*“Mengkritisi Klaim Nasab Ba’alwi: Kegagalan Kitab Sezaman dan Kegagalan Syuhroh wal Istifadhah”*
*Syarat Kitab Sezaman dalam Konteks Ilmu Nasab*
Beredar berbagai tulisan dan artikel serta konten di media social dari klan ba’alwi mencoba membantah konsep kitab sezaman dengan mengatakan bahwa syarat ini tidak pernah disebutkan oleh para ahli nasab sebagai satu-satunya cara untuk mengonfirmasi nasab. Namun, kritik ini sebenarnya adalah kesalahpahaman terhadap metodologi ilmiah dalam penelitian nasab.
Dalam ilmu sejarah dan filologi, penggunaan sumber primer (kitab sezaman atau yang mendekati sezaman) adalah metode standar untuk menilai keabsahan suatu klaim , termasuk klaim nasab. Hal ini tidak hanya berlaku dalam studi nasab tetapi juga dalam ilmu sejarah secara umum. Tanpa sumber sezaman atau yang mendekatinya , suatu klaim nasab hanya bersandar pada asumsi atau tradisi lisan yang rentan terhadap interpolasi dan fabrikasi.
Jika kita tidak menetapkan standar minimal kitab sezaman atau yang mendekatinya, maka siapa pun bisa mengklaim nasab sesuka hati tanpa kontrol akademik yang ketat. Ini sama saja dengan membiarkan klaim nasab berdiri di atas cerita turun-temurun tanpa pembuktian sejarah yang dapat dilakukan.
*Kegagalan Kitab-Kitab Nasab Ba’alwi dalam Memenuhi Syarat Sezaman*
Salah satu kelemahan utama dalam klaim nasab Ba’alwi adalah tidak adanya sumber primer sezaman yang secara eksplisit mencatat bahwa Ubaidillah bin Ahmad adalah anak dari Ahmad al-Muhajir .
Sebagai contoh, kitab-kitab nasab yang ditulis pada abad ke-4 hingga ke-9 H tidak menyebutkan Ubaidillah sebagai anak Ahmad al-Muhajir . Referensi pertama mengenai klaim ini baru muncul beberapa abad kemudian, seperti dalam kitab Ali al-Sakran yang ditulis pada abad ke-9 H .
Ali al-Sakran menulis bahwa Ubaidillah adalah anak Ahmad al-Muhajir, tetapi kitabnya sendiri tidak memiliki referensi sezaman . Hal ini menunjukkan bahwa klaim ini tidak memiliki dasar historis yang kuat dan lebih merupakan produk interpolasi belakangan.
Seharusnya, jika klaim ini benar, kitab-kitab nasab sezaman yang ditulis pada abad ke-4 hingga ke-7 H seharusnya sudah menyebutkan hubungan ini secara eksplisit . Namun, kenyataannya tidak ada satu pun kitab sezaman yang mendukung klaim tersebut .
*NASAB BA’ALAWI TIDAK SYUHROH DAN TIDAK ISTIFADOH: Kajian Ilmiah dan Kritik Terhadap Klaim Genealogis Klan Ba’alwi*
Rabithoh Alawiyah, sebuah organisasi yang memegang peranan penting dalam pengurusan nasab kaum Ba’alwi, menerbitkan buku berjudul Keabsahan Nasab Baalwi; Membongkar Penyimpangan Pembatalnya dengan total 566 halaman. Buku ini dibuat dengan tujuan untuk membantah penelitian yang dilakukan oleh KH Imaduddin Utsman Al Bantani dan sekaligus memperkokoh klaim nasab Ba’alwi yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. Namun ironisnya, beberapa argumen yang dikemukakan dalam buku tersebut justru memperlemah klaim nasab tersebut.
*Blunder di Halaman 185: Syuhroh wal Istifadhah*
Salah satu kesalahan yang paling mencolok terdapat pada halaman 185 dari buku ini, yang membahas syarat-syarat penerapan kaidah Syuhroh wal Istifadhah dalam menetapkan nasab. Kaidah ini adalah metode yang diakui dalam Islam untuk menentukan berbagai masalah, termasuk nasab. Pada intinya, syarat Syuhroh wal Istifadhah mengharuskan bahwa nasab seseorang harus diketahui secara luas dan diterima oleh masyarakat tanpa persetujuan atau pelanggaran.
Jika terdapat keraguan terhadap nasab atau ada indikasi persetujuan, maka secara otomatis kaidah ini gugur, dan nasab tersebut harus diperiksa secara menyeluruh.
Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa jika seseorang dikenal secara umum sebagai keturunan dari suatu garis keluarga tertentu, maka hal itu bisa dianggap sah menurut Syuhroh wal Istifadhah. Namun, syarat ini bukanlah bukti final, terutama jika ada bukti yang bertentangan atau jika ada generasi yang tidak didokumentasikan dengan jelas.
*Definisi Syuhroh wal Istifadhah dalam Islam*
Untuk memahami Syuhroh wal Istifadhah secara sederhana, kita bisa mengambil contoh dari hubungan seseorang dengan ibunya. Bagaimana kita tahu bahwa seorang wanita adalah ibu kita, padahal kita tidak menyaksikan langsung proses kelahiran kita? Kita mengetahui hal ini berdasarkan pengetahuan dari orang lain, keluarga, tetangga, atau komunitas di sekitar kita. Begitulah gambaran sederhana mengenai Syuhroh wal Istifadhah, yaitu proses penerimaan informasi dari mulut ke mulut yang kemudian dianggap sah jika tidak ada sanggahan.
Dalam konteks penetapan nasab, Syuhroh wal Istifadhah adalah cara yang digunakan oleh empat madzhab besar dalam Islam (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) untuk menetapkan status nasab seseorang. Contoh terkenal adalah Nabi Muhammad SAW yang mengetahui bahwa Hamzah bin Abdul Muttalib adalah saudara sepersusuan dari Tsuwaibah, meskipun Nabi Muhammad tidak menyaksikan sendiri proses penyusuan tersebut karena terjadi sebelum beliau lahir.
*Syuhroh vs. Istifadhah: Perbedaan dan Relevansi*
Syuhroh dan Istifadhah adalah dua hal yang berbeda, meskipun sering disamakan. Syuhroh merujuk pada sesuatu yang dikenal secara luas, sementara Istifadhah merujuk pada sesuatu yang diterima dan diketahui oleh masyarakat secara menyeluruh dan konsisten di berbagai generasi. Misalnya, Abu Bakar dikenal berasal dari suku Quraisy dan hal ini diakui oleh seluruh masyarakat Arab dan umat Islam di berbagai wilayah—ini adalah bentuk Syuhroh dan Istifadhah. Namun, jika seseorang dikenal dalam lingkup yang lebih terbatas, seperti halnya Ibnu Jauzi (w. 597 H) yang dikenal oleh para ulama tetapi tidak oleh masyarakat umum, ini hanya termasuk Syuhroh tetapi tidak Istifadhah.
*Syarat-Syarat Syuhroh wal Istifadhah dalam Penetapan Nasab*
Dalam Bahrul Madzhab, Imam Ar-Ruyani (w. 502 H) mencatat bahwa untuk memenuhi syarat Syuhroh wal Istifadhah dalam penetapan nasab, terdapat empat syarat yang harus dipenuhi:
- Zaman Sepanjang – Nasab tersebut harus terkenal sepanjang waktu, bukan hanya di satu generasi.
- Bersandar pada Nasab yang Diakui – Nasab tersebut harus diakui oleh orang lain yang juga menisbatkan dirinya ke dalam nasab yang sama.
- Tidak Ada Penolakan – Tidak boleh ada penolakan yang sahih terhadap klaim nasab tersebut.
- Tidak Ada Bukti yang Menentang – Jika terdapat bukti yang menentang (bayyinah), maka klaim nasab tersebut harus diperiksa ulang.
Imam Ar-Ruyani menegaskan bahwa jika ada bukti yang sahih bertentangan dengan klaim nasab, maka metode Syuhroh wal Istifadhah tidak berlaku lagi.
*Kegagalan Kaidah Syuhroh wal Istifadhah dalam Kasus Nasab Ba’alwi*
Dalam kasus nasab Ba’alwi, klaim mereka sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW tidak memenuhi syarat Syuhroh wal Istifadhah yang diakui secara luas. Syuhroh yang ada saat ini hanya berkembang dari abad ke-9 H dan seterusnya, sedangkan pada abad-abad sebelumnya (abad ke-4 hingga ke-9 H), tidak ada catatan atau bukti yang mendukung bahwa Ubaidillah bin Ahmad adalah anak dari Ahmad al-Muhajir. Hal ini menunjukkan bahwa klaim nasab tersebut tidak dapat diterima secara keseluruhan karena tidak memenuhi syarat Istifadhah yang konsisten di setiap generasi.
Bahkan kitab-kitab nasab yang ada dari periode itu tidak menyebutkan Ubaidillah sebagai keturunan langsung dari Ahmad al-Muhajir, yang menjadi bukti kuat bahwa klaim Ba’alwi tidak dapat diterima hanya berdasarkan Syuhroh wal Istifadhah.
*Kesimpulan*
Dari pembahasan di atas, jelas bahwa klaim nasab Ba’alwi tidak memenuhi kaidah Syuhroh wal Istifadhah sebagaimana yang diminta oleh para ulama fikih, termasuk Imam Syafi’i dan Imam Ar-Ruyani. Tanpa adanya bukti yang kuat dan konsisten sepanjang generasi, klaim ini harus dipertimbangkan ulang dan tidak bisa diterima begitu saja hanya berdasarkan tradisi lisan atau popularitas belakangan.
*Referensi*
- Ar-Ruyani, Imam. Bahrul Madzhab.
- Al-Asqalani, Ibnu Hajar. Al-Jawab al-Jalil.
- KH Imaduddin Utsman Al Bantani, Terputusnya Nasab Habib kepada Nabi Muhammad SAW.
- Rabithoh Alawiyah, Keabsahan Nasab Baalawi; Membongkar Penyimpangan Pembatalnya.
Semoga dengan penjelasan ini, masyarakat dapat lebih kritis dalam menilai klaim-klaim genealogis dan tidak mudah terpengaruh oleh argumen yang tidak didukung oleh bukti yang sahih. Wallahu A’lam.