Jejak Imigran Hadramaut: Antara Strategi Kolonial dan Simbol Sosial

*Jejak Imigran Hadramaut: Antara Strategi Kolonial dan Simbol Sosial*

 

*Bubarnya VOC dan Awal Kendali Kolonial*

Tanggal 31 Desember 1799 menandai tamatnya Kongsi Dagang Belanda, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Kebangkrutan akibat korupsi, tingginya biaya operasional, dan persaingan dengan East India Company dari Inggris membuat seluruh aset dan utang VOC diambil alih oleh pemerintah Kerajaan Belanda. Di sinilah awal mula Hindia Belanda sebagai koloni resmi, lengkap dengan birokrasi modern dan strategi kendali sosial yang lebih sistematis.
https://www.zenius.net/blog/penyebab-bubarnya-voc/

 

*Imigran Hadramaut dan Strategi Snouck Hurgronje*

Pasca-Perang Diponegoro (1825–1830), pemerintah kolonial kerepotan menghadapi gelombang perlawanan dari masyarakat pribumi. Salah satu solusi datang dari orientalis Belanda, Christiaan Snouck Hurgronje. Ia menyarankan pemerintah untuk mendatangkan imigran dari Hadramaut, Yaman Selatan. Menurutnya, komunitas orang-orang miskin dari wilayah itu bisa dijadikan mitra untuk mengontrol umat Islam di Nusantara.
https://prianganinsider.pikiran-rakyat.com/ragam/pr-3838300938/peran-snouck-hurgronje-dalam-mendatangkan-imigran-yaman-ke-indonesia-dan-tujuannya?page=all&

 

*Kebijakan Segregatif dan Posisi Sosial*

Imigran Arab-Hadrami masuk ke Hindia Belanda membawa berbagai motif: dari tekanan politik di kampung halaman hingga peluang ekonomi baru di Timur. Meski bukan bagian dari elite kolonial, mereka ditempatkan dalam status sosial menengah: lebih tinggi dari pribumi, tapi tetap di bawah orang Eropa. Sistem Wijkenstelsel diterapkan untuk memisahkan komunitas ini dari masyarakat lokal. Pemerintah kolonial bahkan menunjuk Kapitan Arab untuk mengawasi komunitas tersebut.
https://banten.nu.or.id/sejarah/berikut-motivasi-migrasi-orang-arab-hadrami-ke-hindia-belanda-5NFvq

https://hidayatullah.com/artikel/2023/06/26/253744/sadah-baalawi-dan-pemerintah-kolonial-belanda-di-indonesia.html

https://en.wikipedia.org/wiki/Kapitan_Arab

 

 

*Alat Politik, Bukan Agen Kemerdekaan*

Ahmad Jufri, peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam tesisnya (2015) menyebut bahwa kehadiran imigran Arab-Hadrami tak lepas dari konteks politik kolonial. Bukan sekadar dibiarkan, pemerintah kolonial justru memberi ruang dan proteksi administratif karena mereka dianggap efektif sebagai penetral umat Islam lokal yang lebih kritis terhadap penjajahan Belanda.

https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28210/1/AHMAD%20JUFRI-FAH.pdf

 

Artikel Hidayatullah (2023) mempertegas temuan itu. Sebagian besar imigran Ba’alwi disebut bersikap pasif terhadap perjuangan kemerdekaan dan justru lebih dekat dengan elit kolonial. Alih-alih menjadi penggerak perlawanan, mereka sering memainkan peran sebagai broker antara kekuasaan kolonial dan umat Islam.
https://hidayatullah.com/artikel/2023/06/26/253744/sadah-baalawi-dan-pemerintah-kolonial-belanda-di-indonesia.html

 

*Distorsi Peran dan Mitos Kontribusi*

Klaim bahwa mereka menyebarkan Islam di Nusantara juga dipertanyakan. Islam telah hadir jauh sebelum kedatangan Ba’alwi, melalui jalur ulama lokal dan para saudagar pribumi. KH Imaduddin Utsman al Bantani dalam penelitiannya menunjukkan bahwa kontribusi keislaman tokoh Ba’alwi sering kali dilebih-lebihkan. Banyak di antara mereka justru lebih aktif membangun jejaring sosial-ekonomi dengan elit kolonial Belanda ketimbang berbaur dengan rakyat untuk memperjuangkan kemerdekaan.

 

*Feodalisme Baru dalam Ruang Publik*

Di era modern, gelar “Habib” dari kalangan Ba’alwi tetap memiliki daya magis di mata sebagian masyarakat. Ia bukan sekadar identitas kultural, tapi berubah menjadi simbol otoritas—dalam dakwah, politik, bahkan bisnis spiritual.
“Fenomena kultus habib ini merupakan bentuk feodalisme baru dalam ruang publik keagamaan kita,” tulis Dr. Ali Nurdin dalam Jurnal Kebudayaan Islam (2021). Ketika masyarakat lebih mengagungkan gelar keturunan ketimbang integritas moral dan ilmiah, ruang kritis pun menyempit.

 

*Koreksi Sejarah dan Kritik Nasab*

Gelombang koreksi sejarah mulai muncul dalam satu dekade terakhir. Salah satunya dipicu oleh KH Imaduddin Utsman al Bantani, yang dalam tesisnya membedah enam kejanggalan dalam nasab Alwi bin Ubaidillah, tokoh sentral dalam silsilah Ba’alwi. Ia menegaskan, klaim tersebut lebih berdasar pada cerita turun-temurun yang tak ditopang dokumen primer.
“Kita tidak boleh menggadaikan akal dan hati hanya karena seseorang mengaku habib,” ujarnya dalam wawancara dengan Madania News.

 

*Identitas Bangsa yang Dipertaruhkan*

Di tengah derasnya arus informasi, masyarakat kini terpecah. Ada yang masih menerima klaim mulia komunitas Ba’alwi begitu saja, namun tak sedikit pula yang mulai mempertanyakan asal-usul, kontribusi, dan posisi sosial-politik mereka.
Ketegangan kian meningkat ketika muncul klaim bahwa tokoh-tokoh pejuang seperti Pangeran Diponegoro dan Imam Bonjol berasal dari keturunan mereka. Padahal, tidak ada data pendukung dalam Babad Tanah Jawi, Sejarah Nasional Indonesia, maupun arsip kolonial.

“Itu bukan saja manipulasi sejarah, tapi perampasan identitas bangsa,” kata Prof. Dr. Anhar Gonggong, sejarawan senior, dalam diskusi publik di Universitas Indonesia (2022).

 

*Antara Warisan Budaya dan Mitologi Sosial*

Pasca-kemerdekaan, komunitas Hadramaut mengalami integrasi sosial. Mereka menjadi bagian dari masyarakat Indonesia. Namun, posisi sebagian klan Ba’alwi yang terus mempertahankan simbol-simbol superioritas kultural menimbulkan dilema: apakah ini bagian dari warisan budaya, atau bentuk feodalisme baru?
“Bangsa besar adalah bangsa yang tidak takut pada sejarahnya sendiri,” tulis C.A. van Ophuijsen, arsitek tata bahasa Melayu modern.

 

*Penutup: Rasionalitas Sejarah sebagai Jalan Tengah*

Indonesia hari ini memerlukan keberanian untuk memilah antara fakta sejarah, konstruksi budaya, dan mitologi sosial. Komunitas Hadramaut adalah bagian dari kisah Indonesia. Tapi tak boleh ada kelompok yang berdiri di atas hukum, akal sehat, dan sejarah hanya karena narasi klaim turunan mulia yang tidak bisa dibuktikan secara ilmiah.

 




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *