INILAH AWAL-MULA SECARA RESMI LEMBAGA BA’ALWI ‘MEMBUNUH’ ALIAS MENIADAKAN TRAH WALISONGO

INILAH AWAL-MULA SECARA RESMI LEMBAGA BA’ALWI ‘MEMBUNUH’ ALIAS MENIADAKAN TRAH WALISONGO
Surat Nasab yang Menjadi Titik Panas Polemik Walisongo–Ba’alwi
Perdebatan mengenai garis keturunan Walisongo dan Ba’alwi bukan muncul tiba-tiba. Salah satu titik awal yang sering dirujuk para peneliti nasab adalah surat resmi Maktab Daimi Rabithah Alawiyah yang mendata jalur keturunan Alawiyyin di Indonesia. Dari dokumen inilah perbedaan tafsir soal genealogi mulai mencuat ke permukaan.
Surat tersebut mencantumkan garis nasab Walisongo hingga ke atas — menghubungkan pada jalur Ammul Faqih — namun tidak mencantumkan trah ke bawah secara detail. Di titik ini muncul pertanyaan publik: apakah keturunan Walisongo pasca generasi awal benar-benar tidak terdata, atau sekadar belum terverifikasi?
Sejak dokumen itu terbit, diskusi nasab memasuki babak baru. KH Imaduddin Utsman al-Bantani kemudian memperluas wacana dengan riset yang mengetengahkan kembali validitas jalur genealogis, membuat isu yang tadinya terbatas pada kalangan internal berubah menjadi perdebatan akademik terbuka. Banyak keturunan Walisongo mulai menelusuri ulang arsip, manuskrip, hingga penelitian DNA modern.
Ruang publik memanas. Beberapa pihak menganggap pendataan Rabithah Alawiyah sebagai upaya administratif agar nasab lebih tertata. Namun di sisi lain, ada suara yang menilai keputusan tersebut berpotensi menghilangkan jejak historis keturunan Walisongo, yang selama ini menjadi bagian penting dari sejarah Islam Nusantara. Perbedaan pandangan inilah yang kemudian melahirkan ketegangan, bahkan di tingkat sosial.
Pemeriksaan ulang pun dilakukan. Trah Walisongo mulai menyodorkan data sejarah dan penelitian independen, termasuk kajian filologi, arsip kolonial, hingga diskursus genetik. Dalam proses ini, muncul kritik mengenai keabsahan struktur pencatatan nasab oleh Rabithah Alawiyah. Beberapa peneliti mempertanyakan legitimasi lembaga tersebut dalam konteks otoritas internasional nasab, sebab pencatatannya dilakukan secara mandiri di Indonesia, bukan melalui Naqobah Yaman—wilayah genealogis yang kerap dijadikan rujukan oleh Ba’alwi.
Di sisi lain, ada perkembangan menarik: beberapa lembaga nasab internasional mulai mengakui keberadaan keturunan Walisongo, baik melalui jalur laki-laki maupun perempuan. Situasi ini menjadikan debat semakin kompleks, sekaligus membuka ruang baru bagi rekonstruksi sejarah yang lebih inklusif.
Pertanyaannya kini bergeser:
Bagaimana seharusnya sejarah nasab dicatat? Siapa yang berhak mengesahkan? Dan apakah rekam jejak genealogis Nusantara bisa dinilai hanya dari satu dokumen administrasi saja?
Sejarah selalu bekerja dengan caranya sendiri. Ketika satu narasi ingin ditegakkan, narasi lain muncul menantangnya. Pada akhirnya, publik membutuhkan riset lebih matang, data lebih jernih, serta diskusi ilmiah yang tidak hanya berpijak pada garis keturunan, tetapi juga kontribusi nyata para ulama bagi negeri.
Yang jelas, polemik ini bukan hanya soal nasab. Ini tentang identitas, otoritas sejarah, dan siapa yang berhak berbicara atas nama masa lalu.










Users Today : 967
Users Yesterday : 1052
This Month : 31637
This Year : 420416
Total Users : 626601
Views Today : 2855
Total views : 1431039
Who's Online : 12