*Klan Ba’alwi dan Kejahatan Sistemik Klaim Sebagai Dzuriyah Nabi Muhammad S.A.W.*
Oleh: Peneliti Genealogi dan Kajian Islam Kritis
Klaim sebagai dzuriyah Nabi Muhammad SAW telah menjadi pilar utama kekuasaan simbolik klan Ba’alwi di berbagai negara Muslim, termasuk Indonesia. Namun dalam beberapa tahun terakhir, klaim tersebut mulai digugat dari berbagai sisi: sejarah, filologi, genetika, hingga etika publik. Ironisnya, semakin kuat bukti yang menolak klaim tersebut, semakin keras pula klan Ba’alwi mempertahankannya. Pertanyaannya: apa yang sebenarnya dipertahankan?
Penolakan untuk mengakui bahwa mereka bukan dzuriyah Nabi Muhammad S.A.W. bukan semata persoalan identitas, melainkan bagian dari sistem yang terbangun secara struktural dan mengakar dalam banyak lini sosial. Dalam istilah sosiolog Pierre Bourdieu, ini adalah modal simbolik—di mana pengakuan keturunan Nabi Muhammad S.A.W. digunakan untuk mengakumulasi kuasa sosial, ekonomi, dan politik, sekaligus membangun lapisan loyalitas dari publik awam yang disulap menjadi ‘mukibbin’.
*Kapitalisasi Nasab*
Di Indonesia, klaim dzuriyah digunakan untuk membuka jalan pengaruh ke berbagai institusi keagamaan, pendidikan, hingga lembaga keuangan. Dari penggalangan dana atas nama dakwah hingga penguasaan ruang-ruang strategis dalam organisasi Islam, semua mengalir melalui status “sayyid” atau “habib” yang dilegitimasi oleh silsilah—yang ironisnya, tidak pernah terverifikasi secara ilmiah maupun sejarah.
Penelitian mutakhir dari Dr. Michael Hammer, ahli genetika dari University of Arizona, menemukan bahwa keturunan Nabi Muhammad S.A.W. SAW secara genetika tergolong dalam haplogroup J1. Sebaliknya, penelitian DNA pada sebagian Ba’alwi justru menunjukkan haplogroup G—menandakan asal-usul berbeda yang tidak bisa disambungkan secara ilmiah dengan Nabi Muhammad S.A.W. Muhammad SAW atau suku Quraisy.
Di Indonesia, Dr. Sugeng Sugiarto, seorang genetisis senior, turut menegaskan bahwa validitas nasab melalui jalur lisan tanpa pengujian genetik tidak bisa dijadikan acuan. “Penelusuran nasab seharusnya dilakukan secara ilmiah agar tidak menyesatkan umat,” tegasnya dalam sebuah forum diskusi ilmiah di Surabaya.
*Distorsi Sejarah dan Manipulasi Identitas*
Lebih dari sekadar klaim privat, Ba’alwi juga terlibat dalam manipulasi identitas tokoh-tokoh penting Indonesia. Beberapa tokoh seperti Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, bahkan KRT Sumadiningrat diklaim sebagai bagian dari klan mereka, meski tidak ada dokumen sejarah valid yang mendukung klaim tersebut. Dalam beberapa kasus, seperti pada makam KRT Sumadiningrat, ditemukan pemalsuan nisan menjadi “bin Yahya”—sebuah tindakan yang oleh sejarawan Prof. Dr. Anhar Gonggong disebut sebagai pengaburan sejarah nasional.
Lebih lanjut, mereka juga mengklaim peran sentral dalam pendirian Nahdlatul Ulama, padahal sejarah mencatat NU lahir dari perjuangan ulama lokal seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, dan ulama-ulama pesantren Jawa lainnya—tanpa keterlibatan dominan dari jaringan Ba’alwi.
*Mengapa Mereka Tak Mengaku?*
Setidaknya ada tiga alasan mengapa pengakuan palsu ini terus dipertahankan. Pertama, kekhawatiran kehilangan dukungan massa atau “mukibbin,” yang selama ini menjadi basis ekonomi dan loyalitas sosial mereka. Kedua, bila mengakui ketiadaan nasab Nabi Muhammad S.A.W., mereka kehilangan legitimasi moral yang selama ini menjadi tiket akses ke ruang-ruang elit. Ketiga, potensi tuntutan hukum—terkait dugaan pembohongan publik dan manipulasi identitas agama—bisa menjadi bumerang besar.
Sejak kapan klaim nasab menjadi hak istimewa tanpa bisa diuji? Sejak kapan pula kebenaran lisan yang tidak terverifikasi lebih dipercaya daripada bukti ilmiah dan sejarah tertulis?
*Saatnya Umat Menegakkan Kebenaran*
Bangsa ini sedang menghadapi tantangan berat dalam menjaga identitas, sejarah, dan marwah keagamaannya. Pemalsuan nasab bukan hanya kejahatan personal, melainkan kejahatan sistemik yang menggerogoti akar rasionalitas umat. Lebih dari itu, ini adalah penghinaan terhadap Rasulullah SAW itu sendiri—karena membawa-bawa namanya demi kekuasaan dan kekayaan.
Rasulullah bersabda, “Barang siapa menasabkan dirinya pada bukan bapaknya, maka tempatnya di neraka.” (HR Bukhari-Muslim)
Kita tidak sedang membenci keturunan Nabi Muhammad S.A.W.. Kita sedang melawan pemalsuan atas nama Nabi Muhammad S.A.W..