Klaim Silsilah dan Bara Kerusuhan: Pelajaran dari Fenomena Klan Ba’alwi
Indonesia berdiri di atas warisan keragaman — dari Walisongo, para ulama kampung, pejuang rakyat biasa, hingga penghayat tradisi Nusantara. Namun di sela ikatan persatuan itu, sejarah menyimpan catatan tentang segelintir kelompok yang datang membawa klaim silsilah istimewa: Klan Ba’alwi, imigran dari Hadramaut, Yaman.
Mereka mengaku cucu Nabi Muhammad ﷺ. Namun seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, klaim ini makin sering diuji. Dan hasilnya menimbulkan tanda tanya besar.
Apa Kata Penelitian?
Beberapa peneliti independen — baik di dalam maupun luar negeri — telah menyoroti ketidaksesuaian klaim keturunan Ba’alwi dengan fakta ilmiah.
1. Kajian Genetika:
Riset DNA modern menunjukkan pola haplogroup keturunan Bani Hasyim (garis keluarga Nabi Muhammad ﷺ) umumnya berada di jalur haplogroup J1. Namun, hasil tes genetik di beberapa jalur Ba’alwi justru tak menunjukkan tanda genetis tersebut.
Beberapa pakar genetika — di antaranya Dr. Michael Hammer (Arizona) dan sejumlah peneliti haplogroup Timur Tengah — telah menegaskan pentingnya uji DNA untuk meluruskan silsilah.
2. Filologi dan Sejarah:
Catatan silsilah Ba’alwi banyak bersumber pada manuskrip abad ke-9 Masehi yang tidak memiliki bukti tertulis yang kuat untuk menghubungkan nama ‘Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir’ langsung ke jalur Nabi. Sejumlah akademisi filologi, termasuk Prof. Dr. Manachem Ali (Unair), menyoroti kejanggalan ini.
3. Kajian Sosial:
Dalam praktik di lapangan, sebagian pengikut Ba’alwi menekankan penghormatan mutlak pada garis keturunan — bahkan melebihi ilmu, akhlak, atau kontribusi nyata pada masyarakat. Ini yang memicu kesenjangan sosial kultural.
Kenapa Kerusuhan Sering Menyertai?
Fakta di lapangan menunjukkan beberapa konflik horizontal kerap terjadi di daerah yang diwarnai dominasi tokoh dengan klaim Ba’alwi. Di beberapa kasus, acara-acara tertentu tetap digelar meski ada penolakan warga. Gesekan muncul, warga pribumi berseteru, sedangkan elit Ba’alwi kerap tak tampak di barisan depan penyelesaian masalah.
Di sinilah lahir keresahan: Mengapa warga pribumi harus selalu jadi tameng?
Mengapa di balik bendera “dzuriyat Nabi” justru tersisa bara perpecahan?
Organisasi Pembela Walisongo
Munculnya PWI LS (Perjuangan Walisongo Indonesia Laskar Sabilillah) tak lepas dari fenomena ini. Sebagian warga Nahdliyyin yang resah sepakat bahwa warisan Walisongo perlu dijaga dari pengkultusan silsilah tanpa dasar ilmiah.
Mereka tidak membenci Arab, tidak anti keanekaragaman. Mereka hanya menolak satu hal: klaim istimewa tanpa bukti yang membelah persatuan.
Ironi Tuduhan Rasis
Alih-alih bercermin, sebagian pendukung Ba’alwi malah menuduh PWI LS rasis dan fasis. Padahal jika merunut ke dalam, eksklusivitas justru lahir dari ajaran feodal di lingkar Ba’alwi sendiri.
Contoh yang kerap terdengar di tengah masyarakat:
- Menikah di luar Ba’alwi dianggap zina.
- Derajat seorang Ba’alwi, meski bermoral buruk, diklaim lebih tinggi dari kiai pribumi.
- Siapa berani mengkritik silsilah, akan dilabeli kafir atau terkutuk.
Jika demikian, siapa sebenarnya yang rasis?
Jangan Terkecoh Narasi Playing Victim
Setiap konflik kerap diakhiri narasi “kami korban persekusi”. Padahal kalau benar cucu Nabi, tentu lebih layak meneladani Rasulullah ﷺ: mengalah demi ukhuwah, memadamkan api fitnah, bukan menuntut dihormati meski menyalakan api gesekan.
Aparat Harus Netral
Masyarakat berharap aparat menegakkan keadilan tanpa tebang pilih. Buka ruang riset independen: filologi, genetika, sejarah. Publikasikan hasilnya ke publik. Dengan data terbuka, klaim bisa diuji, mitos bisa diluruskan.
Warisilah Akhlak Walisongo
Walisongo tidak mengajarkan kasta. Mereka menanamkan Islam dengan hati, bukan sorban dan gelar. Membela warisan Walisongo artinya menolak pengkultusan palsu yang merendahkan akal sehat.
Bangsa ini berdiri di pundak rakyat biasa: petani, nelayan, guru ngaji di surau. Bukan di kaki nasab tak terbukti.
Mari berfikir rasional
Ini bukan ajakan benci. Ini ajakan berpikir.
Buka buku, buka jurnal, buka akal sehat.
Pribumi Nusantara tidak anti keberagaman — tapi menolak dibodohi narasi keagungan tanpa bukti.
Persatuan lahir dari kejujuran. Bukan dari mitos silsilah.