📰 *Menakar Ziarah Kubur aneh ala klan ba’alwi — Membaca Kritik KH Imaduddin, Membongkar Tradisi Ba’alwi*
Oleh Redaksi walisongobangkit.com
Pada suatu malam di pesantren kecil pinggir Cirebon, Kyai Imaduddin Utsman al Bantani berceramah di hadapan santri dan warga kampung. “Ziarah kubur itu amalan sunah. Tapi jangan dihias, dicium, ditumpuki bunga warna-warni seperti kue tart. Itu ghuluw,” kata Kyai Imad dengan nada tenang.
Ucapan ini kemudian dipotong, dipelintir, dan dilempar ke jagat media sosial: KH Imaduddin menolak tradisi NU, katanya. Benarkah? Team redaksi walisongobangkit.com menelusuri, membandingkan dengan Tasawuf Kuburan dan Tradisi Ba’alwi: Beda Jalan dengan Kyai-Kyai NU [^1] — sebuah tulisan yang menegaskan: ada garis tipis yang sering dibengkokkan.
Tasawuf Kuburan: Warisan Hadramaut
Tasawuf Ba’alwi di Indonesia berakar dari Hadramaut, Yaman Selatan. Di sana, haul Nabi Hud di 10 Sya’ban menjadi ziarah akbar tahunan. Ribuan peziarah mandi di sungai, berarak sambil zikir, lalu berkumpul di pusara yang dihias bak panggung pesta. Bunga, payung, lampu gantung — semua jadi hiasan.
Pola serupa terbawa ke Indonesia lewat jalur Ba’alwi. Haul para habib kerap dipusatkan di kuburan, dengan dekorasi mewah, prosesi tabur bunga warna-warni, dan iringan rebana serta qosidah di pusara.
Ziarah Ala NU: Sunyi dan Sederhana
Para kyai NU, seperti dicatat dalam Tasawuf Kuburan dan Tradisi Ba’alwi, mengambil jalur sunyi: haul digelar di pesantren, di ndalem (rumah kyai), atau di mushola, bukan di atas nisan.
“Ziarah cukup doa dan salam. Haul cukup tahlil, pengajian, tanpa harus mengarak makam,” kata KH Hasyim Asy’ari dalam Adabul ‘Alim wal Muta’allim [^2].
Tradisi ini menekankan substansi: kirim doa, ingat mati, bangun silaturahmi, bukan pesta dekorasi di pusara.
Dalil Fikih: Muru’ah dan Joget
KH Imaduddin bukan satu-satunya yang menegaskan batas. Imam al-Ghazali (Ihya Ulumiddin) menulis:
“Berjoget di majelis zikir tidak haram, tapi makruh bagi orang yang memegang muru’ah.”[^3]
Kitab Fathul Mu’in menegaskan:
“Orang yang mempertontonkan joget atau tarian di publik, muru’ah-nya gugur, maka gugur pula kelayakannya jadi saksi.”[^4]
NU menjaga garis ini. Hadrah (rebana) memang ada, qosidah hidup, tapi Kyai NU tidak berdiri menari di depan kubur. Karena di situlah letak marwah.
Mengapa Kyai Imad Mengingatkan?
Bagi Kyai Imad, ziarah kubur dan haul bukan untuk menonjolkan simbol kuburan, tapi untuk mendekatkan hati pada kematian. Tradisi kuburan Ba’alwi yang gemerlap memang punya jalur historisnya, tapi tidak sejalan dengan falsafah tasawuf sunni yang diajarkan Imam Junaid al-Baghdadi:
“Tasawuf itu mematikan hawa nafsu, bukan memuaskan nafsu simbol.”
Di sinilah letak kritik KH Imaduddin: Ziarah kubur, haul, tahlil — sah. Tapi jangan jadi pesta batu nisan.
Infografik Naratif
Ziarah NU VS Ba’alwi
───────────────────────────────
| ASPEK | NU | Ba’alwi |
───────────────────────────────
| Lokasi Haul | Pesantren, rumah | Kompleks makam |
| Dekorasi | Sederhana | Megah, bunga warna-warni |
| Musik | Hadrah, qosidah | Zikir plus tarian, tabuhan |
| Posisi Kyai | Penceramah, doa | Kadang ikut pawai |
| Falsafah | Ingat mati, doa | Tabarruk fisik kuburan |
───────────────────────────────
Kesimpulan: Pagar Substansi
KH Imaduddin tidak melarang haul. Tidak pula memusuhi ziarah kubur. Ia hanya memagarinya dengan dalil syariat dan akhlak tasawuf:
✅ Ziarah kubur: sunnah.
✅ Tahlil: sunnah.
✅ Tabarruk kuburan berlebihan: ghuluw.
✅ Joget di depan pusara: makruh.
Dalam khazanah NU, tasawuf adalah sunyi. Zikir di pesantren. Haul di mushola. Doa di rumah. Bukan panggung di pusara.
Akhir Kata
“Siapa pun boleh berbeda. Tapi jangan memelintir petuah Kyai Imad jadi senjata politik murahan,” tulis WalisongoBangkit.com dalam penutupnya. Kritik yang adil selalu punya dasar. Ziarah kubur tetap sunnah. Panggung pesta di kuburan? Itu cerita lain.
📌 Catatan Kaki
[^1]: Tasawuf Kuburan dan Tradisi Ba’alwi: Beda Jalan dengan Kyai-Kyai NU, WalisongoBangkit.com.
[^2]: KH Hasyim Asy’ari, Adabul ‘Alim wal Muta’allim.
[^3]: Imam al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, Bab Sama’ wa Raqs.
[^4]: Fathul Mu’in, Kitab Syahadah.
Selesai