*Menjaga Adab dalam Penamaan Haul: Mengapa Haul Habib Abu Bakar Assegaf Tak Semestinya Disebut “Haul Gresik”*
Oleh Redaksi walisongobangkit.com
Di tengah antusiasme umat memperingati haul para tokoh agama, penting kiranya masyarakat turut menjaga ketepatan sejarah dan adab kebudayaan. Salah satu hal yang kini menjadi sorotan adalah penggunaan nama “Haul Gresik” dalam peringatan wafatnya Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf, tokoh Hadhrami yang dikenal di kalangan masyarakat Gresik dan sekitarnya.
Sekilas, penggunaan nama kota untuk merujuk pada haul tokoh yang dikebumikan di wilayah tersebut terdengar wajar. Namun, dalam konteks Gresik—sebuah wilayah yang sarat sejarah, spiritualitas, dan akar penyebaran Islam Nusantara—penamaan itu justru menyimpan masalah substansial. Terutama dari segi adab sejarah, adab spiritual, dan tata nilai budaya lokal.
*Maulana Malik Ibrahim: Figur Sentral Gresik*
Tak bisa dimungkiri, Gresik adalah tanah yang pertama kali disinari Islam melalui dakwah Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar yang wafat pada 1419 M dan menjadi pelopor utama penyebaran Islam di tanah Jawa. Makamnya yang terletak di pusat kota Gresik telah menjadi situs ziarah utama umat Islam dari seluruh penjuru Nusantara. Dalam khazanah Walisongo, beliau adalah yang paling awal datang dan berperan besar dalam membumikan Islam secara damai dan inklusif di tanah Jawa.
Dalam tradisi adab keilmuan dan kerohanian Islam, yang datang lebih awal—apalagi membuka jalan kebaikan—layak diberi penghormatan sebagai pendahulu, bahkan dalam hal simbolik seperti penyebutan wilayah dakwah.
*Penggunaan Nama “Haul Gresik” dan Potensi Distorsi*
Ketika acara haul untuk Habib Abu Bakar Assegaf, yang wafat pada abad ke-20, dinamakan “Haul Gresik”, maka tanpa disadari muncul ambiguitas naratif: seolah-olah kota Gresik secara spiritual hanya dimaknai melalui figur yang datang belakangan, bukan melalui peletak fondasi awalnya, yakni Maulana Malik Ibrahim.
Tentu ini bukan tentang membandingkan derajat spiritual antara satu tokoh dan lainnya. Bukan pula menafikan jasa Habib Abu Bakar Assegaf dalam dakwah dan pembinaan umat. Namun, penempatan nama dalam konteks ruang publik memiliki makna yang lebih luas dari sekadar administratif. Ia adalah simbol, dan simbol dalam sejarah tak pernah netral.
Menggunakan nama “Haul Gresik” tanpa menyebut tokoh spesifik dapat memicu bias sejarah dan meminggirkan tokoh-tokoh yang justru meletakkan fondasi peradaban Islam lebih awal di tempat tersebut.
*Antara Ilmu dan Adab*
Dalam dunia keilmuan Islam, adab mendahului ilmu. Ketika seorang tokoh datang belakangan ke sebuah wilayah yang telah lama menjadi pusat dakwah dan spiritualitas, maka adab mengajarkan untuk menghormati pendahulu dan tidak menutupi jejak mereka—terlebih dalam hal simbolik yang menyangkut ruang publik.
Jika panitia haul menunjukkan adab sejarah yang bijak, semestinya mereka menggunakan nama yang proporsional: misalnya “Haul Habib Abu Bakar Assegaf Gresik” atau “Haul Habib Abu Bakar Assegaf di Gresik.” Ini adalah bentuk kehati-hatian agar tidak terjadi klaim simbolik atas kota yang telah lama disakralkan melalui peran para wali terdahulu.
*Mengajak Masyarakat Kritis namun Santun*
Kritik ini tidak dimaksudkan untuk memecah belah umat atau memantik polemik yang tidak produktif. Justru sebaliknya: edukasi sejarah dan adab publik adalah bagian dari tanggung jawab kita bersama dalam merawat tradisi Islam Nusantara yang luhur.
Masyarakat harus diajak lebih sadar terhadap makna-makna simbolik dalam penamaan acara keagamaan. Jangan sampai niat baik untuk mengenang jasa seorang ulama justru dibingkai dengan cara yang mengaburkan sejarah dan menggeser posisi para pendahulu yang telah lebih dahulu berjasa.
*Nama Adalah Cermin Adab*
Dalam tradisi Islam, nama bukan sekadar penanda, tapi cermin kehormatan dan kesadaran spiritual. Maka, menyebut sebuah haul dengan nama kota yang telah lama disakralkan oleh kehadiran seorang wali besar, tanpa menyebutkan tokoh yang sebenarnya dimaksud, adalah bentuk kelalaian adab terhadap sejarah.
Mari bersama-sama menjaga keutuhan ingatan umat, bukan hanya lewat zikir dan doa, tapi juga melalui penamaan yang jujur, beradab, dan menghormati para pendahulu. Sebab, menghormati pendahulu adalah bagian dari mencintai warisan Islam yang telah ditanamkan di bumi Nusantara sejak ratusan tahun lalu.
Waallahu a’lam.