*Terbuka Tirai Lagi: Makam Raja Cirebon Panembahan Girilaya Dipalsukan Menjadi Makam Qodi bin Yahya?*
Oleh M. Yaser Arafat
(Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Peneliti Makam-Makam Tua)
Sebuah narasi yang menyebut bahwa di Bukit Giriloyo, Imogiri, Bantul, Yogyakarta, terdapat makam seorang tokoh bernama Muhammad Al-Qodhi, belakangan ramai diperbincangkan. Narasi ini berkembang di ruang-ruang ziarah dan media daring. Namun, hasil penelusuran sejarah dan arsip resmi menunjukkan bahwa klaim tersebut tidak didukung oleh data otoritatif.
Sebagian besar pertanyaan mengenai hal ini datang dari masyarakat lokal Giriloyo hingga kalangan keturunan Kerajaan Mataram Islam. Untuk menjawabnya, kami merujuk langsung ke data resmi makam-makam Kagungan Dalem Kraton Yogyakarta, dan berdialog langsung dengan otoritas pemakaman yakni KRT Reksokusumo, Bupati Puroloyo.
*Tidak Ada Nama Muhammad Al-Qodhi*
Berdasarkan dokumen resmi yang dikelola Kraton Yogyakarta, tidak tercatat adanya makam atas nama Muhammad Al-Qodhi di Bukit Giriloyo. Yang ada justru makam Panembahan Giriloyo, yang juga dikenal sebagai Sultan Cirebon V atau Syekh Abdul Karim—tokoh sejarah abad ke-17 yang merupakan menantu dari Sunan Amangkurat I dan keturunan Sunan Gunung Jati.
Namun, sejak sekitar tahun 2016 hingga 2021, makam Panembahan Giriloyo ini mulai diziarahi dengan menyebutnya sebagai makam Muhammad Al-Qodhi. Salah satu yang mendokumentasikan aktivitas tersebut adalah Majelis Taklim Darul Hasyimi (MTDH), Yogyakarta.
Narasi tentang keberadaan Muhammad Al-Qodhi di Giriloyo muncul dari sebuah situs yang tidak mencantumkan sumber akademik atau literatur primer yang dapat diverifikasi secara ilmiah. Tautannya:
https://sites.google.com/…/as-sayyid-muhammad-al-qadhi…
Meski begitu, narasi ini tampaknya diyakini sebagian pihak. Padahal, jika ditelusuri lebih dalam, terdapat sejumlah kejanggalan kronologis maupun logis yang perlu dicermati ulang.
*Membedah Narasi Muhammad Al-Qodhi*
Versi yang beredar menyebutkan bahwa Muhammad Al-Qodhi, atau juga dikenal sebagai Kyai Agung/Tuan Haji Agung Semarang, adalah putra kedelapan dari Muhammad Al-Qodhi bin Thoha bin Yahya. Ia lahir pada 1748 M, tiga bulan setelah ayahnya wafat.
Dalam konstruksi ini, usia Muhammad Al-Qodhi II diperkirakan sekitar 70 tahun, sehingga ia wafat antara 1818 hingga 1820 M. Klaim lain menyebutkan bahwa setelah berkelana ke banyak daerah, ia menetap dan wafat di Giriloyo, Yogyakarta. Namun di bagian lain narasi, disebutkan pula ia wafat di Cirebon—kontradiksi yang menciptakan keraguan atas keabsahan data tersebut.
Di sisi lain, bentuk fisik dan arsitektur makam di Bukit Giriloyo tidak cocok dengan pakem makam abad ke-19. Justru bentuk dan hiasannya mencerminkan gaya arsitektur makam raja abad ke-17, sesuai dengan periode Sultan Cirebon V/Syekh Abdul Karim.
Buku resmi berjudul Cengkorongan Gambar Sarta Pratelan Ingkang Sami Semare Ing Kagungan Dalem Pasareyan Imagiri, Girilaya, Sarta Banyusumurup Ing Ngayogyakarta Hadiningrat Ugi Pasareyan Tegal Arum Ing Tegal yang ditulis KRT Mandayakusuma (diterbitkan oleh Kawedanan Hageng Sriwandawa, 1950) secara jelas mendokumentasikan siapa saja yang dimakamkan di Giriloyo. Nama Muhammad Al-Qodhi tidak ditemukan di dalamnya.
*Konteks Budaya dan Sejarah Mataram*
Giriloyo merupakan kompleks pemakaman keluarga besar Mataram Islam, terutama dari abad ke-17 hingga awal abad ke-18. Tradisi Mataraman sangat menjaga pakem penempatan makam berdasarkan garis trah dan status sosial-politik. Sebab itu, pemakaman seorang Sultan dari Cirebon yang merupakan bagian dari trah Sunan Gunung Jati dapat diterima dalam tradisi ini. Sebaliknya, jika sosok Muhammad Al-Qodhi bukan bagian dari trah Mataram, Cirebon, atau dzurriyah Walisongo, tentu keberadaannya di sana sangat tidak sesuai dengan konteks sejarah dan budaya.
*Perlu Klarifikasi Sejarah*
Ulasan ini bukan untuk menafikan keyakinan pribadi siapapun, melainkan sebagai sumbangsih pelurusan data sejarah berbasis dokumen resmi dan pendekatan ilmiah. Dengan demikian, masyarakat tidak terjebak pada informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akademik maupun kultural.
Ziarah adalah tradisi luhur dalam Islam, namun semestinya dilakukan dengan panduan ilmu yang memadai. Salah dalam menempatkan identitas makam, bisa berujung pada kekeliruan historis yang berdampak panjang.
WaAllahu a’lam.
*Catatan Redaksi:*
Tulisan ini telah disunting untuk menjaga akurasi, kehati-hatian hukum, dan tidak memuat tuduhan personal atau institusional. Setiap klarifikasi dalam artikel ini berdasarkan kajian arsip resmi dan hasil wawancara dengan otoritas yang berwenang.
*Apa Tujuan Mengubah Makam?*
*Memahami Pola Sistematis Pemalsuan Sejarah untuk Legitimasi dan Penguasaan Kultural*
Pertanyaan besar yang mengemuka dari temuan di Bukit Giriloyo adalah: Apa sebenarnya tujuan dari pengubahan identitas makam, dari Panembahan Giriloyo—seorang Raja Cirebon dan menantu Sunan Amangkurat I—menjadi Muhammad Al-Qodhi bin Yahya?
Jawabannya bukan sekadar soal nama, melainkan soal narasi sejarah, legitimasi identitas, dan kuasa atas ruang religius dan kultural.
*Paralel dengan Apa yang Dilakukan Israel di Palestina*
Pemalsuan makam ini mencerminkan pola yang sangat mirip dengan apa yang dilakukan rezim kolonial modern, seperti Israel di wilayah Palestina. Di sana, situs-situs suci dan makam para tokoh Islam dan Kristen sering kali diubah narasinya, dihapus konteks sejarah aslinya, lalu diklaim sebagai situs Yahudi kuno.
Contohnya, Masjid Ibrahimi (Makam Nabi Ibrahim) di Hebron dan Masjid Al-Aqsa yang terus-menerus diklaim sebagai “Temple Mount.” Tujuannya bukan semata pengakuan spiritual, tapi pembenaran historis untuk menjajah tanah, memecah belah warga, dan menanamkan legitimasi palsu atas sebuah wilayah yang sejak awal tidak menjadi milik mereka.
Di Palestina, taktik ini disebut oleh para akademisi sebagai “heritage appropriation”—pengambilalihan warisan sejarah demi kepentingan politik dan identitas. Proses ini menumpulkan daya kritis masyarakat, menciptakan ilusi keaslian sejarah, dan memarginalkan pemilik narasi yang sah.
*Pemalsuan Makam di Giriloyo: Tujuan dan Bahayanya*
Kembali ke Giriloyo. Bila narasi palsu tentang Muhammad Al-Qodhi terus dibiarkan menghapus keberadaan Panembahan Giriloyo, maka kita sedang menghadapi bentuk serupa dari “heritage appropriation” di tingkat lokal.
Apa tujuannya?
- *Mendudukkan Narasi Baru untuk Legitimasi Nasab*
Dengan mengklaim bahwa seorang tokoh “leluhur” dimakamkan di lokasi keramat seperti Giriloyo—yang notabene kawasan elite pemakaman keluarga besar Mataram Islam—muncullah kesan seolah tokoh itu memiliki posisi istimewa dalam sejarah Nusantara. Klaim ini bisa jadi dipakai untuk menguatkan garis keturunan, memperkuat pengaruh sosial, bahkan membentuk kekuasaan simbolik di masyarakat. - *Menciptakan Legitimasi Sosial-Agama Baru*
Ketika tokoh yang tidak ada dalam dokumen resmi Kraton justru dikultuskan di situs penting, hal itu berpotensi memicu ketegangan antar-mazhab, antar-trah, dan antar-komunitas Islam. Ini tak ubahnya strategi divide et impera yang telah digunakan penjajah sejak masa kolonial. - *Mengaburkan Jejak Sejarah Islam Asli Nusantara*
Ketika tokoh lokal seperti Panembahan Giriloyo—seorang raja, ulama, dan menantu Raja Mataram—dihapus dari narasi sejarah, maka kita sedang menyaksikan upaya sistematis untuk mengaburkan sejarah Islam Indonesia. Seolah Islam Nusantara itu tak punya pahlawan, tak punya ulama besar, tak punya kerajaan yang kuat dan agung.
*Agenda Pemecah-Belah Umat Islam Indonesia*
Maka benar adanya, mengubah identitas makam bukan tindakan sepele. Ini bukan sekadar salah tulis atau kekeliruan tak disengaja. Ini adalah bagian dari skema yang lebih besar—rekayasa sejarah untuk memecah belah umat.
Dengan mengaburkan asal-usul sejarah dan menciptakan tokoh-tokoh fiktif yang dikultuskan, terjadi pergeseran otoritas keilmuan dan spiritual. Masyarakat pun diarahkan untuk percaya pada narasi baru yang tidak memiliki dasar historis dan ilmiah.
Pola semacam ini berbahaya karena dapat:
- Menimbulkan konflik antar-trah, antar-kelompok ziarah, dan antar-mazhab.
- Menggeser pemahaman Islam yang moderat dan berbasis tradisi ke arah kultus pribadi.
- Merusak identitas sejarah bangsa dan umat Islam Indonesia.
*Solusi: Edukasi Publik dan Literasi Sejarah*
Umat Islam Indonesia tidak boleh diam. Narasi sejarah harus dibangun di atas fakta, dokumen resmi, dan akal sehat. Edukasi sejarah dan pemaknaan ulang ruang-ruang keramat seperti makam kerajaan harus dilakukan secara ilmiah dan terbuka.
Sebab bila pemalsuan ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin generasi mendatang akan kehilangan jejak siapa sebenarnya yang membangun peradaban Islam di Nusantara.
Makam adalah saksi bisu perjalanan sebuah bangsa. Mengubahnya adalah mengubah sejarah. Dan sejarah yang dipalsukan adalah akar dari penjajahan baru—baik di Palestina, maupun di tanah air sendiri.
Wallahu a’lam.