Perbedaan Mi’raj Faqih Muqaddam dengan Konsep Mi’raj dalam Ilmu Tasawuf: Menyingkap Distorsi Ajaran Ba’alwi

*Perbedaan Mi’raj Faqih Muqaddam dengan Konsep Mi’raj dalam Ilmu Tasawuf: Menyingkap Distorsi Ajaran Ba’alwi*

 

Sebagian pendukung klaim spiritual Klan Ba’alwi berusaha membangun narasi bahwa konsep mi’raj yang mereka ajarkan memiliki legitimasi dalam dunia tasawuf, bahkan mereka mencoba menyamakan kisah sesat  yang ditulis oleh leluhurnya tentang mi’raj faqih muqaddam dengan pandangan ulama seperti Imam Sya’rani. Namun pemahaman ini perlu dikritisi secara ilmiah dan metodologis agar tidak terjadi distorsi sejarah dan ajaran Islam, terkait klan ba’alwi sering kali melakukan perbuatan distorsi ilmu dan sejarah.

 

*1. Mi’raj dalam Konsep Ilmu Tasawuf*

Dalam ilmu tasawuf, mi’raj para wali bukanlah perjalanan fisik, tetapi merupakan pengalaman ruhaniyah yang terkait dengan maqam seseorang dalam mendekatkan diri kepada Allah. Imam Sya’rani dalam pernyataannya menyebutkan bahwa ada wali yang mengalami isra’ ruhani yang kualitasnya berbeda-beda tergantung pada maqamnya:

Telah dijelaskan oleh para muhaqqiq bahwa para wali mengalami isra’ ruhani ke langit, layaknya mimpi yang dilihat seseorang, dan masing-masing memiliki maqam yang berbeda yang tidak bisa mereka lampaui. Sebagian hanya sampai di antara bumi dan langit, sebagian sampai ke langit dunia, sebagian sampai Sidratul Muntaha, Kursi, bahkan ‘Arsy.” (Imam Sya’rani)

Dari sini jelas bahwa mi’raj dalam tasawuf tidak bisa disamakan dengan peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW yang merupakan perjalanan fisik dan ruhani yang dibuktikan secara mutawatir dalam Al-Qur’an dan Hadis.

Selain itu, keramat wali tidak boleh menyamai mukjizat nabi:

“Mukjizat adalah bukti kenabian, dan bukti kenabian tidak bisa ada pada selain nabi… Karamah wali itu hanya sebatas seperti dikabulkannya doa, tetapi tidak sampai ke tingkat mukjizat nabi.” (Imam Abu Ishaq al-Isfara’ini)

Maka berdasarkan referensi ini, konsep mi’raj dalam tasawuf bersifat subjektif dan tidak bisa dijadikan landasan untuk mengklaim keistimewaan seseorang, apalagi jika digunakan sebagai alat untuk menjustifikasi keabsahan suatu nasab atau otoritas spiritual.

 

*2. Mi’raj Faqih Muqaddam: Sebuah Distorsi Ajaran Islam*

Konsep mi’raj yang diklaim oleh Klan Ba’alwi, khususnya yang dikaitkan dengan Faqih Muqaddam, berbeda dari konsep yang diajarkan dalam tasawuf murni. Narasi bahwa Faqih Muqaddam mengalami mi’raj sering digunakan oleh pengikut Ba’alwi untuk menanamkan doktrin keturunan “wali quthub” , seolah-olah mi’raj ini adalah bukti otoritas spiritual mereka.

Padahal, dalam ilmu kalam dan tasawuf, pengalaman mi’raj seseorang tidak serta-merta menjadi legitimasi keutamaan mutlak.

Klaim mi’raj 70 kali yang dilekatkan pada Faqih Muqaddam adalah salah satu bentuk kultus individu yang sering ditemukan dalam ajaran Ba’alwi. Mereka cenderung mengagungkan sosok leluhur mereka dengan cerita-cerita yang tidak memiliki dasar ilmiah maupun dalil yang kuat. Kultus seperti ini berbahaya karena:

  • Membuka jalan bagi pengikut karena menganggap wali memiliki sifat seperti nabi, yang bertentangan dengan ajaran Islam.
  • Mendorong pengikut untuk lebih percaya pada cerita-cerita mistis dibandingkan dalil syar’i yang jelas.
  • Menciptakan hierarki yang tidak sehat dalam komunitas Muslim, di mana seseorang dianggap suci hanya karena nasabnya.

Kesalahan ini mirip dengan beberapa ajaran kelompok ekstrem yang mengangkat tokoh mereka ke tingkat yang tidak seharusnya, sehingga membentuk keyakinan yang menyimpang dari ajaran Islam yang murni.

 

 

*3. Kesimpulan*

  • Mi’raj dalam tasawuf adalah pengalaman ruhani yang berhubungan dengan maqam seorang wali dan tidak boleh disamakan dengan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW.
  • Konsep mi’raj Faqih Muqaddam yang digunakan untuk membangun legitimasi spiritual Klan Ba’alwi tidak memiliki dasar yang kuat dalam ilmu tasawuf maupun ilmu kalam.
  • Narasi ini lebih banyak digunakan untuk memperkuat kultus individu dan mendukung fakta sejarah tentang siapa sebenarnya Faqih Muqaddam dan bagaimana pengaruhnya terhadap perkembangan Klan Ba’alwi.

Dengan demikian, sudah saatnya masyarakat lebih memilih dalam menerima narasi-narasi yang tidak memiliki dasar ilmiah, terlebih jika digunakan untuk kepentingan kelompok tertentu yang mengklaim otoritas spiritual tanpa bukti yang sahih.

 




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *