Ketika Akhlak Tumbang di Hadapan Fanatisme Buta: Kasus Arya Menghina Kiai Sepuh

*”Ketika Akhlak Tumbang di Hadapan Fanatisme Buta: Kasus  Arya Menghina Kiai Sepuh”*

 

Viralnya video  Arya yang dengan lancangnya menghina Dr. KH. Marzuqi Mustamar, M.Ag.—seorang ulama sepuh, tokoh Aswaja tulen, dan mantan Ketua PWNU Jawa Timur—bukan hanya sebuah tindakan tidak beradab. Itu adalah tamparan keras bagi umat Islam yang masih memiliki hati dan akal sehat.

 

Arya bukan sedang menyampaikan kritik. Ia sedang mempertontonkan akhlak buruk di ruang publik. Kata-kata kasarnya bukan hujjah, tetapi cercaan. Ia tidak sedang membela kebenaran, tapi menistakan kehormatan seorang ulama hanya karena fanatismenya kepada seorang tokoh—Habib Luthfi bin Yahya—dikritisi secara ilmiah dan adil oleh Kiai Marzuqi.

 

Inilah potret nyata: ketika Muhibbin buta berubah menjadi perusak adab. Mereka tidak peduli siapa yang menyampaikan kebenaran, selama itu menyentuh “berhala sosial” mereka, maka hujatan pun mengalir tanpa rem. Bahkan terhadap ulama sepuh yang terbukti keilmuannya, ketulusannya, dan kiprahnya bagi umat dan negara.

 

*Siapa Kiai Marzuqi yang Dihina Itu?*

 

Kiai Marzuqi bukan sembarang ulama. Beliau adalah ulama Aswaja murni yang telah mengabdikan hidupnya untuk Islam dan Nahdlatul Ulama. Berikut riwayat pendidikan beliau:

 

TK Muslimat Karangsono Kanigoro, Blitar (1972)

 

MI Miftahul ‘Ulum (1979)

 

SMP Hasanuddin (1982)

 

MAN Tlogo (1985)

 

Pondok Pesantren Nurul Huda, Mergosono

 

LIPIA Jakarta (1988)

 

S1 IAIN Malang (1990)

 

S2 Universitas Islam Lamongan (2004)

 

S3 Universitas Islam Malang (2023)

 

Selain pendidikan formal, beliau berguru kepada para kiai besar, salah satunya KH A. Masduqi Machfudz, ulama karismatik dari Malang. Kiai Marzuqi juga aktif sebagai dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

 

Karyanya antara lain:

 

Kitab Al-Muqtathafat li Ahl al-Bidayat, kitab berbahasa Arab berisi sanggahan terhadap kaum Wahabi Salafi

 

Solusi Hukum Islam Bersama Kiai Marzuqi Mustamar (2016), buku fikih aplikatif untuk umat.

 

Beliau bukan sekadar ulama. Beliau adalah pejuang Aswaja, pendidik umat, dan penulis kitab-kitab penting untuk membentengi akidah Ahlussunnah dari rongrongan Wahabi dan pemikiran sesat. Beliau telah menyelesaikan pendidikan formal dan non-formal dari TK hingga doktoral. Beliau juga murid dari ulama besar KH A. Masduqi Machfudz. Kitabnya, Al-Muqtathafat, menjadi rujukan utama dalam menjawab bid’ah-bid’ah tuduhan kaum Salafi.

 

Ilmu beliau dalam bidang fikih, ushul, dan akidah tidak diragukan. Namun kini dihina oleh seseorang yang tidak dikenal kontribusinya terhadap Islam dan hanya mengandalkan keberanian di depan kamera untuk mencaci ulama.

 

Karya, kontribusi, dan perjuangannya nyata. Sementara Gus Arya? Siapa gurunya? Apa kitabnya? Apa kontribusinya bagi umat selain mencaci ulama?

 

*Kritik Boleh, Tapi Adab Harus Nomor Satu*

 

Dalam tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah, kritik terhadap ulama disampaikan dengan ta’zhim (penghormatan), bukan dengan mulut kotor. Ulama sepuh tidak dibantah dengan kata-kata sinis, tetapi dijawab dengan ilmu dan adab. Rasulullah SAW bersabda:

 

> “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, dan tidak mengetahui hak ulama kami.”

(HR. Ahmad)

 

*Jika Muhibbin Sejati, Tunjukkan Adabmu*

 

Fanatisme buta kepada seorang tokoh hingga membuatmu berani menghina ulama lain bukanlah cinta, tapi kesesatan. Kecintaan kepada Habib tidak bisa dijadikan pembenaran untuk mencaci para kiai yang tidak sejalan.

 

Cinta sejati kepada para dzurriyah Nabi SAW tidak akan menghapus kewajiban beradab kepada ulama. Bahkan Imam Syafi’i, seorang Ahlul Bait, tetap mengakui keilmuan Imam Malik, gurunya, dan sangat tawadhu kepada para ulama lain.

 

*Kesimpulan:*

Arya telah menelanjangi dirinya sendiri. Dengan lisannya yang kotor, ia membuktikan bahwa ia bukan pecinta ulama, bukan penjaga adab, dan bukan pembela kebenaran. Ia hanyalah korban dari fanatisme membabi buta, dan seharusnya menjadi pelajaran bagi kita semua: jangan pernah membiarkan akhlak tumbang demi membela tokoh—siapa pun dia.




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *