Gelar Sayyid dan Mitos yang Terlalu Lama Dipelihara

*Gelar Sayyid dan Mitos yang Terlalu Lama Dipelihara*

Oleh Redaksi walisongobangkit.com

Di sebuah kutipan screenshot halaman sebuah kitab dalam Muqaddimah Qanun Asasi, tertulis nama yang sudah begitu akrab di telinga para pencinta “nasab suci”:

“قال السيد أحمد بن عبد الله السقاف رحمه الله”
(“Berkata as-Sayyid Ahmad bin Abdullah as-Saqqaf rahimahullah…”)

Satu kutipan. Satu gelar. Dan seolah itu sudah cukup untuk menyegel kebenaran silsilah yang selama ini disakralkan: bahwa Ahmad bin Abdullah as-Saqqaf adalah keturunan Rasulullah SAW. Tapi benarkah sesederhana itu? Apakah satu kutipan dalam kitab bisa membatalkan temuan ilmiah berlapis-lapis?

 

*Gelar Sosial, Bukan Pengakuan Ilmiah*

Para pembela garis darah Ba’alwi ramai-ramai menunjuk halaman itu sebagai “bukti sejarah”, seolah Hadlratussyekh KH Hasyim Asy’ari—pengarang Qanun Asasi—mengamini status sayyid keturunan Nabi dari klan Ba’alwi. Tapi ini sama saja seperti menyimpulkan bahwa seseorang raja hanya karena namanya ditulis “Sri Paduka” dalam buku sejarah: sebutan hormat bukanlah verifikasi.

Faktanya, tidak ada satu pun pernyataan eksplisit dari Hadlratussyekh bahwa beliau meneliti, menguji, apalagi mengesahkan rantai nasab Ahmad bin Abdullah as-Saqqaf. Penulisan “as-Sayyid” adalah bentuk penghormatan sosial, bukan hasil investigasi filologis atau historis.

Gaya penulisan pada masa itu memang longgar. Ulama saling menyapa dengan gelar “sayyid” atau “habib” meski tanpa validasi akademik. Dan di situlah jebakan kultural itu muncul. *Gelar-gelar sosial dijadikan “fakta nasab”.* Lebih fatal lagi: dijadikan alat legitimasi politik, sosial, bahkan ekonomi.

 

*Bantahan Berdasarkan Data, Bukan Doktrin*

KH Imaduddin Utsman al-Bantani—ulama NU dari jalur kritis—dalam tesis ilmiahnya membongkar mitos nasab ini dari fondasi terdalam. Ia menunjukkan bahwa klaim Ba’alwi sebagai dzurriyah Nabi *tidak memiliki sanad yang bersambung secara ilmiah, historis, maupun genetik.*

Ahmad bin Abdullah as-Saqqaf, nama yang tertulis dalam Muqaddimah Qanun Asasi itu, *tidak dapat dibuktikan secara ilmiah sebagai dzurri Rasulullah SAW*. Rantai silsilah mereka yang konon menembus ke Sayyidina Husain ra, ternyata penuh celah, diskontinuitas, bahkan nama-nama fiktif yang tidak ditemukan dalam sumber primer manapun dari abad ke-2 hingga ke-4 Hijriah.

Kajian KH Imaduddin tidak berdiri sendiri. Didukung oleh filolog sekelas Prof. Dr. Manachem Ali, pakar genetik Dr. Sugeng Sugiarto, hingga Dr. Michael Hammer dari University of Arizona—mereka membuktikan bahwa klaim nasab suci Ba’alwi tak lebih dari konstruksi sosial, *tanpa verifikasi DNA, filologi, atau bukti manuskrip primer.*

 

*Muqaddimah Qanun Asasi: Sumber atau Simpati?*

Lantas, apakah penyebutan “sayyid” pada Ahmad bin Abdullah as-Saqqaf di Muqaddimah Qanun Asasi membuktikan bahwa Kiai Hasyim membenarkan nasabnya? Tidak. Sama sekali tidak.

Itu bukan kesalahan cetak. Tapi juga bukan bentuk “kewaskitaan” KH Hasyim Asy’ari. Itu hanya gaya penulisan pada masanya, di mana gelar diberikan atas dasar sopan santun, bukan ilmu. Bahkan dalam banyak fatwanya, KH Hasyim lebih menekankan *akhlaq dan ukhuwah* dibanding urusan nasab.

Dan justru di titik inilah PWI LS (Perjuangan Walisongo Indonesia Laskar Sabilillah) perlu mendudukkan fakta secara jernih: *jangan jadikan satu kutipan kitab sebagai rujukan nasab, jika ia tidak disertai metodologi ilmiah.*

 

*Mengurai Mitos*

Mitos telah berumur ratusan tahun. Ia diberi nama, dibalut gelar, lalu diwariskan dengan syair, ratib, dan ziarah. Tapi zaman telah berubah. Ilmu tak lagi tunduk pada mitologi. Dan sebutan “sayyid” dalam satu kitab, tak lagi bisa berdiri melawan bukti ilmiah yang bertumpuk.

 

*Kesimpulan*

*Jawaban atas pertanyaan: “Apakah Muqoddimah Qonun Asasi salah cetak ataukah Hadlrotus Syaikh lebih ‘waskito’ dibanding KH Imaduddin al Bantani?”*

Pertanyaan ini menyentuh dua hal penting: keabsahan redaksi dalam Muqoddimah Qonun Asasi dan kredibilitas hasil riset ilmiah KH Imaduddin Utsman al Bantani terkait nasab Ba’alwi. Mari kita telaah dengan pendekatan ilmiah, historis, dan objektif:

*1. Apakah Qonun Asasi salah cetak?*

Dalam sejarah penerbitan naskah-naskah kuno, sangat mungkin terjadi penyisipan teks, kesalahan salin, atau bahkan perubahan redaksi oleh penerbit, juru tulis, maupun pihak-pihak berkepentingan—baik disengaja maupun tidak. Dalam konteks Qonun Asasi, terdapat beberapa indikator yang perlu dicermati:

  • Tidak ada manuskrip asli Qonun Asasi yang ditulis langsung oleh tangan Hadlratussyaikh KH Hasyim Asy’ari. Naskah-naskah yang beredar adalah hasil cetakan ulang oleh berbagai penerbit, yang terkadang tidak disertai catatan kritik teks.
  • Terdapat beberapa versi Qonun Asasi yang beredar di lingkungan Nahdlatul Ulama dengan redaksi yang sedikit berbeda.
  • Ketiadaan sanad ilmiah yang kuat terhadap pernyataan atau klaim nasab dalam naskah tersebut, khususnya yang menyebut nama-nama dari klan Ba’alwi. Jika klaim itu muncul tanpa disertai rujukan ilmiah yang otoritatif, maka perlu dikaji ulang dengan metode ilmu sejarah, ilmu nasab, dan filologi modern.

Jadi, bukan berarti Hadratussyaikh keliru, tetapi bisa jadi ada penyisipan redaksi yang bukan dari beliau secara langsung.

*2. Apakah KH Imaduddin Utsman al Bantani lebih “waskito”?*

KH Imaduddin bukan mengklaim dirinya lebih tahu daripada Hadratussyaikh, melainkan menggunakan pendekatan ilmiah modern untuk menguji ulang sebuah klaim nasab yang selama ini diterima tanpa verifikasi.

Penelitian beliau dilakukan dengan:

  • Metode sejarah dan kritik filologi terhadap manuskrip.
  • Kajian genetika DNA-Y dan haplogroup bersama para pakar, termasuk Dr. Sugeng Sugiarto dan Dr. Michael Hammer.
  • Koreksi terhadap sumber Ba’alwi yang bersumber dari kitab-kitab lemah sanad dan tidak ilmiah (misalnya tulisan Ali bin Muhammad al-Sakran abad ke-9 yang menulis tentang abad ke-4 tanpa sanad).

Dengan demikian, KH Imaduddin tidak sedang “menyaingi” kewaskitaan Hadratussyaikh, tapi melengkapi perjuangan beliau melalui pendekatan akademik dan ilmiah yang tersedia di zaman ini. Maka, tidak etis membandingkan siapa yang lebih “waskito,” sebab pendekatannya berbeda: Hadratussyaikh bergerak dalam konteks kebangsaan dan perjuangan kolonial, sementara KH Imaduddin bergerak dalam konteks koreksi warisan sejarah yang telah terdistorsi.

*3. Mengapa PWI LS menjadikan KH Imaduddin sebagai rujukan?*

Karena:

  • Beliau menyajikan data ilmiah lintas disiplin: sejarah, filologi, genetika, dan perilaku sosial.
  • Penelitiannya tidak tunduk pada dominasi identitas keturunan, tapi kepada nilai objektif, rasional, dan berbasis ilmu pengetahuan.
  • Didukung oleh para ahli dari dalam dan luar negeri (Prof. Dr. Manachem Ali, Dr. Sugeng Sugiarto, dan para peneliti haplogroup dunia).

*4. Kritik Terhadap Kesimpulan Sepihak*

Sebagian kalangan pendukung garis darah Ba’alwi menjadikan satu halaman dalam Qonun Asasi sebagai “bukti sejarah,” seolah Hadlratussyaikh telah mengesahkan nasab mereka. Ini adalah kekeliruan logika historis. Sama halnya seperti menyebut seseorang sebagai raja hanya karena dalam dokumen ditulis “Sri Paduka”—sebutan kehormatan tidak otomatis membuktikan status garis keturunan.

Faktanya:

  • Tidak ada satu pun pernyataan eksplisit bahwa Hadlratussyaikh KH Hasyim Asy’ari meneliti, menguji, apalagi mengesahkan rantai nasab dari Ahmad bin Isa al-Muhajir hingga Ahmad bin Abdullah as-Saqqaf.
  • Tidak ditemukan catatan bahwa Hadlratussyaikh mengundang tim nasab, saksi ilmiah, atau membandingkan sumber-sumber klasik tentang nasab Ba’alwi untuk tujuan verifikasi.

*5. Logika Berfikir Yang Sehat*

  • Tidak ada niat merendahkan Hadratussyaikh.
  • PWI LS justru melanjutkan cita-cita beliau dalam menjaga kebenaran, membela bangsa, dan menyelamatkan umat dari kepalsuan historis.
  • Pertanyaan ini seharusnya diarahkan bukan pada siapa yang lebih “waskito,” tapi apakah klaim nasab Ba’alwi memang sudah diuji dan terbukti secara ilmiah? Jawabannya adalah belum pernah terbukti, dan justru dibantah secara ilmiah oleh KH Imaduddin dan para peneliti internasional.

📌 Referensi Fakta:

  • KH Imaduddin Utsman al-Bantani, Kritik Ilmiah terhadap Nasab Klan Ba’alwi
  • Prof. Dr. Manachem Ali, Filolog & Akademisi UIN Maliki
  • Dr. Sugeng Sugiarto, Genetika Universitas Indonesia
  • Dr. Michael Hammer, Population Genetics, University of Arizona
  • Ali al-Sakran, kritikus sanad Ba’alwi dalam naskah klasik Hijaz

Akhir kata, sebuah nasab tak akan menyelamatkan siapapun kecuali amalnya sendiri. Dan gelar sayyid dalam kitab, hanyalah huruf—bukan kebenaran.




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *