmi. “Tapi sejarah tidak boleh dimanipulasi.”

Pernyataan ini mengandung bobot besar. Ia bukan sekadar perbedaan pandangan pribadi antar tokoh, melainkan menyentuh akar integritas kelembagaan. Apalagi, sejumlah struktur shu‘bah JATMAN disebut telah mengajukan keberatan serupa dalam forum kongres. Artinya, tuduhan ini sudah masuk ranah kelembagaan, bukan sekadar bisik-bisik.

*Diamnya PBNU: Strategi atau Pembiaran?*

Yang lebih menggelisahkan, Kyai Chalwani menegaskan bahwa PBNU sebenarnya sudah mengetahui adanya perbedaan narasi tersebut. Namun, pusat organisasi memilih diam.
Diam ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah sikap itu bentuk kehati-hatian untuk menjaga stabilitas, atau justru tanda pembiaran yang memberi legitimasi pada narasi baru?

Sejarawan Prof. Anhar Gonggong pernah mengatakan dalam wawancara (Tempo, 2019), “Sejarah yang didiamkan ketika dipelintir, lama-lama akan menjadi kebenaran baru.” Diam bisa berarti menyetujui tanpa kata. Dalam konteks NU, sikap semacam ini amat berbahaya karena menyangkut identitas organisasi terbesar umat Islam Indonesia.

*Lebih dari JATMAN: Menyentuh Sejarah NU*

Persoalan tak berhenti di JATMAN. Sebuah buku berjudul Cahaya dari Nusantara menyinggung versi baru sejarah NU yang disebut terkait dengan Habib Luthfi. Bila benar demikian, persoalan bukan lagi soal tafsir. Ini menyangkut pergeseran identitas kelembagaan.

Dr. Greg Fealy, peneliti NU dari Australian National University, dalam bukunya Ijtihad Politik Ulama (1998), menekankan bahwa NU memiliki tradisi dokumentasi sejarah yang kuat justru agar tidak dipelintir oleh kepentingan politik atau personal. Jika kini narasi resmi bisa diganti oleh tafsir baru, bukankah itu merusak fondasi NU sebagai jam’iyah ulama?

*Catatan Kritis*

Dari persoalan ini, beberapa catatan penting muncul:

1. Sejarah bukan milik individu. Fakta dasar organisasi—siapa pendiri, kapan berdiri, keputusan awal—tak bisa digeser hanya karena karisma tokoh atau kepentingan citra.

2. Kritik internal tanda cinta. Suara Kyai Chalwani adalah bentuk kesetiaan pada amanah ulama pendahulu. Dalam tradisi pesantren, kritik yang jujur justru dianggap upaya menjaga kemurnian sanad.

3. PBNU harus bersuara. Diam terlalu lama hanya mempertebal kesan pembiaran, bahkan keterlibatan. Seperti diingatkan sejarawan Prof. Taufik Abdullah, “Organisasi yang membiarkan sejarahnya kabur, pada hakikatnya sedang menggadaikan masa depannya.”

4. Forum ilmiah wajib digelar. Klarifikasi terbuka diperlukan, bukan untuk mempermalukan siapa pun, melainkan untuk menegakkan kebenaran. Sejarah harus diuji secara akademis, bukan berdasarkan kharisma tokoh semata.

*Warisan yang Harus Dijaga*

NU dan JATMAN bukanlah milik perorangan. Ia adalah warisan ulama besar yang mendirikan dan merawatnya dengan darah, keringat, dan doa. Menjaga warisan itu berarti menjaga kejujuran sejarah.

Pertanyaannya kini: apakah PBNU akan terus memilih diam, atau berani menegakkan kebenaran sejarah meski harus berhadapan dengan nama besar yang dipuja sebagian pengikutnya?

Seperti diingatkan Prof. Anhar Gonggong, “Sejarah yang benar kadang pahit, tetapi justru di situlah martabat organisasi diuji.”

📌 *Fakta Sejarah dan Kontroversi Habib Luthfi bin Yahya*

Habib Luthfi bin Yahya sering diposisikan oleh sebagian pihak sebagai figur ulama kharismatik yang berperan besar dalam spiritualitas dan kebangsaan Indonesia. Namun, sejumlah fakta sejarah dan catatan kritis dari para ahli menunjukkan bahwa ada sisi lain dari perjalanan beliau yang jarang diungkap ke publik. Penulisan ini bukanlah serangan pribadi, melainkan upaya membuka kesadaran masyarakat agar lebih objektif dalam menilai sosok yang selama ini diagungkan, khususnya dalam kaitannya dengan sejarah, politik, dan klaim genealogis.

1. Kedudukan sebagai Habib dan Klaim Genealogi

Habib Luthfi bin Yahya dikenal sebagai salah satu tokoh sentral dari klan Ba‘alwi di Indonesia. Klaim mereka sebagai dzurriyah Nabi Muhammad SAW telah menjadi dasar utama legitimasi sosial dan spiritual. Akan tetapi, riset akademik mutakhir seperti yang dilakukan oleh KH Imaduddin Utsman al-Bantani, Prof. Dr. Manachem Ali (filolog Universitas Airlangga), dan Dr. Sugeng Sugiarto (ahli genetika) justru menunjukkan bahwa nasab Ba‘alwi tidak memiliki landasan kuat secara filologis, historis, maupun genetik. Sejarah penulisan silsilah yang bersandar pada karya Ali al-Sakran abad ke-9 tanpa sumber primer otentik menjadi titik lemah yang dipertanyakan oleh para sejarawan.

2. Peran Politik dalam Struktur Kenegaraan

Sebagai tokoh publik, Habib Luthfi aktif dalam berbagai forum kenegaraan, bahkan mendapat posisi sebagai anggota Wantimpres (Dewan Pertimbangan Presiden). Di satu sisi, ini memperlihatkan kedekatan beliau dengan kekuasaan. Namun di sisi lain, sejarawan seperti Prof. Dr. Anhar Gonggong menekankan bahwa kedekatan ulama dengan kekuasaan harus diukur dengan kontribusinya pada rakyat, bukan sekadar pada rezim yang berkuasa. Kritik muncul karena kedudukan ini sering digunakan untuk memperkuat legitimasi Ba‘alwi di mata umat, padahal klaim nasab itu sendiri tengah dipertanyakan validitasnya.

3. Distorsi Sejarah Perjuangan Indonesia

Dalam berbagai forum, Habib Luthfi sering menegaskan kontribusi besar klan Ba‘alwi dalam perjuangan kemerdekaan. Namun, penelitian sejarah menunjukkan hal yang sebaliknya. Prof. Dr. Anhar Gonggong menegaskan bahwa perjuangan bangsa Indonesia dari abad ke-19 hingga kemerdekaan tahun 1945 digerakkan oleh tokoh-tokoh pribumi, baik dari kalangan ulama Nusantara maupun nasionalis, bukan oleh Ba‘alwi. Bahkan, catatan sejarah menunjukkan adanya figur Ba‘alwi yang justru dekat dengan kolonial, misalnya Habib Utsman bin Yahya yang diangkat Belanda sebagai Mufti. Fakta ini penting diungkap agar publik tidak termakan narasi “sejarah rekayasa” yang mengagungkan peran Ba‘alwi.

4. Hubungan dengan Gerakan Tasawuf

Habib Luthfi juga dikenal sebagai figur sufi dengan basis tarekat. Akan tetapi, Kyai Chalwani, seorang ulama kharismatik yang dihormati di pesantren, secara terang-terangan mengingatkan agar masyarakat berhati-hati terhadap ajaran dan klaim yang tidak sesuai dengan manhaj ulama Nusantara. Menurut Kyai Chalwani, hubungan dengan Allah harus ditempuh melalui jalan syariat yang lurus dan tarekat yang benar, bukan melalui glorifikasi garis keturunan. Kritik ini sejalan dengan pendapat banyak ulama thariqah Naqsyabandiyah yang menekankan pentingnya mursyid sejati, bukan hanya figur populer.

5. Pentingnya Membuka Kesadaran Publik

Mengungkap fakta-fakta ini bukan berarti membenci atau merendahkan Habib Luthfi sebagai individu, melainkan bentuk tanggung jawab ilmiah dan moral untuk menjaga kebenaran sejarah. Seperti yang ditekankan Prof. Dr. Anhar Gonggong, sejarah harus dipaparkan apa adanya, tanpa distorsi, karena distorsi sejarah berbahaya bagi generasi mendatang.

Habib Luthfi bin Yahya adalah tokoh besar yang berpengaruh, tetapi masyarakat perlu menilainya dengan kacamata yang objektif. Klaim genealogis Ba‘alwi yang tidak kuat, kedekatan dengan politik, serta narasi sejarah yang dipertanyakan merupakan hal-hal yang wajib dikritisi. Masyarakat berhak mengetahui fakta agar tidak terjebak pada kultus individu atau pengagungan tanpa dasar.




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *