Nasab Sezaman: Menguji Klaim Keturunan di Meja Sejarah
Ada sebuah kaidah tua dalam ilmu nasab yang lebih keras dari palu hakim: nasab hanya sah jika diverifikasi dengan kitab sezaman. Aturannya sederhana, tapi tegas: silsilah yang lahir ratusan tahun setelah tokohnya wafat, tanpa saksi mata dan tanpa catatan primer, tak lebih dari pohon silsilah yang tumbuh di awang-awang. Indah di mata sebagian orang, tapi sejatinya hanya fatamorgana yang dipetik oleh mereka yang sedang mabuk legitimasi.
Kitab Lama, CCTV Sejarah
Fuad bin Abduh al-Jaizani, pakar nasab kontemporer, dalam bukunya menulis:
“Ketika meneliti nasab, sumbernya harus dari kitab-kitab lama, ditulis sebelum era modern, saat manusia masih dekat dengan leluhur mereka.”
Analogi ini jelas. Kitab lama adalah CCTV sejarah: rekaman langsung dari masa lampau. Kitab baru hanyalah gosip di warung kopi.
Sumber Primer vs Sekunder
Dr. Imad Muhammad al-Atiqi memberi pembeda penting: mashdar (sumber primer) lebih dekat dengan peristiwa, sedangkan marji’ (referensi) hanya sekadar pengutip. Maka, mendahulukan kitab baru di atas kitab lama sama saja percaya ramalan zodiak ketimbang berita faktual di koran hari ini.
Sejarawan besar seperti Al-Dzahabi pun menolak hanya puas dengan sumber sekunder. Ia menuntut sanad, rantai otentik yang bisa diverifikasi. Ibn Khaldun lebih keras lagi: banyak sejarawan tersesat, kata dia, karena sekadar menyalin tanpa uji silang.
Aturan Main Ulama Nasab
Syekh Khalil Ibrahim menetapkan syarat: kitab nasab yang sah tidak boleh bertentangan dengan kitab asal. Jika kitab abad ke-6 mencatat Ahmad bin Isa hanya punya tiga anak, maka kitab abad ke-9 tidak boleh tiba-tiba menambah satu lagi. Itu bukan nasab, tapi hoaks keluarga.
Fatwa senada datang dari Abdurrahman al-Qaraja: ahli nasab yang dekat zaman lebih sahih daripada sejarawan yang jauh masanya. Nasab, tegasnya, bukan mainan narasi belakangan.
Kasus Klasik: Ahmad bin Isa
Di sinilah perdebatan soal Ba‘alwi bermula. Kitab Al-Syajarah al-Mubarakah (597 H) dengan jelas menyebut tiga anak Ahmad bin Isa: Muhammad, Ali, dan Husain. Titik.
Namun, 550 tahun kemudian, di abad ke-9 H, tiba-tiba muncul nama baru: Ubaidillah. Ia dicatat oleh Ali al-Sakran—ulama yang hidup jauh setelah era Ahmad bin Isa—sebagai anak tambahan. Pertanyaan pun menyeruak:
- Mengapa kitab abad ke-6 diam seribu bahasa soal Ubaidillah?
- Mengapa para ulama sezaman di Tarim juga tidak mengenalnya?
- Mengapa nama ini baru muncul justru di mulut cucu yang hendak menisbatkan keluarganya ke Nabi?
Jawaban paling logis: nama itu susupan. Kitab lama adalah saksi mata, kitab baru hanyalah saksi palsu yang dipaksa hadir di persidangan sejarah.
Antara Sejarah dan Hoaks
Ibnu Khaldun sudah mengingatkan: sejarah tanpa verifikasi adalah dongeng. Maka, tambahan nama ratusan tahun kemudian harus diperlakukan sebagai intervensi, bukan fakta. Sebagaimana arsip negara: dokumen asli lebih sahih daripada laporan cucu yang baru menulis lima abad kemudian.
Rasulullah ﷺ sendiri bersabda, sebagaimana diriwayatkan Muslim:
“Cukuplah seseorang dianggap pendusta bila ia menceritakan semua yang ia dengar.”
Mereka yang menyalin kitab baru tanpa menimbang kitab lama jatuh pada sabda ini: perawi dusta dalam sejarah.
Konsekuensi Publik
Jika aturan ini diabaikan, maka setiap kelompok bisa seenaknya menempelkan nasabnya ke siapa saja: pahlawan, raja, atau bahkan Nabi. Itulah yang disebut para ulama sebagai pencurian sejarah.
Kesimpulannya tegas:
- Kitab sezaman adalah bukti primer.
- Kitab baru sah dipakai hanya bila bersandar pada kitab lama.
- Tambahan nama ratusan tahun kemudian = susupan.
- Sejarawan tidak boleh melawan ahli nasab yang lebih dekat zamannya.
- Hoaks silsilah adalah bentuk pengkhianatan sejarah.
Dalam bahasa lain, ilmu nasab adalah manajemen arsip sejarah. Yang sahih adalah dokumen primer di tempat kejadian, bukan laporan cucu yang baru menulis lima abad kemudian.