*Taklid Buta Membunuh Akal: Mengkritisi Bungkamnya Intelektualitas dalam Polemik Nasab Ba ‘Alwi*
Dalam sebuah pernyataan publik di media sosial, Gus Kiyai Ahmad Dairobi berkata:
“Saya tidak pernah meneliti soal nasab Ba Alawi. Saya taklid mawon… lebih mantep kepada poro Gus Sidogiri, Sarang, Lirboyo, Ploso, Besuk dst.”
Pernyataan itu terlihat sederhana, bahkan rendah hati. Namun sesungguhnya ia menyingkap persoalan besar dalam dunia Islam kontemporer: kemalasan berpikir yang dibungkus dengan taklid dan sentimen kelompok.
*Agama Tanpa Ilmu adalah Jerat*
Islam bukan agama mitos. Ia adalah agama ilmu. Al-Qur’an membuka wahyunya dengan kata “Iqra” (Bacalah!), bukan “taqlidlah.” Allah SWT memerintahkan umat-Nya untuk berpikir, meneliti, dan mendalami. Dalam Surah Al-Zumar ayat 9, Allah menegaskan:
“Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”
Imam Al-Ghazali—ikon Ahlussunnah wal Jamaah, bukan Wahabi—mengecam keras orang-orang yang memutuskan sesuatu tanpa ilmu. Dalam Ihya Ulumuddin, ia menyatakan:
“Kebodohan yang berselimut taklid adalah kehinaan. Orang bodoh yang tidak mencari ilmu adalah seperti hewan yang hanya mengikuti penggembalanya.”
Maka ketika seseorang menyatakan dirinya “taklid mawon” dalam isu serius seperti klaim nasab yang menyangkut otoritas keagamaan, harta wakaf, hingga pengaruh politik umat, itu bukan kealiman. Itu kemunduran berpikir.
*Taklid Buta: Virus dalam Tradisi Islam*
Taklid dalam fiqh klasik memiliki tempat, tetapi hanya untuk orang awam dalam hal teknis ibadah. Namun dalam perkara publik—terutama menyangkut klaim sosial seperti nasab—taklid buta adalah pembodohan. Imam Syafi’i berkata:
“Pendapatku benar tapi mungkin salah. Pendapat orang lain salah tapi mungkin benar.”
Itulah tradisi ilmiah dalam Islam: ijtihad, hujjah, dan verifikasi. Tanpa itu, umat akan terus menjadi konsumen kebohongan turun-temurun yang disucikan tanpa nalar. Dan celakanya, seperti dalam kasus nasab Ba ‘Alawi, kebohongan ini digunakan untuk mengklaim status “dzurriyyah Nabi” tanpa bukti genetik dan historiografi yang sahih.
*Ketika Taklid Menjadi Alat Kuasa*
Klaim keturunan Nabi bukan hal kecil. Ia digunakan untuk menguasai legitimasi agama, memonopoli dakwah, bahkan menguasai dana publik atas nama karisma keturunan. Maka ketika seseorang mengaku “tak pernah meneliti” tapi tetap membela satu pihak, itu bukan tawadhu. Itu ketundukan tanpa nurani.
Lebih ironis lagi, Gus Dairobi meremehkan seorang peneliti seperti KH Imaduddin Utsman al-Bantani, yang justru menggunakan metode ilmiah: kajian manuskrip, sejarah, ilmu filologi, dan analisis DNA—sebuah pendekatan modern dan bertanggung jawab. Padahal, dalam Islam, siapa pun yang membawa hujjah wajib didengar, sebagaimana prinsip dalam Surah Al-Hujurat ayat 6:
“Jika datang kepadamu seorang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti.”
Apalagi jika yang datang adalah seorang ulama-peneliti, bukan fasik.
*Memakai Nama Besar Ulama Tanpa Argumen adalah Sesat Nalar*
Pernyataan Gus Dairobi yang menyandingkan nama-nama besar seperti Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dan Syekh Nawawi Al-Bantani dengan niat merendahkan KH Imaduddin Utsman al-Bantani menunjukkan kekeliruan logika berpikir. Tidak ada yang bisa menafikan keilmuan Imam Ibnu Hajar maupun Syekh Nawawi, tetapi memakai nama besar mereka untuk menolak temuan ilmiah kontemporer tanpa membantah substansi adalah bentuk fallacy otoritas klasik (argumentum ad verecundiam).
KH Imaduddin al-Bantani tidak pernah menentang ajaran-ajaran Ibnu Hajar atau Nawawi. Yang ia lakukan adalah meneliti klaim genealogis secara historis, filologis, dan genetik. Ibnu Hajar dan Nawawi pun adalah ulama besar yang dalam karya-karyanya justru mencontohkan pentingnya validitas sanad, integritas riwayat, dan uji nalar. Apakah pantas mencomot nama mereka hanya untuk menolak sebuah penelitian yang bersandar pada bukti?
Syekh Nawawi al-Bantani bahkan dalam Tafsir Marah Labid berkali-kali mendorong umat Islam untuk menggunakan akal, memverifikasi kabar, dan menjauhi taqlid buta. Beliau bukan penganjur stagnasi nalar, apalagi pembela nasab palsu.
Maka jika seseorang hanya merasa “lebih mantap” kepada ulama-ulama klasik sambil mengejek peneliti kontemporer yang menyodorkan bukti, itu bukan sikap ilmiah. Itu pengidolaan yang tidak bertanggung jawab.
Ilmu tidak bisa dilawan dengan rasa mantap. Ia hanya bisa dibantah dengan dalil.
*Umat Islam Harus Bangkit Melalui Ilmu*
Jika umat Islam ingin bangkit, maka jalan satu-satunya adalah dengan meninggalkan kultus personal dan membangun tradisi keilmuan berbasis data dan nalar. Tak ada kemajuan dengan taklid. Tak ada kebangkitan dengan pembelaan membabi buta terhadap dogma-dogma yang tidak mau diuji.
Imam Al-Nawawi—ulama besar mazhab Syafi’i—menegaskan dalam Al-Majmu’ bahwa tidak boleh menetapkan perkara besar tanpa dasar ilmiah. Maka bagaimana mungkin seseorang memilih diam dalam penelitian tapi aktif dalam pembelaan tanpa ilmu?
Kritik terhadap klaim nasab Ba ‘Alawi bukan soal benci, tapi tanggung jawab ilmiah. Tidak semua orang yang menolak taklid adalah Wahabi. Mereka bisa saja justru bermazhab Asy’ari, bermadzhab Syafi’i, dan berhaluan NU, tetapi menginginkan Islam yang berdiri di atas kebenaran, bukan pada silsilah yang dibangun dari mitos dan manipulasi sejarah.
Walisongobangkit.com mengingatkan bahwa Islam tidak pernah menutup pintu pada kebenaran, sekalipun datang dari orang yang tak populer. Karena dalam Islam, kebenaran tidak diwariskan. Ia dicari. Ia diuji. Dan ia harus diperjuangkan.