NU: Rumah Ilmu, Bukan Sarang Mitos dan Narasi Kosong

*NU: Rumah Ilmu, Bukan Sarang Mitos dan Narasi Kosong*

 

*1. Ilmu sebagai Landasan NU: Menolak Tuduhan Tidak Berdasar*

Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi yang lahir dari tradisi keilmuan Islam yang kuat. NU didirikan oleh para ulama yang memiliki sanad keilmuan yang jelas dan bersumber dari pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dalam Islam, ilmu memiliki kedudukan yang sangat tinggi, sebagaimana firman Allah SWT:

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)

Tuduhan bahwa penelitian KH Imaduddin Utsman al Bantani “abal-abal” dan “merusak NU” tidak memiliki dasar ilmiah. Tesis yang beliau susun berbasis pada disiplin ilmu sejarah, filologi, dan genetika, yang semuanya adalah metode ilmiah yang diterima dalam kajian akademik. Jika ada yang menyebutnya tidak sahih, maka seharusnya menghadirkan bantahan dengan data dan argumen ilmiah, bukan sekadar tuduhan tanpa bukti.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menekankan pentingnya mencari ilmu dan menghindari taklid buta tanpa dalil yang kuat:

“Kebodohan adalah sumber kesesatan, dan ilmu adalah cahaya yang menerangi jalan menuju kebenaran.”

Maka, menolak penelitian berbasis ilmu tanpa menghadirkan argumen yang sahih justru bertentangan dengan nilai-nilai keilmuan yang dianut NU.

 

*2. NU: Kebangkitan Ulama, Bukan Kebangkitan Mitos*

NU adalah singkatan dari Nahdlatul Ulama, yang berarti “kebangkitan ulama.” Ulama adalah mereka yang memiliki keilmuan mendalam dan berpegang teguh pada dalil yang kuat. Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Dalam Islam, sanad keilmuan sangat penting untuk memastikan bahwa setiap ilmu yang diajarkan bersumber dari otoritas yang sahih. Namun, jika sanad tersebut hanya berdasarkan cerita turun-temurun tanpa validasi ilmiah, maka hal itu berisiko menjadi mitos. Imam Syafi’i dalam kitabnya Ar-Risalah menegaskan bahwa ilmu harus memiliki dalil yang jelas dan tidak boleh hanya berdasarkan perkataan tanpa bukti.

Sebagai organisasi berbasis keilmuan, NU harus tetap teguh pada prinsip keilmuan yang kuat. Jika hanya mengandalkan kisah yang tidak dapat diverifikasi, maka NU kehilangan identitasnya sebagai rumah ilmu dan berubah menjadi penjaga mitos yang tidak berdasar.

 

*3. Mengoreksi dengan Ilmu, Bukan Menutup Diri*

Menuduh penelitian ilmiah sebagai “merongrong PBNU” menunjukkan ketidakpahaman terhadap prinsip dasar NU yang selalu mengedepankan ilmu dan diskusi. Dalam sejarah Islam, para ulama besar seperti Imam Al-Ghazali, Imam Syafi’i, dan Imam Nawawi selalu membuka ruang diskusi ilmiah untuk mencari kebenaran.

Dalam kitab Adabul Ikhtilaf fi Al-Islam, Dr. Taha Jabir Al-Alwani menjelaskan bahwa perbedaan pendapat harus didasarkan pada hujjah yang kuat dan argumentasi ilmiah, bukan sekadar emosi atau kepentingan kelompok. Jika ada penelitian yang dianggap tidak benar, maka yang harus dilakukan adalah menyanggahnya dengan dalil yang lebih kuat, bukan sekadar menyebutnya “merongrong.”

Sebagai organisasi berbasis ilmu, NU harus terus menjaga tradisi akademik ini. Jika ada yang tidak setuju dengan penelitian KH Imaduddin, cara terbaik untuk membantahnya adalah dengan menghadirkan penelitian tandingan yang lebih kuat, bukan dengan menyerang pribadi atau melabeli tanpa bukti.

 

*4. Islam Menganjurkan Penggunaan Ilmu Pengetahuan*

Islam sangat menekankan pentingnya ilmu pengetahuan dan penelitian. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:

“Katakanlah: ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’” (QS. Az-Zumar: 9)

Dalam konteks ilmu nasab dan sejarah, pendekatan ilmiah sangat diperlukan untuk memastikan kebenaran sebuah klaim. Teknologi modern seperti penelitian DNA dan kajian filologi dapat membantu memperjelas garis keturunan secara lebih akurat daripada sekadar narasi turun-temurun.

Imam Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya juga menekankan bahwa sejarah harus dikaji dengan metode yang ketat dan ilmiah agar tidak jatuh pada kesalahan atau distorsi. Oleh karena itu, menolak metode ilmiah dalam kajian nasab hanya karena bertentangan dengan narasi yang diyakini merupakan bentuk anti-ilmu yang bertentangan dengan ajaran Islam.

 

*5. NU Harus Tetap Menjadi Rumah Ilmu*

NU adalah organisasi yang besar karena didirikan oleh ulama-ulama yang memiliki keilmuan tinggi. Jika NU ingin tetap relevan dan kuat, maka prinsip keilmuan harus tetap dijaga. Islam adalah agama yang menghargai ilmu, bukan sekadar mempertahankan narasi tanpa dasar. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam Syafi’i:

“Jika sebuah pendapat tidak didukung oleh dalil, maka ia tidak lebih dari sekadar omongan biasa.”

Oleh karena itu, NU harus terus menjadi organisasi yang berbasis ilmu dan rasionalitas. Jika ada penelitian yang dianggap salah, bantahlah dengan ilmu, bukan dengan caci maki. Karena NU adalah Nahdlatul Ulama, bukan Nahdlatul Mitos!

 




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *