*Narasi PKI, Cyber Army, dan Stigmatisasi Terhadap PWI-LS*
*Tim Investigasi*
Dokumen investigatif ini disusun berdasarkan penelusuran fakta, wawancara sumber, serta pengumpulan rekam jejak digital dari berbagai aktor propaganda.
Setelah pecah bentrokan di Petarukan, Pemalang, antara Laskar PWI-LS (Perjuangan Walisongo Indonesia – Laskar Sabilillah) dan FPI, publik tak hanya disuguhkan luka dan batu berserakan. Di ruang maya, serangan balik tak kalah panas: narasi tendensius yang menyudutkan PWI-LS sebagai antek PKI pun bermunculan.
Akun-akun anonim dan buzzer yang tergabung dalam jaringan lama Muslim Cyber Army (MCA) kembali menghidupkan propaganda basi: siapa pun yang mengkritik kelompok ba’alwi atau tokoh-tokohnya akan dicap sebagai komunis, anti-ulama, dan musuh Islam. Padahal, dalam banyak kasus, label semacam itu digunakan bukan untuk membela Islam, melainkan untuk membungkam kritik dan memprovokasi kebencian.
*Jejak Lama Mesin Hoaks Politik*
MCA bukan pemain baru. Jaringan ini mulai populer pada era awal pemerintahan Jokowi, khususnya saat Pilkada DKI Jakarta dan mobilisasi aksi 212. Kelompok ini beroperasi dengan sistematis, menyebar hoaks, membangun sentimen sektarian, dan mengamplifikasi isu-isu sensitif atas nama jihad digital.
Sejak awal, jejaring MCA memiliki afiliasi erat dengan gerakan transnasional seperti Ikhwanul Muslimin, FPI, hingga simpatisan paham Wahabi Takfiri. Tujuan mereka tak semata membela Islam, melainkan menawarkan alternatif ideologis terhadap Pancasila. Dalam sejumlah dokumen intelijen dan pemberitaan media nasional tahun 2018, jaringan ini terindikasi melakukan framing sistematis terhadap siapa pun yang tidak sejalan dengan ideologi mereka.
*Serangan Sistematis Terhadap PWI-LS*
Pasca-bentrokan Petarukan, muncul ratusan unggahan yang menyebut bahwa PWI-LS adalah “komunis berjubah”, “musuh ulama”, bahkan “penyerang habaib.” Padahal PWI-LS jelas berdiri sebagai ormas berbasis ulama-ulama Nusantara yang menolak paham kekerasan, radikalisme, dan klaim-klaim keagungan nasab yang tak dapat dibuktikan secara ilmiah maupun historis.
Justru, yang terjadi adalah sebaliknya. Laskar PWI-LS menjadi korban serangan batu dan senjata tajam saat mencoba melakukan negosiasi damai bersama aparat. Upaya damai itu telah didahului oleh mediasi, yang disepakati bahwa pihak Rizieq Shihab tidak akan hadir dalam acara ceramah. Namun, kesepakatan itu dilanggar.
*Memahami Pola: Kritik ≠ Komunisme*
Kritik terhadap para tokoh ba’alwi atau organisasi keagamaan tidak serta-merta dapat disamakan dengan upaya memberangus Islam. Tuduhan semacam itu adalah bentuk kedangkalan logika dan pengalihan isu. Publik harus jeli membedakan antara pembelaan terhadap Islam dan pembelaan terhadap figur tertentu yang berlindung di balik simbol agama.
Stigmatisasi bahwa “yang mengkritik habaib pasti PKI” adalah senjata usang yang kini hanya digunakan oleh mereka yang tidak mampu menjawab argumen secara ilmiah dan rasional. Padahal, sejarah membuktikan, PKI dan ormas Islam tradisional seperti Nahdlatul Ulama (NU) atau para kiai lokal adalah musuh ideologis yang nyata. Dan PWI-LS adalah kelanjutan semangat perlawanan ulama-ulama Nusantara terhadap segala bentuk ekstremisme—baik yang kiri maupun yang kanan.
*Catatan Akhir*
Isu komunisme adalah hantu yang mudah dijual ke publik jika digabung dengan sentimen keagamaan. Namun, ketika digunakan untuk membungkam kritik dan menyelamatkan tokoh dari tanggung jawab moral, maka tudingan itu justru menjadi bumerang.
Indonesia bukan milik satu golongan. Dan kebenaran tidak datang dari banyaknya buzzer yang bicara, tapi dari keberanian mempertahankan nalar dan nurani.
*Redaksi Tim Investigasi*
Disusun berdasarkan catatan lapangan, dokumen publik, dan sumber investigatif.