Ketika “Isin” Berganti Arah

 


*Ketika “Isin” Berganti Arah*

Tulisan para pendukung Ba‘alwi yang menanggapi karya Kiai Imad sering kali punya pola yang sama: membelokkan masalah dari inti argumentasi menuju serangan personal. Kali ini, modusnya sederhana: menyebut tesis Kiai Imad “memalukan di mata internasional” karena tak satu pun anggota grup nasab Arab mendukungnya.

Pertanyaannya: sejak kapan kebenaran sejarah ditentukan lewat polling WhatsApp group?

*Popularitas Bukan Validitas*

Dalam tradisi ilmu, validitas tidak diukur dari tepuk tangan mayoritas, melainkan dari kekuatan data. Nicolaus Copernicus pernah ditertawakan ketika menyatakan bumi berputar mengelilingi matahari. Hari ini, siapa yang ditertawakan sejarah? Bukan Copernicus.

Begitu pula tesis Kiai Imad: inti argumennya sederhana dan logis—klaim Ba‘alwi sebagai dzurriyah Nabi tidak tercatat dalam sumber-sumber primer Yaman abad ke-4 hingga ke-9 H. Itu problem besar. Dan sampai hari ini, tidak ada bantahan serius yang menunjukkan bukti positif keberadaan Ba‘alwi sebelum abad ke-9 H. Yang ada justru serangkaian apologi tentang “mungkin tidak disebutkan,” “mungkin terlewat,” atau “mungkin ditulis belakangan.”

Ilmu sejarah tidak hidup dari “mungkin-mungkin.”

*Tentang Tuduhan “Bodoh Kitab Tarajim”*

Salah satu komentar di grup internasional menyebut Kiai Imad “bodoh tentang kitab tarajim.” Ironis, karena justru argumen yang dipakai balik menggigit:

  • Jika Muslim al-Lahji memang hanya menyebut sebagian tokoh ahlul bait, lalu mengapa yang lain tercatat tapi Ba‘alwi tidak?
  • Jika Ibnu Samurah memang tidak lengkap lalu dilengkapi al-Janadi, mengapa tetap tidak muncul nama Ba‘alwi?
  • Jika al-Malik al-Rasuli dianggap bermasalah karena menulis tokoh setelah wafatnya, maka makin jelas betapa rentan kitab-kitab tarajim dengan interpolasi belakangan—dan itu justru menguatkan kehati-hatian Kiai Imad.

Dengan kata lain, bantahan mereka justru mengkonfirmasi inti kritik: tidak ada bukti primer yang menyebut Ba‘alwi pada masa-masa kunci.

*DNA dan Masa Depan Ilmu Nasab*

Ada satu hal yang sengaja dihindari para pembela Ba‘alwi: fakta bahwa uji DNA di Maroko, Mesir, dan beberapa negara Teluk mulai dipakai untuk memverifikasi klaim keturunan. Seperti astronomi menggantikan hisab kuno dalam menentukan awal Ramadhan, DNA akan menjadi standar baru dalam itsbat nasab. Dan ini bukan sekularisasi, tapi pembaruan metode demi menjaga maqashid syariah: hifz al-nasab (menjaga kemurnian nasab).

Ketika itu tiba, popularitas grup Facebook atau teriakan “isin” tidak lagi punya nilai ilmiah.

*Pengakuan Ilmuwan Internasional*

Metodologi yang digunakan KH Imaduddin—memadukan teks klasik, sejarah, dan genetika—justru sejalan dengan riset global:

Prof. Tudor Parfitt (SOAS, London) menegaskan pentingnya verifikasi historis dan genetik dalam mengkaji klaim keturunan Bani Israel maupun Quraisy.

Dr. Michael Hammer (University of Arizona) membuktikan konsistensi haplogroup J1 pada komunitas keturunan Quraisy, membuka jalan bagi standar ilmiah penelitian nasab.

Dr. Marc Haber (University of Birmingham) menunjukkan bahwa studi DNA adalah kunci untuk memahami asal-usul kabilah Arab.

Di Indonesia, Prof. Dr. Manachem Ali (UNAIR) menekankan perlunya kritik teks silsilah dan integrasi dengan bukti ilmiah modern.

Maka, karya KH Imaduddin bukan “kebodohan orang Indonesia” seperti tuduhan murahan di Facebook, melainkan bagian dari tren akademik global yang sedang berlangsung.

*Ketika Isin Itu Sebenarnya Milik Siapa?*

Sementara para pendukung Ba‘alwi puas dengan emotikon tawa di grup WhatsApp, ilmuwan dunia bergerak dengan jurnal, laboratorium, dan metodologi. Yang benar-benar patut isin adalah mereka yang masih menolak standar ilmiah internasional hanya demi menjaga kenyamanan mitos.

KH Imaduddin al-Bantani berdiri di panggung dunia bukan karena sensasi, tetapi karena konsistensinya mempraktikkan tradisi Islam: menguji, mengkritik, dan menimbang dengan akal sehat. Dan itulah yang membuatnya berkelas internasional.

*Siapa Sebenarnya yang Patut Isin?*

Maka, yang patut ditanyakan ulang: siapa sebenarnya yang harus “isin”?

  • Apakah orang yang membaca sumber primer, menemukan ketiadaan bukti, lalu menyimpulkan secara akademis?
  • Ataukah mereka yang membangun silsilah berlapis-lapis di atas “syuhroh” tanpa sanad historis, lalu menjawab kritik dengan emot tawa?

Sejarah tidak ditulis dengan emoji.


*Penutup*
Dalam perdebatan ilmiah, yang menentukan bukan jumlah pendukung, melainkan ketajaman argumen dan kekuatan data. Kiai Imad sudah menaruh batu uji itu di tengah jalan. Siapa pun boleh mencoba menendangnya. Tapi sejauh ini, yang terdengar baru riuh tawa—tanpa bukti tandingan.

Dan bila satu tesis bisa mengguncang sebuah klaim berabad-abad, mungkin justru itu tanda betapa rapuhnya klaim tersebut sejak awal.

 




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *