Tajwid dan Keteladanan: Mengapa Bacaan Al-Qur’an Harus Jadi Standar Seorang Imam

Tajwid dan Keteladanan: Mengapa Bacaan Al-Qur’an Harus Jadi Standar Seorang Imam

 

Habib Umar bin Hafidz, ulama terkemuka asal Tarim, Yaman, dikenal luas sebagai sosok kharismatik yang menginspirasi jutaan muslim di berbagai belahan dunia. Ia dihormati sebagai guru yang menguasai ribuan hadis dan memiliki pengaruh besar dalam dunia tasawuf. Namun, dalam sebuah momen publik ketika beliau membacakan Al-Qur’an, muncul perbincangan luas di kalangan umat Islam tentang pentingnya ketepatan dalam membaca Kitab Suci.

Beberapa pengamat dan praktisi ilmu tajwid menyoroti kualitas bacaan yang terekam dalam forum terbuka tersebut. Di antara catatan yang muncul adalah pemotongan mad wajib muttashil yang tidak sesuai kaidah, serta pengucapan huruf-huruf hijaiyah yang tidak tepat pada makhraj-nya. Dalam konteks pembacaan Al-Qur’an, hal ini tentu bukan perkara sepele, sebab tajwid bukan sekadar hiasan fonetik, melainkan bagian dari adab terhadap Kalamullah.

Lebih dari sekadar teknik membaca, ketepatan dalam tajwid merupakan syarat dalam ibadah, khususnya dalam salat berjamaah. Hal ini ditegaskan dalam hadis Nabi Muhammad SAW:

“يَؤُمُّ القَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ”
“Orang yang paling berhak menjadi imam adalah yang paling baik bacaannya terhadap Kitabullah.” (HR. Muslim No. 673)

Kesepakatan para ulama dari empat mazhab besar—Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hanbali—juga menempatkan kefasihan membaca Al-Qur’an sebagai kriteria utama dalam memilih imam. Bukan keturunan, popularitas, atau pengaruh sosial, tetapi kualitas bacaan dan penguasaan hukum-hukum tajwid yang menjadi tolok ukur utama.

Karena itu, ketika seorang ulama senior dari Indonesia, seperti KH Idrus Romli, memilih bermakmum kepada Habib Umar dalam salat, sebagian kalangan mempertanyakan kesesuaian keputusan itu dengan kaidah fikih. Apalagi jika bacaan imam dinilai belum memenuhi standar tajwid yang sahih.

Dalam Islam, amar makruf nahi mungkar adalah bagian penting dari tanggung jawab keumatan. Mengingatkan dalam hal ibadah, termasuk bacaan Al-Qur’an, bukanlah bentuk penghinaan personal, melainkan upaya meluruskan pemahaman agar tidak timbul kekeliruan di tengah umat.

Sebab, jika bacaan yang keliru dianggap wajar hanya karena dibaca oleh figur terkenal atau karena status keturunan, maka umat bisa terjebak pada simbol, bukan substansi. Ini berisiko menurunkan standar keilmuan dalam Islam—seolah-olah maqam keulamaan bisa diperoleh tanpa komitmen terhadap ilmu dan adab terhadap Al-Qur’an.

Akhirnya, kritik semacam ini bukan bertujuan menjatuhkan, tetapi justru menjaga marwah Al-Qur’an dan menempatkan ilmu di atas simbol.

Karena seperti firman Allah:

“وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا” (QS. Al-Muzzammil: 4) — bacalah Al-Qur’an dengan tartil, bukan tergesa-gesa, apalagi sembarangan.

Catatan:

Tulisan ini adalah bagian dari diskursus publik untuk memperkuat standar keilmuan dalam membaca Al-Qur’an. Tidak ada niat untuk menyerang pribadi, melainkan mengajak semua pihak—termasuk tokoh agama—untuk terus meneladani akurasi dalam ibadah sebagai wujud cinta terhadap Kalam Ilahi.

📌 Kriteria Imam Menurut Empat Mazhab

Dalam fikih Islam, syarat sah seorang imam dalam salat bukanlah status sosial, keturunan, atau popularitas, melainkan ilmu dan kefasihan dalam membaca Al-Qur’an. Berikut pandangan empat mazhab besar:

1. Mazhab Syafi’i

  • Prioritas pertama: yang paling fasih membaca Al-Qur’an (aqra’uhum).
  • Diikuti oleh yang paling berilmu fikih.
  • Jika setara, dipilih yang lebih tua dan lebih taat.

Referensi: Imam Nawawi dalam al-Majmū’ Syarḥ al-Muhadzdzab

2. Mazhab Hanafi

Imam dipilih berdasarkan:

  • Ilmu tajwid dan hukum-hukum bacaan.
  • Keilmuan fikih.
  • Ketakwaan dan akhlak.
  • Keturunan atau status sosial tidak termasuk kriteria utama.

Referensi: al-Hidayah fi Sharh Bidayat al-Mubtadi

3. Mazhab Maliki

  • Menekankan bacaan yang sahih sebagai syarat utama.
  • Menolak keimaman seseorang yang tidak menjaga kaidah tajwid dalam batas minimal yang dapat mengubah makna.

Referensi: Mawahib al-Jalil karya al-Hattab

4. Mazhab Hanbali

  • Tajwid dan kemampuan membaca Al-Qur’an dengan tartil adalah kriteria pertama.
  • Baru setelah itu mempertimbangkan ilmu fikih dan kedewasaan usia.

Referensi: al-Mughni karya Ibnu Qudamah

🔎 Kesimpulan:
Semua mazhab sepakat bahwa fasih membaca Al-Qur’an lebih utama daripada nasab atau karisma. Hal ini menjadi standar objektif dalam menentukan kelayakan seorang imam.


📌 Tajwid: Antara Hukum dan Estetika Bacaan Al-Qur’an

Tajwid sering disalahpahami hanya sebagai “seni melagukan Al-Qur’an.” Padahal, tajwid adalah bagian dari hukum syar’i yang mengatur cara membaca Al-Qur’an dengan benar dan mencegah perubahan makna.

✅ Mengapa Tajwid Itu Penting?

  • Menjaga makna ayat: Salah satu huruf saja bisa mengubah arti secara total.
  • Menyempurnakan ibadah: Salat dengan bacaan yang rusak bisa tidak sah.
  • Menghormati Kalamullah: Membaca Al-Qur’an bukan seperti membaca teks biasa.

📘 Dalil Tajwid dari Al-Qur’an:

“وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا”
“Bacalah Al-Qur’an dengan tartil (perlahan dan benar).”
(QS. Al-Muzzammil: 4)

📙 Dalil dari Ulama:

Ibnu al-Jazari, ahli qira’at: “Tajwid itu wajib hukumnya bagi setiap Muslim. Barang siapa yang tidak bertajwid dalam bacaan, maka ia berdosa.”


🧭 Kesimpulan:
Tajwid bukan soal “bagus-bagusan suara”, tapi bagian dari adab, hukum, dan syarat sahnya ibadah. Mengabaikannya, apalagi dalam posisi sebagai imam, adalah persoalan serius dalam hukum Islam.




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *