*Kisah Heroik Perlawanan Bangsa Nusantara Melawan Penjajahan*
Sejarah bangsa Indonesia bukanlah sejarah bangsa yang tunduk. Dari awal kedatangan bangsa-bangsa asing ke tanah air, leluhur Nusantara telah bangkit dengan keberanian dan pengorbanan. Memori kolektif itu menjadi saksi, bahwa tanah ini diwarisi oleh para pejuang yang tak gentar melawan penjajahan.
*Awal Perlawanan: Warisan Malaka (1511) dan Api Kalinyamat*
Tahun 1511, jatuhnya Malaka ke tangan Portugis menjadi awal luka besar bagi dunia Melayu-Nusantara. Malaka, pusat perdagangan internasional yang menghubungkan India, Cina, dan Arab, dirampas oleh bangsa asing yang datang dengan meriam dan kapal perang. Sejak saat itu, para penguasa dan pelaut Nusantara sadar bahwa Portugis bukan sekadar pedagang, melainkan penjajah yang hendak memutus urat nadi perdagangan laut dan menaklukkan bangsa-bangsa pribumi.
Semangat jihad, harga diri, dan kehormatan sebagai bangsa merdeka membangkitkan perlawanan di seluruh penjuru kepulauan. Kesultanan Demak, Cirebon, dan sekutunya mengambil langkah berani menyerang Portugis di Sunda Kelapa (1526–1527). Dari kemenangan itu lahirlah Jayakarta, tanda bahwa penjajah bisa dikalahkan.
Namun perjuangan terbesar di abad ke-16 lahir dari seorang perempuan perkasa: Ratu Kalinyamat dari Jepara. Setelah suaminya, Sultan Hadlirin, dibunuh oleh intrik Portugis dan orang-orang yang mereka pengaruhi, Kalinyamat bersumpah menuntut balas. Dari Jepara, ia membangun armada perang yang disebut oleh sumber Portugis sebagai salah satu kekuatan maritim paling menakutkan di Asia Tenggara pada masanya.
Tahun 1551, Ratu Kalinyamat mengirim ribuan prajurit dan puluhan jung besar menyerbu Portugis di Malaka. Serangan ini mengguncang kedudukan Portugis, meski belum berhasil sepenuhnya merebut kota benteng itu. Tidak berhenti, pada 1574 ia melancarkan serangan besar kedua, dengan armada yang lebih besar, hingga memaksa Portugis bertahan mati-matian di Malaka.
Kegigihan Kalinyamat membuat Portugis gemetar. Catatan Eropa menyebutnya sebagai “Rainha de Japara, a mulher que mais guerreira foi neste Oriente” — Ratu dari Jepara, wanita paling gagah berani di Timur. Karena terus digempur dari Jepara dan sekutunya, Portugis akhirnya mencari wilayah aman yang lebih jauh. Mereka melarikan diri dan membangun basis baru di kepulauan yang kini dikenal sebagai Timor Timur, untuk menguasai perdagangan kayu cendana dan bertahan dari kejaran kekuatan pribumi Jawa.
Perlawanan Kalinyamat menjadi bukti: bahkan seorang perempuan Nusantara mampu menaklukkan rasa takut bangsa Eropa, memaksa mereka meninggalkan jantung perdagangan, dan menyingkir ke ujung Timur.
*Demak, Cirebon, dan Jayakarta: Menyerbu Sunda Kelapa (1526–1527)*
Setelah Portugis menguasai Malaka tahun 1511, mereka berusaha memperluas pengaruhnya di pesisir Jawa Barat dengan menjalin persekutuan dengan Kerajaan Sunda. Portugis diizinkan membangun benteng di Sunda Kelapa, sebuah pelabuhan penting yang menghubungkan Jawa dengan dunia internasional.
Kesultanan Demak, sebagai kekuatan Islam terbesar kala itu, menyadari bahaya besar. Portugis tidak hanya pedagang, tetapi penjajah yang bernafsu menguasai tanah air. Maka, Sultan Trenggana memerintahkan panglima perangnya, Fatahillah (Faletehan), untuk menyerang Portugis di Sunda Kelapa.
Tahun 1526–1527, aliansi Demak, Cirebon, dan masyarakat lokal Sunda Kelapa melakukan serangan besar. Pertempuran sengit meletus, namun keberanian pribumi Nusantara membuahkan kemenangan. Portugis terusir, benteng mereka runtuh, dan Sunda Kelapa direbut.
Dari kemenangan itu lahir kota baru bernama Jayakarta (kemenangan yang sempurna). Nama ini menjadi simbol kejayaan pribumi melawan penjajah, sekaligus tanda bahwa sejak awal, bangsa ini tidak rela tanahnya dijajah.
