Tangisan Sunyi di Tubuh NU: Saat Anaknya Disakiti oleh Saudaranya Sendiri

*”Tangisan Sunyi di Tubuh NU: Saat Anaknya Disakiti oleh Saudaranya Sendiri”*

 

Di bawah langit Indonesia yang pernah disinari oleh pelita Walisongo, kini terdengar lirih suara hati yang tergores. Bukan oleh tangan asing. Tapi oleh tangan sendiri. Bukan oleh musuh luar. Tapi oleh mereka yang seharusnya saudara. PWI – Perjuangan Walisongo Indonesia – bukan musuh, bukan pula penyusup. Mereka adalah bagian dari tubuh NU itu sendiri. Mereka adalah Ansor, Banser, Fatayat, para pecinta kiai, para penjaga sejarah, para penjaga marwah ulama dan bangsa.

 

Mereka bukan orang luar. Mereka bukan dari organisasi lain. Mereka bukan dari aliran selain Ahlussunnah wal Jamaah. Mereka adalah orang-orang NU sejati. Lahir, besar, dan berjuang di dalam semangat kultural Nahdliyyin. Maka menyakiti mereka, sama artinya menyakiti tubuh NU itu sendiri.

 

Kenapa mereka dilabeli musuh? Karena membela? Karena menyuarakan sejarah yang dibelokkan? Karena berani membuka luka yang ditutup oleh dusta keturunan palsu? Karena menolak pemalsuan makam yang mengancam jejak sejarah bangsa? Bukankah itu bagian dari amanah Nahdlatul Ulama: meluruskan yang bengkok, merawat yang benar, dan menyuarakan kejujuran?

 

Masyarakat harus tahu — terlebih para kiai, para gus, dan tokoh struktural NU — bahwa PWI lahir dari rahim kultural NU. Mereka bukan pembangkang. Mereka adalah anak-anak yang mencintai ibunya, NU, dengan air mata dan keberanian. Mereka bersuara karena tak tahan melihat NU dicaci, kyai-kyai dicerca, sejarah dipalsukan, dan marwah bangsa dipermainkan oleh mereka yang mengaku mulia karena nasab, tapi mulutnya najis dengan cercaan dan kebencian.

 

Kita semua tahu. Telinga kita sudah letih mendengar cercaan dari rijik sihab yang menyebut Gus Dur buta mata dan buta hati. Kita tahu, bagaimana KH Said Aqil dicaci dengan kata goblok. Bagaimana Mbah Hasyim, pendiri NU, disebut “Hasyim Asy’ari penuh kebohongan” oleh Faisal Sekop. Bagaimana Bahar bin Smith menyebut kiai NU dengan sebutan anjing dan babi. Bagaimana Kiai Ma’ruf Amin difitnah dan dinista.

 

Belum cukupkah? Bahkan seorang Kiai Rois Syuriah NU dikeroyok di Karawang. Bahkan seorang kiai yang menikahi putri baklawi disebut “tai”. Bahkan jargon Islam Nusantara, hasil Muktamar NU di Jombang, diludahi oleh mulut-mulut yang mengaku pembela Islam, padahal tak pernah sungkem pada sejarah.

 

Kita juga tahu, bagaimana para baklawi melarang anak-anak mereka ikut Ansor dan Banser. Bahkan ada pribumi yang dipermalukan hanya karena menikahi perempuan baklawi. Ini bukan khayalan. Ini adalah luka-luka yang belum diobati. Dan PWI hadir bukan untuk memperkeruh, tapi untuk membuka, merawat, dan menyembuhkan luka itu. PWI adalah anak-anak NU yang tak bisa diam ketika ibunya difitnah.

 

Saudaraku yang seiman, wahai para kyai, gus, dan petinggi NU — tidakkah hati kita tergetar? Tidakkah air mata menetes melihat anak-anak NU yang memperjuangkan marwah ibunya justru dianggap musuh? Bukankah seharusnya mereka dirangkul? Diajak berjalan bersama menjaga kehormatan NU, bukan malah dijauhi?

 

Inilah saatnya kita bangkit bukan untuk marah, tapi untuk jujur. Bukan untuk membenci, tapi untuk menatap kebenaran. PWI bukan pelawan. Mereka adalah penjaga. Penjaga NU. Penjaga sejarah bangsa. Penjaga martabat para ulama yang selama ini dicaci, dihina, dan dilupakan.

 

Semoga suara ini didengar. Semoga langit Indonesia kembali terang oleh cahaya kejujuran. Dan semoga NU tetap menjadi rumah besar yang melindungi semua anaknya — termasuk mereka yang berani dan tulus memperjuangkannya, seperti PWI — bukan membiarkan satu pun dari mereka merasa terasing di rumah sendiri.




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *