Membaca Ulang Sikap terhadap Iran dan Palestina: Kritik Terhadap Narasi Ustaz mualaf FS
Ada kalanya kekeliruan seorang sahabat terasa lebih menyakitkan daripada kebohongan musuh. Terutama jika kekeliruan itu dibingkai dengan dalil, disampaikan dengan keyakinan, dan tersebar luas dalam ruang publik. Dalam konteks ini, kita menyaksikan narasi-narasi dari seorang mualaf dan pendakwah populer, sebut saja “Ustaz FS”, yang akhir-akhir ini kerap mengeluarkan pernyataan kontroversial seputar Iran, Syiah, dan konflik Palestina.
Ustaz FS menyatakan bahwa Iran bukan bagian dari dunia Islam, dengan menautkan Iran hari ini pada warisan kerajaan Persia kuno dan tokoh seperti Cyrus Agung. Pernyataan ini tidak hanya memuat penyederhanaan sejarah, tetapi juga berpotensi mengaburkan fakta-fakta geopolitik yang telah berjalan sejak revolusi Islam Iran tahun 1979.
Iran modern, sebagai Republik Islam, muncul dari penolakan terhadap Syah Pahlevi yang didukung Barat. Revolusi itu menandai pemutusan hubungan diplomatik dengan Israel dan Amerika Serikat, mengganti kedutaan Israel di Teheran menjadi kantor perwakilan Palestina. Sejak itu, Iran tidak pernah berhenti menegaskan posisinya di blok perlawanan terhadap Zionisme.
Pada 1982, Iran membantu mendirikan Hizbullah di Lebanon Selatan, yang kemudian menjadi kekuatan utama dalam menghadapi invasi Israel. Hingga kini, dukungan Iran terhadap kelompok-kelompok perlawanan Palestina tetap nyata, baik dalam bentuk pelatihan, logistik, maupun teknologi militer, seperti rudal Fajr-5 yang digunakan di Gaza.
Dalam pernyataannya, Ustaz FS menyebut Iran menyerang hanya karena diserang. Namun berbagai laporan, termasuk wawancara dengan tokoh Hamas seperti Ismail Haniyeh, justru menunjukkan bahwa dukungan Iran berlangsung secara konsisten sejak lama, tidak hanya sebagai reaksi, tetapi sebagai bagian dari prinsip perjuangan.
Narasi yang menyamakan Iran hari ini dengan kekaisaran kuno Persia menunjukkan kekeliruan historiografis. Cyrus Agung memang pernah mengizinkan bangsa Yahudi kembali ke Yerusalem, tetapi itu dilakukan sebagai strategi kekuasaan, bukan sebagai bentuk dukungan keimanan. Menarik garis lurus dari Cyrus ke Iran modern adalah lompatan logika yang tidak berdasar.
Narasi ini juga selaras dengan retorika yang pernah disuarakan oleh tokoh-tokoh Israel seperti Benjamin Netanyahu, yang mengajak rakyat Iran menumbangkan pemimpinnya sendiri. Ironisnya, narasi itu kini diulang oleh sebagian tokoh Muslim.
Memang benar bahwa Iran tidak luput dari kritik. Namun ketika dunia Arab justru menormalisasi hubungan dengan Israel, Iran tetap konsisten dalam dukungannya terhadap Palestina. Negara-negara seperti Arab Saudi, UEA, Bahrain, dan Sudan telah membuka hubungan dagang dengan Tel Aviv. Lalu, mengapa yang dikritik justru negara yang melawan?
Setiap Jumat terakhir Ramadhan, Iran memperingati Hari Al-Quds sebagai bentuk solidaritas terhadap Palestina. Aksi ini bukan hanya simbolik, tetapi juga mencerminkan posisi politik yang jelas. Ketika serangan terhadap Gaza terjadi, Iran dan sekutunya seperti Hizbullah dan kelompok perlawanan di Yaman justru memberikan respons nyata.
Polemik ini mengingatkan kita bahwa keberpihakan dalam konflik tidak seharusnya dikaburkan oleh perbedaan mazhab. Dalam konflik Palestina-Israel, pertanyaannya bukan tentang Sunni atau Syiah, tetapi siapa yang membantu dan siapa yang diam.
Sejarah mungkin tidak mencatat semua nama, tetapi akan mencatat siapa yang berdiri di sisi yang tertindas. Dalam konteks ini, Iran hadir, bahkan dalam tekanan sanksi dan embargo.
Sebaliknya, jika ada pihak yang lebih cepat menuduh sesat sesama Muslim dibanding mengkritik kolaborasi dengan penjajah, maka patut dipertanyakan keberpihakan ideologis dan keberanian intelektualnya.
Tulisan ini tidak bertujuan untuk mengagungkan satu negara atau mazhab, tetapi mengajak pembaca untuk melihat ulang peta perlawanan terhadap penjajahan, dan menilai siapa yang konsisten berdiri di garis depan, serta siapa yang memilih bermain aman dengan retorika.
Perlu juga dicatat, bahwa kehadiran Ustaz FS sebagai mualaf yang kini aktif berdakwah, patut dikaji secara kritis. Beberapa pengamat mempertanyakan motif di balik narasi-narasi kontroversialnya, terutama karena tidak tampak adanya empati kemanusiaan terhadap penderitaan rakyat Palestina dalam pernyataan-pernyataannya. Di tengah tragedi kemanusiaan yang menimpa Palestina, sikap seorang Muslim seharusnya, setidaknya, memuat empati yang tulus—betapapun berbeda pandangan mazhab atau politik. Ketika simpati itu tak tampak, dan narasi justru menyerang pihak yang membela Palestina, muncul kecurigaan apakah dakwah yang dibawa benar-benar lahir dari keimanan, atau sekadar misi lain yang lebih tersembunyi.
Sebagaimana ditulis oleh penyair Indonesia, Goenawan Mohamad: kadang yang paling terang tak butuh teriak. Ia hanya perlu hadir, ketika yang lain pergi.