FAKTA LELUHUR BANGSA AL JAWI (NUSANTARA) TIDAK MENYEMBAH POHON DAN BATU, MELAINKAN MENGANUT AGAMA TAUHID DARI NABI IBRAHIM AS YANG DIKENAL DI JAWA SEBAGAI KAPITAYAN

FAKTA LELUHUR BANGSA AL JAWI (NUSANTARA) TIDAK MENYEMBAH POHON DAN BATU, MELAINKAN MENGANUT AGAMA TAUHID DARI NABI IBRAHIM AS YANG DIKENAL DI JAWA SEBAGAI KAPITAYAN

Sejarah yang diajarkan di sekolah sering menyebut leluhur Nusantara sebagai penganut animisme dan dinamisme, digambarkan sebagai penyembah pohon, batu, dan benda-benda alam. Namun, penelitian filologi, sejarah, dan antropologi modern justru memperlihatkan fakta lain: leluhur bangsa Al Jawi (Nusantara) telah menganut agama tauhid, yakni keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di Jawa, ajaran ini dikenal sebagai Kapitayan, sistem keyakinan kuno yang menekankan transendensi Tuhan — sejalan dengan ajaran Nabi Ibrahim AS.

Jejak Genealogis: Prabu Sarkil dan Nabi Ismail AS

Dalam Serat Paramayoga karya Ranggawarsita (1802–1873), disebutkan bahwa leluhur Aji Saka berasal dari sosok Prabu Sarkil, keturunan Nabi Ismail AS, putra Nabi Ibrahim AS. Nama “Sarkil” secara etimologis (Sark = Timur, El = Tuhan) bermakna “Tuhan dari Timur.” Hal ini berkorelasi dengan Qedemah (putra Nabi Ismail yang berarti “Timur”) dalam Kitab Kejadian.

Kapitayan: Agama Tauhid Leluhur Jawa

Menurut Kyai Agus Sunyoto, sejarawan NU yang meneliti dakwah Walisongo hingga ke Perpustakaan Leiden, Hindu dan Buddha sebelum kedatangan Islam hanya dianut kalangan istana. Mayoritas rakyat Jawa justru menganut Kapitayan.

Ungkapan terkenal dalam Kapitayan, “tan keno kinoyo ngopo”, berarti: Tuhan (Sanghyang Taya) tidak bisa dilihat, dibayangkan, atau dijamah, tetapi nyata adanya dan menjadi sumber segala kekuatan. Konsep ini sejajar dengan tauhid Islam: Allah SWT transenden, melampaui jangkauan pancaindra dan akal manusia.

Kesamaan Ibadah Kapitayan dan Sholat dalam Islam

Menariknya, tata cara ibadah Kapitayan memiliki kesamaan struktural dengan sholat dalam Islam.

  1. Berdiri Menghadap Tutu-k (Tu-lajeg)
    • Tegak menghadap lubang ceruk (tutu-k) dalam sanggar.
    • Mengangkat kedua tangan untuk menghadirkan Sanghyang Taya.
    • → Mirip takbiratul ihram dalam sholat: berdiri menghadap kiblat, mengangkat tangan, menghadirkan Allah dalam hati.
  2. Swa-dikep
    • Kedua tangan diturunkan lalu didekap di dada, tepat di atas hati.
    • → Mirip posisi tangan bersedekap setelah takbiratul ihram dalam sholat.
  3. Membungkuk ke Bawah (Tu-ngkul)
    • Membungkuk sambil memandang ke bawah dalam waktu lama.
    • → Serupa dengan rukuk dalam sholat.
  4. Bersimpuh (Tu-lumpak)
    • Posisi duduk bersimpuh di atas tumit.
    • → Mirip dengan posisi duduk di antara dua sujud atau tasyahud.
  5. Bersujud Seperti Bayi (To-ndhem)
    • Sujud dengan posisi mirip janin dalam kandungan.
    • → Identik dengan sujud dalam sholat, posisi penghambaan paling rendah di hadapan Tuhan.

Selama seluruh rangkaian ini, penganut Kapitayan menjaga keberadaan Sanghyang Taya dalam hati, seperti halnya sholat dalam Islam yang dimaksudkan untuk menghadirkan Allah SWT dalam kesadaran penuh (khusyuk).

Kesamaan struktur ini menunjukkan kesinambungan tradisi ibadah tauhid dari Kapitayan ke Islam. Tidak mengherankan bila Walisongo berhasil mengislamkan masyarakat Jawa dengan mudah, karena mereka cukup “mengislamkan” tradisi lama dengan mengganti istilah: sanggar menjadi langgar, sembahyang menjadi shalat, umpowoso (puasa) diselaraskan dengan puasa sunnah dan wajib dalam Islam.

Analisis Argumentatif

  1. Secara filologis, tradisi Kapitayan bukanlah animisme-dinamisme, melainkan sistem ibadah tauhid.
  2. Secara historis, mayoritas masyarakat Jawa sebelum Islam menganut Kapitayan, bukan Hindu-Buddha.
  3. Secara teologis, konsep Tuhan dalam Kapitayan identik dengan transendensi Allah dalam Islam.
  4. Secara ritual, ibadah Kapitayan paralel dengan sholat Islam, menunjukkan kesinambungan spiritual.

Tradisi Puasa dalam Kapitayan dan Islam

Puasa dalam Kapitayan: Umpowoso

Dalam ajaran Kapitayan, praktik puasa dikenal dengan istilah Umpowoso. Tradisi ini menempati kedudukan penting dalam kehidupan spiritual masyarakat Jawa kuno. Tujuan utama puasa ini bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, melainkan untuk:

  • Memperoleh daya spiritual (linuwih) atau kekuatan batin.
  • Menjadikan pelakunya memiliki kedudukan keramat di mata masyarakat.
  • Membersihkan jiwa dan menajamkan kesadaran dalam menghadirkan Sanghyang Taya (Tuhan Yang Maha Esa) dalam hati.

Dengan demikian, puasa dalam Kapitayan bersifat sakral dan spiritual, bukan sekadar tradisi fisik atau sosial.

Apuwasa Tujuh

Dalam Kapitayan dikenal istilah Apuwasa Tujuh, yaitu praktik puasa yang dilakukan pada hari ke-2 dan hari ke-5 dalam sepekan. Perhitungan ini melambangkan angka 7 (2 + 5 = 7), yang dianggap sebagai simbol kesempurnaan dan keseimbangan kosmis dalam kepercayaan Jawa.

Kesamaan dengan Puasa Sunnah dalam Islam

Tradisi Apuwasa Tujuh memiliki kesamaan mencolok dengan puasa sunnah dalam Islam, yaitu:

  • Hari ke-2 = Senin → dalam Islam dianjurkan berpuasa sunnah pada hari Senin.
  • Hari ke-5 = Kamis → dalam Islam dianjurkan berpuasa sunnah pada hari Kamis.

Dalam hadits Nabi Muhammad SAW, puasa Senin-Kamis dianjurkan karena:

  1. Hari Senin adalah hari kelahiran beliau.
  2. Pada hari Senin dan Kamis, amal manusia diangkat kepada Allah SWT.

Kesamaan ini menunjukkan kesinambungan spiritual antara praktik Kapitayan dengan Islam. Tradisi puasa yang sudah dikenal masyarakat Jawa sejak lama memudahkan Walisongo untuk memperkenalkan ajaran Islam. Walisongo tidak menghapus tradisi, melainkan meluruskan niatnya, dari sekadar memperoleh daya linuwih menjadi ibadah murni untuk Allah SWT.

Analisis

  1. Konteks Historis: Puasa Umpowoso sudah ada sebelum masuknya Islam, menandakan masyarakat Jawa telah mengenal tradisi spiritual menahan diri.
  2. Konteks Teologis: Kesamaan hari (Senin-Kamis) bukanlah kebetulan semata, melainkan bukti adanya kesinambungan nilai tauhid.
  3. Konteks Dakwah: Tradisi ini menjadi pintu masuk efektif bagi Walisongo untuk mengajarkan puasa sunnah dalam Islam, sehingga masyarakat Jawa merasa ajaran Islam bukan sesuatu yang asing.

Praktik Umpowoso dalam Kapitayan memperlihatkan bahwa leluhur Jawa sudah mengenal tradisi spiritual puasa, dengan tujuan mendekatkan diri kepada Tuhan. Kesamaan dengan puasa sunnah Islam (Senin-Kamis) menegaskan adanya kesinambungan tauhid dari Kapitayan ke Islam. Fakta ini sekaligus membantah narasi kolonial yang menuduh leluhur Nusantara murni penganut animisme dan dinamisme.

Leluhur bangsa Al Jawi (Nusantara) tidak menyembah pohon atau batu, melainkan menganut agama tauhid dari Nabi Ibrahim AS melalui garis keturunan Nabi Ismail AS. Ajaran ini dikenal sebagai Kapitayan, dengan praktik ibadah yang sangat mirip dengan sholat dalam Islam. Fakta ini memperkuat argumen bahwa Islam bukanlah agama yang asing bagi masyarakat Jawa, melainkan kelanjutan alami dari tradisi tauhid yang telah ada berabad-abad sebelumnya.





Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *