NPD dalam Dunia Dakwah: Ketika Guru Agama Menjadi Predator Psikologis dan Jamaah Menjadi Korban

NPD dalam Dunia Dakwah: Ketika Guru Agama Menjadi Predator Psikologis dan Jamaah Menjadi Korban

Narcissistic Personality Disorder (NPD) tidak hanya muncul dalam hubungan romansa atau rumah tangga. Dalam ruang keagamaan, pola ini bisa tumbuh menjadi lebih berbahaya. Ketika seorang ustadz, mubaligh, atau guru agama memiliki sifat narsistik patologis, jamaah bukan sekadar murid, tetapi sumber suplai ego (narcissistic supply).
Dengan kemampuan retorika, penguasaan teks agama, dan citra kesalehan, seorang pelaku NPD bisa membangun kultus kecil berbasis kekaguman dan ketundukan.

Di sini agama bukan lagi jalan menuju Allah, melainkan panggung untuk membesarkan diri.

Mengapa NPD Suka Menjadi Tokoh Agama?

  1. Posisi dihormati—tanpa banyak pertanyaan

Dalam kultur religius, publik cenderung mempercayai figur agama tanpa memverifikasi karakter.
Jamaah sering menilai:

“Beliau ustadz, pasti baik.”
“Beliau hafal ayat dan kitab, pasti alim.”

Padahal pengetahuan agama tidak selalu identik dengan kematangan jiwa.
Bagi NPD, label “ustadz” adalah tiket menuju status tanpa harus diuji empati atau integritasnya.

  1. Sumber kekaguman melimpah

Jamaah mengucapkan salam, mencium tangan, mendengarkan dengan kagum, memuji ceramahnya.
Semua itu menjadi makanan paling nikmat bagi seorang narsistik:

  • merasa lebih tinggi dari jamaahnya
  • merasa diistimewakan
  • merasa berhak ditaati
  • ingin dipuji terus menerus

Ilmu agama berubah menjadi alat meraih panggung, bukan amal ibadah.

  1. Agama dijadikan alat kontrol

Pelaku NPD dengan identitas keagamaan pintar menggunakan dalil untuk:

  • membungkam kritik
  • menuntut loyalitas
  • menjustifikasi kemarahan
  • memaksa ketundukan jamaah

Sering terdengar kalimat seperti:

“Kalau kamu tidak ikut saya, berarti melawan ulama.”
“Mengkritik guru sama saja durhaka.”
“Ingat, pemimpin harus ditaati.”

Agama bukan lagi cahaya—melainkan tali pengikat jiwa jamaah.

  1. Kebal kritik karena aura kesalehan

Ketika jamaah mulai sadar, lingkungannya sering tidak percaya:

“Masak ustadz sebaik dia manipulatif?”
“Itu fitnah, beliau sangat santun kok.”

NPD tahu bahwa reputasi adalah benteng kuat.
Di depan publik mereka:

  • tersenyum
  • rendah hati
  • penuh hikmah

Namun di ruang privat, mereka mudah merendahkan jamaah, marah karena kritik kecil, menuntut pengabdian, dan merasa paling benar.
Kebaikan hanya kostum, bukan karakter.

Bagaimana Ciri NPD pada Figur Agama?

  • Mengajar tentang akhlak, namun keras, sinis, menghakimi di balik layar.
  • Merasa dirinya ulama paling benar, sulit menerima nasihat.
  • Menggunakan jamaah sebagai penyembah ego, bukan murid.
  • Merasa istimewa dan menuntut pelayanan emosional/tenaga/jasa.
  • Sering memainkan kartu “aku difitnah”, “aku dizalimi” agar dikasihani.
  • Tak pernah mengakui kesalahan, selalu menyalahkan jamaah.

Yang tampak bukan tawadhu’ tetapi superioritas terselubung.

Dampak terhadap Jamaah

Hubungan guru–jamaah berubah menjadi relasi satu arah:
ustadz menyerap energi, jamaah memberikan loyalitas.

Korban biasanya mengalami:

  • kelelahan mental dan spiritual
  • perasaan bersalah jika ingin keluar
  • takut disebut durhaka pada guru
  • bingung membedakan agama vs perintah ustadz
  • kehilangan suara batin/kemerdekaan berpikir
  • trauma pada agama

Banyak yang bertanya dalam hati:

“Apakah ini bimbingan, atau penaklukan?”
“Ini dakwah atau kultus pribadi?”

NPD dalam dakwah bukan membesarkan Islam,
tetapi membesarkan dirinya sendiri.

Kesimpulan

NPD dalam tubuh ulama jauh lebih sulit dikenali karena dibungkus dengan kesalehan, ilmu, dan simbol agama. Hubungan mereka dengan jamaah bukan hubungan murabbi–mutarabbi yang sehat, tetapi predator–sumber suplai. Manipulasi religius menjadi racun paling halus, sebab memukul bukan dengan tangan, melainkan dengan ayat, hadis, dan rasa takut akan kualat, serta rasa takut terhadap Tuhan.

Agama yang sejati membimbing menuju Allah, bukan menuju figur dirinya.
Guru yang sehat membesarkan hati murid, bukan egonya sendiri.

Ketika agama digunakan untuk mengontrol, merendahkan, dan menguras jiwa jamaah, itu bukan dakwah—itu NPD dengan sorban.

 




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *