*Manusia Dinilai dari Taqwa, Bukan Baju Apalagi Nasab Palsu*
*Klan Ba’alwi dan Hambatan Kemajuan Nahdliyin: Saatnya Rasional, Bukan Sekadar Husnudzon*
Beberapa waktu terakhir, ruang diskursus umat disuguhi komentar sebagian habib Klan Ba’alwi yang dengan entengnya bicara soal “ketidakmajuan” kalangan Nahdliyin. Ironisnya, komentar semacam ini kerap melupakan satu fakta penting: akar masalah kemunduran Nahdliyin justru sebagian bersumber dari kemapanan mitos yang mereka propagandakan sendiri — yakni keyakinan bahwa Klan Ba’alwi adalah keturunan Nabi Muhammad SAW.
Di titik inilah, akal sehat dan penalaran ilmiah mesti diberi panggung. Sebab terlalu lama umat ini diajak larut dalam “politik husnudzon”, berbaik sangka pada klaim-klaim yang tak pernah diuji secara akademik. Padahal, di era literasi digital dan sains genetik, klaim nasab seharusnya berdiri di atas landasan bukti — bukan sekadar dikultuskan turun-temurun.
*Sejarah, Filologi, dan Genetika Bicara*
Kajian sejarah dan filologi kontemporer — salah satunya penelitian KH Imaduddin Utsman al Bantani, diperkuat catatan Prof. Dr. Manachem Ali — menyoroti rantai silsilah Klan Ba’alwi yang problematis. Puncaknya pada nama Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir yang disebut-sebut leluhur Alawi, ternyata tak dapat diverifikasi dalam sumber primer abad keempat Hijriah. Sumber yang banyak dipakai hanyalah nukilan sekunder di abad kesembilan Hijriah, tanpa catatan rantai sanad yang kokoh.
Lebih tegas lagi, pembacaan genetik oleh peneliti seperti Dr. Sugeng Sugiarto menunjukkan perbedaan haplogroup DNA antara kelompok yang mengklaim Ba’alwi dengan haplogroup umum Bani Hasyim. Ringkasnya: klaimnya besar, buktinya kosong.
*Ketika Nasab Jadi Sandaran Palsu*
Yang lebih memprihatinkan: klaim nasab suci ini justru dijual sebagai tiket otoritas keagamaan di tubuh umat, khususnya di kalangan Nahdliyin. Simbol baju gamis, jubah putih, serban tebal, dan gelar habib seringkali jadi “tameng sakral” untuk membungkam kritik. Padahal dalam Islam, ukuran mulia hanyalah taqwa. Firman Allah jelas: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertaqwa.” (QS. Al-Hujurat: 13).
Sayangnya, di sebagian pengurus Nahdliyin, mitos takut kuwalat masih jadi jurus kuno: enggan menegur perilaku menyimpang segelintir oknum Ba’alwi, meski sudah nyata berseberangan dengan nilai-nilai akhlak dan keilmuan.
*Belajar dari Muhammadiyah*
Bandingkan dengan Muhammadiyah yang sejak awal menempatkan rasionalitas dan pendidikan modern di depan. Tidak ada kultus darah keturunan di sana. Akibatnya, Muhammadiyah lebih lincah merespons zaman, membangun sekolah, rumah sakit, dan inovasi sosial tanpa tersandera klaim genealogis.
*Tarim, Kemiskinan, dan Ilusi Keagungan*
Fakta di lapangan pun bicara keras. Tarim, Hadramaut — tanah asal Klan Ba’alwi — kini salah satu daerah termiskin di Yaman, bahkan di dunia. Krisis pangan, konflik bersenjata, minimnya inovasi, semua jadi potret betapa “kehormatan nasab” tidak otomatis membawa kemajuan peradaban. Kalau nasab benar-benar sakti, Tarim mestinya jadi mercusuar dunia Islam hari ini. Faktanya? Justru sebaliknya.
*Saatnya Nahdliyin Rasional*
Umat perlu sadar. Kemuliaan Islam bukan warisan darah, tetapi warisan ilmu dan taqwa. Kita tak butuh mitos yang dijadikan kendaraan kuasa. Kita butuh rasionalitas yang sehat, agar Nahdliyin tak terus disandera oleh kultus palsu.
Kalau benar mau maju, peta otoritas keagamaan di tubuh Nahdliyin harus kembali pada maqam ilmu, bukan pada gelar “habib” yang tak terbukti silsilahnya secara ilmiah. Bersihkan dari mitos, rapikan dari khurafat. Semakin cepat semakin baik.
Allah tidak menilai gamis kita. Allah menilai hati, niat, dan perbuatan kita.
Yang layak dijaga dari Nabi hanyalah ajaran dan akhlaknya — bukan klaim garis keturunan yang rapuh.
—
*Saatnya Nahdliyin rasional, berani bangkit, dan memuliakan ilmu di atas mitos.*