*Membaca Ulang Tuduhan Rasisme terhadap PWI–LS*
Dalam beberapa pekan terakhir, sejumlah pihak menuding gerakan yang dilakukan Perjuangan Walisongo Indonesia – Laskar Sabilillah (PWI–LS) sebagai rasis, intoleran, dan anti-Habib. Tudingan itu muncul seiring aktivitas organisasi tersebut membongkar makam-makam yang mereka anggap palsu, serta menyuarakan klarifikasi atas sejumlah klaim sejarah, termasuk klarifikasi ilmiah nasab klan ba’alwi.
Namun, apakah benar PWI–LS adalah gerakan yang anti-keberagaman? Atau justru mereka sedang mengajukan satu wacana sejarah alternatif berbasis bukti?
*Meluruskan Sejarah, Bukan Mewakili Kebencian*
Dalam siaran resminya, PWI–LS menyatakan bahwa tujuan utama gerakan mereka adalah meluruskan sejarah Islam di Nusantara, khususnya terkait jejak dakwah Wali Songo dan nasab para tokoh ulama yang selama ini, menurut mereka, dibalut mitos. Beberapa titik makam di Kulonprogo, Indramayu, hingga Ngawi menjadi lokasi penelitian lapangan mereka. Mereka menggunakan pendekatan dokumen sejarah dan uji heritage site, bukan atas dasar identitas kultural atau keturunan tertentu.
“Ini bukan persoalan kebencian,” kata seorang juru bicara mereka. “Kami hanya menyampaikan bahwa masyarakat berhak tahu mana sejarah yang dibangun di atas bukti dan mana yang tidak.”
*Temuan yang Dipublikasikan*
Salah satu aksi yang menyita perhatian publik terjadi di Dusun Warukidul, Ngawi, pada 12 Januari 2025. Di sana, sebuah makam yang diklaim oleh sekelompok pihak sebagai tokoh Ba’alawi dibongkar oleh masyarakat bersama aparat desa dan pihak PWI–LS. Hasil penggalian memperlihatkan bahwa makam tersebut kosong, dengan dasar berupa bekas pembuatan bata. Tak ditemukan kerangka, tulang, atau petunjuk arkeologis lain bahwa itu adalah makam asli.
RT setempat, yang juga dilibatkan dalam kegiatan tersebut, menyatakan bahwa lokasi itu dulunya adalah bekas industri rumahan, bukan kompleks pemakaman.
*Tuduhan Rasisme: Salah Kaprah?*
Menyebut gerakan ini sebagai rasis tentu memerlukan pembuktian hukum. Sebuah gerakan dapat dikategorikan rasis bila ada ujaran kebencian berbasis suku, ras, atau golongan. Namun dalam dokumen resmi dan liputan media, PWI–LS tidak pernah menyerang ras atau identitas Habib secara personal. Fokus mereka adalah klarifikasi terhadap klaim nasab atau sejarah tertentu yang dinilai tidak didukung bukti kuat.
Sejumlah pihak justru menyebut bahwa pelabelan “rasis” terhadap PWI–LS justru melemahkan ruang diskusi ilmiah. “Ini bukan masalah keturunan. Ini soal bagaimana sejarah harus dikaji ulang secara terbuka,” kata seorang anggota PWI–LS yang juga merupakan seorang dosen.
*Tidak Bisa Dipisahkan dari NU*
Satu kesalahan fatal dalam narasi yang berkembang adalah anggapan bahwa PWI–LS bukan bagian dari Nahdlatul Ulama (NU). Faktanya, banyak tokoh NU daerah—termasuk dari PCNU—yang tercatat aktif dalam gerakan ini. Bahkan, Ketua Umum PWI–LS saat ini adalah cucu dari KH Abbas Buntet, Panglima Laskar Hizbullah yang pernah berjuang bersama KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU.
Di Demak, misalnya, Ketua PCNU setempat turun langsung ke lapangan dan meredakan ketegangan pasca-insiden di Makam Sunan Kalijaga. Alih-alih saling menghakimi, justru terjadi dialog dan klarifikasi terbuka. Ini membuktikan bahwa relasi antara PWI–LS dan struktur NU tidak bersifat konfrontatif.
*Menawarkan Jalan Ilmiah*
Alih-alih menolak sains dan toleransi seperti yang dituduhkan, PWI–LS justru mendorong penggunaan metode ilmiah dalam pembuktian klaim keturunan Nabi Muhammad SAW. Salah satunya dengan menyerukan agar dilakukan uji DNA secara terbuka oleh lembaga netral.
Gagasan ini bukan tanpa preseden. Di berbagai negara, pengujian genetik digunakan untuk mengkonfirmasi atau membantah silsilah historis. Dalam konteks ini, PWI–LS menawarkan model baru: sejarah tidak boleh hanya berdasarkan tutur, tapi juga bukti material.
*Gus Dur dan Spirit Keadilan*
Seringkali gerakan klarifikasi sejarah seperti ini dianggap bertentangan dengan semangat pluralisme ala Gus Dur. Namun perlu diingat, Gus Dur adalah tokoh yang mengedepankan kejujuran intelektual dan keberanian berpikir merdeka. Ia mendorong keterbukaan wacana, termasuk kritik terhadap pemaknaan sejarah.
Spirit ini sejatinya tidak jauh dari semangat yang dibawa PWI–LS. Bahwa semua pihak—termasuk yang mengklaim garis nasab Nabi SAW—tidak boleh merasa kebal kritik.
*Catatan Penutup:*
Menuduh PWI–LS sebagai organisasi rasis, intoleran, atau anti-Habib adalah tudingan yang berlebihan dan tidak berdasar. Hingga saat ini, tidak ditemukan indikasi ujaran kebencian berbasis etnis dalam gerakan ini. Yang ada adalah kritik terhadap konstruksi sejarah, yang mestinya dijawab dengan bukti tandingan—bukan labelisasi.
PWI–LS menyodorkan sebuah pertanyaan penting kepada kita:
Apakah sejarah boleh dipertanyakan?
Atau kita memilih diam atas kemungkinan manipulasi masa lalu, hanya karena takut menyentuh yang dianggap “sakral”?
Wacana sejarah yang sehat, seharusnya, tidak dibungkam dengan stigma.
Referensi Terkait:
- KRJogja, “PWI–LS Dorong Uji DNA Keturunan Nabi”
- Detik.com, “Makam di Ngawi Ternyata Bekas Tempat Bikin Bata”
- LingkarIndonesia, “Warga Bongkar Makam Kosong, Ada Dugaan Manipulasi Sejarah”
- PWILS-Gresik.or.id, “Pernyataan Resmi PWI–LS Pasca Klarifikasi di Demak”
- Walisongobangkit.com, “Kajian Ulang Sejarah Wali Songo dan Nasab Ulama”