*EPOS PERJUANGAN PRIBUMI: KEMERDEKAAN DITEBUS DENGAN DARAH DAN AIR MATA (Fakta Sejarah: Perjuangan Kemerdekaan Tanpa Keterlibatan Klan Ba’alwi)*
Sejarah bangsa Indonesia bukan sekadar deretan tanggal dan nama. Ia adalah sebuah epos—kisah epik tentang keberanian dan pengorbanan manusia-manusia pribumi yang rela mempertaruhkan segalanya demi tegaknya kehormatan tanah air. Dari pelosok hutan Kalimantan hingga pantai-pantai Sumatera, dari pematang sawah Jawa hingga lereng-lereng Sulawesi, satu suara lantang bergema di langit Nusantara: *Lebih baik mati, daripada hidup dijajah!*
Berabad-abad lamanya bangsa ini dipaksa tunduk di bawah sepatu penjajah Belanda. Tanah dirampas, rempah disedot, rakyat ditindas. Namun jangan pernah bayangkan rakyat Nusantara kehilangan martabat. Justru pada saat paling gelap itulah cahaya perlawanan menyala.
Di tanah Jawa, Pangeran Diponegoro bangkit, memimpin perang suci besar-besaran. Tanpa persenjataan modern, tanpa dukungan negara besar, namun dengan keberanian yang tak terbeli, ia menabuh genderang perang. Rakyat desa, santri pesantren, prajurit istana—semua tumpah ruah ke medan laga. Mereka bertempur bukan untuk harta, tapi demi mempertahankan kehormatan sebagai anak bangsa.
Di Sumatera Barat, Imam Bonjol mengguncang dunia kolonial. Lembah dan bukit Minangkabau bergema dengan pekik takbir para pejuang. Mereka berperang siang-malam, menolak tunduk pada kekuatan bangsa asing. Para ulama, cerdik-pandai, dan rakyat kecil berdiri bahu-membahu seperti benteng baja yang tak bisa ditembus.
Lalu dari tanah Aceh, muncul sosok-sosok mulia seperti Cut Nyak Dien dan Teuku Umar. Terseok karena luka, namun tak pernah menyerah. Peluru dan meriam Belanda diterjang dengan tekad baja. Di setiap sujudnya, doa dipanjatkan agar negeri ini bebas—meski harus dibayar dengan nyawa.
Namun cobaan belum usai.
Tahun 1942, matahari merah Jepang terbit di bumi Nusantara. Musim penderitaan baru pun dimulai. Para petani digiring menjadi romusha, para perempuan dipaksa meninggalkan keluarga. Tangis dan jerit memenuhi bumi pertiwi. Tetapi sekali lagi, penderitaan bukan alasan untuk menyerah. Di tiap kampung, bibit perlawanan disemai. Di pesantren-pesantren, para kiai mengajarkan bahwa cinta tanah air adalah sebagian dari iman, dan membela Indonesia adalah perintah agama!
Hingga datang saat yang ditunggu-tunggu itu…
*17 Agustus 1945* —pagi yang tak akan pernah dilupakan dalam sejarah umat manusia. Dalam kesederhanaan sebuah rumah di Jalan Pegangsaan Timur, Bung Karno dan Bung Hatta membacakan naskah proklamasi. Tak ada meriam, tak ada upacara megah—namun dalam setiap kata “MERDEKA”, tergambar jeritan, darah, dan semangat jutaan pribumi yang telah gugur di medan perang.
Seluruh negeri bergemuruh.
Pemuda-pemuda di Jakarta berlari membawa kabar kemerdekaan ke kampung-kampung. Para santri menegakkan bambu runcing. Para ibu menyiapkan logistik dan menyembunyikan para pejuang. Tanpa komando pusat, seluruh rakyat bergerak sebagai satu tubuh, satu jiwa.
Belanda datang kembali. Kali ini dengan pasukan Sekutu di belakangnya. Tapi takdir telah berubah. *10 November 1945 di Surabaya*, arek-arek pribumi menyambut peluru dengan teriakan tak gentar. Surabaya menyala, bukan oleh api penjajah, tetapi oleh semangat keberanian. Bambu runcing diangkat tinggi, tak peduli meriam mengguntur. Setiap lorong jadi medan tempur, setiap rumah jadi benteng pertahanan. Pertempuran itu mengguncangkan dunia—bangsa pribumi Indonesia menunjukkan pada dunia bahwa mereka tak akan pernah dijajah lagi!
Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta mempertegas semuanya. Dalam enam jam, pasukan TNI—bersama rakyat pribumi—menerobos barikade penjajah dan mengguncang keyakinan dunia internasional. Dari balik radio-radio di Eropa, rakyat dunia mendengar bahwa Republik Indonesia belum mati, dan tidak akan pernah mati!
⚠️ Dan dalam saat-saat penuh pengorbanan itu, catatan sejarah menunjukkan fakta pahit namun tak terbantahkan: *tidak satu pun tokoh klan Ba’alwi yang hadir di garis depan perjuangan*. Tidak ada nama dari rumpun itu di barisan laskar Diponegoro. Tidak ada satu pun yang bergabung dalam barisan Imam Bonjol, Cut Nyak Dien, Sultan Agung, atau pejuang-pejuang pribumi lainnya.
Sebaliknya, sejarah justru mencatat keberadaan mereka di sisi seberang.
➡️ Mereka didatangkan oleh kolonial Belanda ke Nusantara, diberi tanah dan fasilitas, kemudian diangkat sebagai Kapitan Arab, yakni pejabat yang ditugaskan menjaga kepentingan kolonial dan meredam perlawanan rakyat pribumi.
➡️ Tokoh paling jelas dalam barisan ini adalah Habib Utsman bin Yahya, yang tercatat secara resmi dalam arsip Hindia Belanda sebagai Mufti Pemerintah Belanda—jabatan keagamaan yang dipakai untuk membungkus penjajahan dengan dalil dan legitimasi agama.
Dalam Perang Jawa, ketika Pangeran Diponegoro bergerak dari hutan ke hutan, membangun jaringan rahasia pergerakan, justru tokoh bernama Baʿabud dari marga Ba’alwi memberikan informasi kepada Belanda dan memihak mereka guna mempertahankan privilese serta kedudukannya.
📌 Ini bukan opini—ini fakta sejarah yang tercatat dalam laporan kolonial.
Tak berhenti di situ, setelah Indonesia merdeka, sebagian anggota klan ini justru *memalsukan nasab para pahlawan dan ulama pribumi*. Mereka mengklaim bahwa Pangeran Diponegoro adalah “bin Yahya”, Imam Bonjol keturunan Ba’alwi, bahkan sejumlah ulama lokal yang makamnya disebar dari Jawa hingga Sulawesi diklaim sebagai bagian dari nasab mereka.
➡️ Sejumlah makam asli tokoh pribumi bahkan diubah papan nisannya, hanya demi membangun citra bahwa mereka “pernah ikut berjuang”. Padahal sejarah mencatat sebaliknya: *mereka tidak berada di medan juang, tetapi berada di balik meja kolonial.*
Namun bangsa ini tidak diselamatkan oleh kebohongan atau klaim nasab.
🚩 Bangsa ini diselamatkan oleh bambu runcing para santri.
🚩 Oleh doa-doa para ulama kampung.
🚩 Oleh teriakan Bung Tomo yang mengguncang Surabaya: “Merdeka atau mati!”
🚩 Oleh keberanian KH Hasyim Asy’ari yang menggerakkan Resolusi Jihad dan memerintahkan seluruh santri untuk mengangkat senjata melawan Belanda.
10 November 1945 di Surabaya menjadi hari ketika darah pribumi tertumpah sebagai penanda bahwa harga diri bangsa ini tidak bisa dibeli. Setiap lorong menjadi benteng, setiap rumah menjadi posko perjuangan. Dan di saat bambu runcing digenggam erat para pemuda, sekali lagi *tidak ada satu pun dari klan Ba’alwi yang berdiri di samping mereka*.
⚠️ Satu fakta tak boleh diselimuti oleh kabut romantisme: perjuangan suci ini digerakkan oleh bangsa pribumi, bukan oleh mereka yang datang bermodalkan nasab atau gelar. Tak ada nama dari klan habib Ba’alwi di garis depan medan perang. Sebaliknya, sebagian dari mereka justru bergandengan tangan dengan kolonial. Menjadi Kapitan Arab, mengamankan kepentingan Imperium Belanda, bahkan bertindak sebagai Mufti penjajah demi jabatan dan privilese. Sejarah mencatat dengan tinta yang tajam—bangsa ini merdeka bukan karena garis keturunan, tetapi karena keberanian dan ketulusan anak-anak pribumi.
💥 Inilah Indonesia!
Negeri yang merdeka bukan karena keturunan, bukan karena gelar, bukan karena pujian dari penjajah.
*Indonesia merdeka karena darah, keberanian, pengorbanan, dan kesetiaan rakyat pribumi!*
Selama bumi ini masih dipijak oleh anak-anak bangsa, kebenaran sejarah tidak akan pernah padam.
Dan bila ada yang mencoba memalsukannya, biarlah sejarah kembali berdiri dan berkata:
“Kemerdekaan ini ditebus oleh pribumi, bukan oleh para pengkhianat berselimut nasab.”
“Selama darah merah masih mengalir… selama napas masih berhembus… Indonesia akan berdiri, merdeka, dan tak akan pernah tunduk!”