*Mataram Menyerbu Batavia: Serangan Sultan Agung (1628–1629)*
Lebih dari satu abad setelah kemenangan di Sunda Kelapa, giliran Kesultanan Mataram bangkit menghadapi penjajah baru: Belanda (VOC). Pada awal abad ke-17, VOC sudah menguasai pelabuhan-pelabuhan penting di Jawa, termasuk Jayakarta yang mereka ubah namanya menjadi Batavia (1619).
Sultan Agung dari Mataram, seorang raja besar yang mempersatukan hampir seluruh Jawa, tidak tinggal diam. Ia menyadari Batavia adalah jantung kekuasaan Belanda, sehingga jika Batavia jatuh, VOC akan lumpuh.
Tahun 1628, Sultan Agung mengirim pasukan besar menuju Batavia. Pertempuran berlangsung sengit, dan meski pasukan Mataram belum berhasil menembus benteng VOC, semangat perlawanan tidak surut. Tahun berikutnya, 1629, Sultan Agung kembali melancarkan serangan yang lebih besar. Pasukan Mataram membawa persediaan logistik dan lumbung padi untuk perang jangka panjang.
Namun, sejarah mencatat bahwa kegagalan bukan karena kalah di medan perang, melainkan karena pengkhianatan dari dalam. Beberapa bangsawan Jawa yang berkhianat kepada Belanda membocorkan informasi penting, sehingga lumbung-lumbung padi pasukan Mataram dibakar.
Pasukan Mataram pun mengalami kelaparan, kelelahan, dan akhirnya mundur. Tetapi Mataram tidak kalah—VOC sebenarnya dalam posisi terjepit. Catatan Belanda sendiri menyebut, jika serangan itu berlanjut dengan logistik terjaga, Batavia hampir pasti jatuh.
Dengan demikian, sejarah harus dipahami bahwa VOC selamat bukan karena keunggulan mereka, tetapi karena kelicikan dan pengkhianatan di tubuh bangsa sendiri. Sultan Agung tetap dikenang sebagai pahlawan yang nyaris menghancurkan VOC, dan tekadnya menegaskan bahwa penjajahan tidak akan pernah diterima rakyat Nusantara.
*Pelayaran Hongi & Politik Belanda (Abad 17)*
Sejak berdirinya VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) pada tahun 1602, Belanda berusaha memonopoli rempah-rempah di Nusantara. Maluku, yang sejak lama dikenal sebagai “mutiara dari timur” karena cengkih dan pala, menjadi sasaran utama.
Untuk mematikan kemandirian rakyat, VOC melancarkan Pelayaran Hongi mulai 1625. Armada kapal perang mereka berlayar dari satu pulau ke pulau lain di Maluku, dengan misi kejam: menebang dan membakar pohon-pohon cengkih milik rakyat. Tujuannya adalah agar rakyat hanya bisa menjual hasil bumi kepada VOC, dengan harga murah yang ditentukan Belanda.
Bagi rakyat Maluku, ini bukan sekadar perampasan ekonomi, tetapi penghinaan terhadap martabat mereka. Cengkih bukan hanya komoditas dagang, melainkan warisan leluhur yang mengikat kehidupan sosial, budaya, dan agama. Maka, perlawanan besar meletus. Dari Pulau Banda, Hitu, hingga Ternate dan Tidore, rakyat bangkit melawan.
Perlawanan paling heroik muncul di Banda, di mana rakyat rela mati mempertahankan tanah airnya. VOC kemudian melakukan pembantaian besar-besaran pada 1621 yang dipimpin Jan Pieterszoon Coen. Ribuan orang Banda dibunuh, sisanya diusir, dan tanah mereka dijadikan perkebunan cengkih dan pala yang dikuasai VOC. Namun, tragedi itu tidak memadamkan semangat perlawanan rakyat Maluku yang terus berjuang hingga berabad-abad kemudian.
*Serangan Mataram ke Batavia (1628–1629)*
Sementara di Jawa, kekuatan besar lain bangkit menantang VOC: Kesultanan Mataram di bawah Sultan Agung. Menyadari bahwa Batavia (bekas Jayakarta) adalah jantung kekuasaan VOC di Asia, Sultan Agung menyusun strategi besar untuk menghancurkannya.
- 1628: Sultan Agung mengirim pasukan besar menuju Batavia. Pertempuran berkecamuk, benteng VOC digempur, namun serangan belum berhasil menembus pertahanan Belanda.
- 1629: Mataram kembali dengan kekuatan lebih besar. Mereka membawa lumbung-lumbung padi sebagai persediaan perang jangka panjang, siap mengepung Batavia hingga jatuh.
Namun, VOC menyusupkan mata-mata dan berhasil membujuk bangsawan Jawa yang berkhianat. Lumbung-lumbung padi pasukan Mataram dibakar. Ribuan prajurit kelaparan, sementara wabah penyakit menular mulai menyebar. Dalam kondisi itu, pasukan Mataram terpaksa mundur.
Meski demikian, Mataram tidak kalah di medan perang. VOC selamat hanya karena kelicikan dan pengkhianatan dari dalam. Catatan Belanda sendiri mengakui bahwa Batavia nyaris jatuh. Serangan Sultan Agung menjadi simbol tekad bangsa Nusantara: bahkan benteng terkuat Belanda pun berani mereka hadapi.
*Perang dan Geger Abad 17–18*
Perlawanan tidak berhenti. Gelombang demi gelombang terus mengguncang kedudukan Belanda di Nusantara.
- 1667 – Perpecahan Cirebon.
Politik adu domba VOC berhasil memecah Kesultanan Cirebon menjadi beberapa bagian. Meski begitu, rakyat Cirebon berkali-kali mengangkat senjata melawan Belanda, menolak tunduk pada monopoli dagang mereka. - 1670-an – Geger Kebugisan.
Pangeran Trunojoyo dari Madura, bersama sekutunya Karaeng Galesong putra Sultan Hasanuddin dari Gowa, memimpin perlawanan besar melawan VOC dan sekutu-sekutu mereka. Dari Jawa hingga Madura, perlawanan rakyat mengguncang VOC selama bertahun-tahun. - 1740–1743 – Geger Pecinan di Batavia.
Ketidakadilan VOC terhadap orang Tionghoa memicu pemberontakan besar. Etnis Tionghoa bersekutu dengan pribumi, menyerang Batavia. VOC melakukan pembantaian kejam, ribuan orang Tionghoa dibunuh. Namun, aliansi rakyat dengan Tionghoa menunjukkan bahwa penjajahan adalah musuh bersama.
Setiap pemberontakan, walau dipadamkan dengan kekerasan, menegaskan bahwa rakyat Nusantara tidak rela hidup terjajah.
*Gelombang Perlawanan Abad 19*
- Perang Kedondong (1802–1818) di Cirebon.
Dipimpin para bangsawan dan ulama, rakyat Cirebon melawan tekanan politik dan ekonomi Belanda. - Perang Jawa (1825–1830).
Dipimpin Pangeran Diponegoro, perang ini menjadi perlawanan terbesar sepanjang sejarah melawan Belanda. Diponegoro mengangkat jihad melawan penjajahan, menggerakkan rakyat Jawa dari berbagai kalangan. VOC kewalahan, mengerahkan ratusan ribu serdadu, hingga akhirnya menang hanya dengan tipu daya dan perjanjian palsu. - Perlawanan Kyai Ahmad Rifai (1850-an).
Seorang ulama karismatik dari Kalisalak, Kendal–Brebes, yang menolak segala bentuk kerja sama dengan penjajah. Ia mengajarkan rakyat untuk mandiri, menolak membayar pajak kolonial, dan melawan dengan strategi sosial-religius. - Geger Cilegon (1888).
Dipimpin para ulama Banten, rakyat bangkit dengan semangat jihad melawan Belanda. Meskipun banyak yang gugur, perlawanan ini membakar semangat generasi selanjutnya.
*Pesan Abadi: Bangsa yang Tak Pernah Takluk*
Para penjajah tahu, tanah jajahan tidak akan pernah dilepas begitu saja. Mereka menanam undang-undang, lembaga, dan institusi untuk terus mengeruk keuntungan. Tetapi leluhur Nusantara tidak pernah menyerah. Mereka mengangkat senjata, bertaruh nyawa, dan meninggalkan warisan: bahwa kemerdekaan adalah hak yang harus diperjuangkan.
Bangsa Indonesia lahir dari keberanian itu— semua menyatu dalam satu suara:
“Lebih baik mati berperang daripada hidup terjajah.”
*Kesimpulan*
Dari berbagai catatan perjuangan besar di Nusantara — mulai dari perlawanan Kesultanan Demak, Cirebon, dan Jayakarta terhadap Portugis, heroisme Kesultanan Mataram yang hampir menghancurkan VOC namun digagalkan oleh pengkhianatan dari dalam, hingga perang panjang yang dipimpin para ulama, sultan, dan pejuang pribumi — terbukti tidak ada satu pun peran nyata dari klan Ba‘alwi dalam melawan penjajahan.
Sebaliknya, bukti sejarah menunjukkan bahwa kehadiran klan Ba‘alwi justru terkait dengan kedatangan mereka melalui jalur VOC dan kemudian menjalin hubungan erat dengan penguasa kolonial Belanda. Mereka lebih dikenal berperan dalam membangun jaringan sosial, ekonomi, dan politik yang menguntungkan pihak penjajah, bukan berdiri di garis depan perjuangan rakyat Nusantara.
Dengan demikian, klaim yang menyatakan bahwa klan Ba‘alwi memiliki andil dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia tidaklah sesuai dengan fakta sejarah. Perjuangan sesungguhnya dilakukan oleh putra-putri bangsa, para ulama, dan para pemimpin lokal yang mempertaruhkan jiwa dan raga demi membebaskan tanah air dari belenggu penjajahan.