*Peran Pengurus PBNU: Menjaga Tradisi, Meningkatkan Taraf Hidup, dan Bertindak Tegas dalam Konflik*
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga tradisi dan amaliyah yang telah berkembang di masyarakat, meningkatkan taraf hidup warga, melaksanakan program jam’iyah NU, serta membina dan mengawasi kegiatan perangkat jam’iyah.
Sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan basis massa yang luas, PBNU memiliki peran strategis dalam menjaga harmoni di tengah masyarakat, terutama ketika terjadi konflik yang melibatkan warga NU. Saat ini, warga NU terbagi dalam dua kelompok terkait klaim keturunan Nabi Muhammad SAW oleh klan Ba’alwi: kelompok yang mendukung klaim tersebut berdasarkan dugaan (dzan) dan kelompok yang menolaknya berdasarkan fakta ilmiah dari berbagai disiplin ilmu seperti sejarah, filologi, dan genetika.
Dalam situasi seperti ini, seorang pemimpin PBNU seharusnya bersikap tegas dan mengambil langkah konkret untuk menyelesaikan perbedaan pandangan ini dengan cara yang ilmiah dan berkeadilan. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah mendorong pemerintah untuk menyelesaikan konflik ini melalui jalur pengadilan serta melibatkan akademisi dan pakar dari berbagai bidang, seperti profesor ahli sejarah dan genetika. Dengan pendekatan ini, NU dapat menjaga kredibilitasnya sebagai organisasi yang berpegang pada ilmu pengetahuan, sekaligus memastikan bahwa perdebatan terkait nasab tidak merusak persatuan umat.
Namun, sangat disayangkan ada pengurus PBNU yang menunjukkan sikap tidak bertanggung jawab dalam menangani persoalan ini. Seorang Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Keagamaan dalam sebuah grup Bahtsul Masail dikabarkan mengungkapkan ketidaktertarikannya terhadap perdebatan nasab dengan pernyataan:
*“Waduh grup geger nasab ini masih ada 😂, Saya sudah ngga tertarik untuk ribet nasab, kalau mau ribut nasab saya out aja.”*
Pernyataan seperti ini mencerminkan sikap apatis dan kurangnya tanggung jawab terhadap permasalahan yang sedang berkembang di kalangan warga NU. Sebagai pemimpin dalam organisasi sebesar PBNU, seharusnya ia memahami bahwa perdebatan tentang nasab bukan hanya sekadar perbedaan pendapat, melainkan memiliki dampak sosial, historis, dan keilmuan yang signifikan. Sikap acuh tak acuh terhadap isu ini dapat merusak kepercayaan warga NU terhadap kepemimpinan PBNU dan menimbulkan ketidakpastian dalam penyelesaian konflik.
PBNU seharusnya menjadi wadah yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan kebenaran, serta mampu memfasilitasi dialog yang sehat berdasarkan fakta dan penelitian. Dengan demikian, diharapkan PBNU tetap menjadi organisasi yang istiqamah dalam menjaga nilai-nilai Islam Ahlussunnah wal Jama’ah serta menjadi pemersatu umat, bukan malah membiarkan perpecahan semakin melebar akibat ketidakpedulian pemimpinnya.