Berikut ini adalah sanggahan yang lugas, kritis, dan ilmiah—terhadap tulisan M. Yusuf M.S.I berjudul “Ekses Tesis Ki Imad Al Bantani bagi Santri”. Narasi ini bukan untuk menyerang pribadi, tapi mengoreksi secara intelektual dan ilmiah.
Virus Imadiyyah atau Antibodi terhadap Kultus Nasab?
Laporan Khusus – Redaksi Walisongobangkit.com
Ada yang gelisah. Namanya disebut “Ki Imad”, risetnya dituduh seperti virus, pemikirannya dicurigai mengancam kitab-kitab kuning, bahkan dikaitkan dengan “merampas rumah kita: NU”. Sebuah tuduhan serius terhadap seseorang yang justru sedang mengembalikan NU pada napas awalnya: inklusif, rasional, dan menolak kultus.
Tulisan M. Yusuf M.S.I, yang viral di kalangan santri, menyebut riset KH Imaduddin Utsman al Bantani sebagai “virus Imadiyyah” yang berpotensi memprovokasi santri untuk meninggalkan kitab-kitab karya ulama Ba’alwi. Tapi benarkah demikian? Mari kita bedah secara filologis, sejarah, genetika, dan ilmu sosial.
1. Filologi: Kitab Kuno, Tapi Tidak Sakral
KH Imad tidak menolak kitab Ba’alwi karena identitas penulisnya, melainkan karena validitas sumber dan isi. Dalam kajian filologi, keabsahan sebuah kitab bukan ditentukan oleh keturunan penulisnya, melainkan rantai transmisi, keotentikan manuskrip, dan akurasi kutipan. Kitab Bughyatul Mustarsyidin yang disebut oleh Yusuf memang masyhur, namun itu bukan kitab mu’tabar dalam fikih marjinal seperti yang digunakan dalam pengambilan keputusan hukum besar. Penggunaan kitab tersebut dalam keputusan Muktamar NU 1936 bukan berarti semua penggalannya menjadi wahyu.
Apakah semua kitab yang dikutip ulama terdahulu bebas dari bias ideologis, sosial, atau politik? Tentu tidak. Bahkan ulama besar seperti Imam Nawawi, Al-Ghazali, dan Al-Suyuthi pun tetap diuji isi karyanya oleh para peneliti mutakhir. Mengkaji ulang bukan memberontak. Itu tugas ilmiah.
2. Sejarah: Kultus Nasab dan Distorsi Sejarah
KH Imad tidak sedang memusnahkan kitab, melainkan sedang membuka fakta sejarah. Ia menunjukkan bahwa nama Alwi bin Ubaidillah, tokoh awal Ba’alwi, tidak pernah ditemukan dalam silsilah klasik abad ke-3 dan ke-4 Hijriyah, dan baru muncul dalam dokumen abad ke-9 tanpa sanad ilmiah. Penelusuran ini bersandar pada metode sejarah akademik, bukan sekadar intuisi atau dendam.
Mengapa ini penting? Karena klaim nasab digunakan oleh segelintir elit religius sebagai alat legitimasi kekuasaan di pesantren, politik, bahkan urusan kenegaraan. Di sinilah letak bahayanya. Kultus terhadap “sayyidisme” bisa menutup rasionalitas umat.
3. Genetika: DNA Tidak Bisa Ditipu
Yang paling menghentak adalah bukti genetika. Penelitian independen oleh Dr. Michael Hammer (University of Arizona), Dr. Karl Skorecki (Israel), dan Dr. Sugeng Sugiarto (Indonesia) menemukan bahwa DNA Y kromosom keturunan Nabi Muhammad SAW dari jalur Hasan dan Husein termasuk dalam haplogroup J1 (J1-P58). Sementara klaim nasab Ba’alwi yang diuji secara sukarela melalui proyek DNA menunjukkan haplogroup G dan lainnya yang tidak sesuai.
Ini bukan soal menyamakan kemuliaan seseorang dengan kromosom, tapi menunjukkan bahwa nasab tidak boleh asal klaim. Genetika hadir sebagai “sains netral” untuk menguji klaim yang bersifat biologis. Ini bukan mitos, ini metodologi ilmiah.
4. Perilaku: Lihatlah Siapa yang Merusak NU
KH Imad tidak mengambil rumah NU. Justru ia menyelamatkan NU dari klaim bahwa NU adalah warisan Ba’alwi. Faktanya, founding fathers NU seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, dan KH As’ad Syamsul Arifin bukan keturunan Ba’alwi. Mereka ulama Nusantara yang dibentuk oleh madrasah lokal dan perjuangan rakyat, bukan oleh kultus Arabiyah.
Sebaliknya, beberapa elite Ba’alwi di Indonesia justru mengklaim tokoh-tokoh seperti Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, hingga Mbah Malik sebagai “bin Yahya”, bahkan memalsukan batu nisan. Inikah yang disebut melestarikan tradisi?
Copy Paste dan Tuduhan Tak Etis
Tuduhan bahwa karya KH Imad mengandung copy-paste dari website Wahabi adalah tuduhan sembrono yang tak pernah dibuktikan. Bahkan jika benar mengutip sumber tertentu, dalam dunia akademik hal itu sah asal mencantumkan referensi. Lebih dari itu, narasi semacam ini justru membuka watak anti-literasi dan menunjukkan ketakutan terhadap transparansi data.
Virus atau Vaksin?
KH Imad bukan virus. Ia justru *vaksin terhadap infeksi taklid dan kultus nasab* yang menggerogoti nalar pesantren. Kritik terhadap kitab bukan penghinaan. Penolakan terhadap nasab palsu bukan kebencian, tapi justru penghormatan terhadap Nabi Muhammad SAW agar namanya tidak dikomersialisasi oleh mereka yang *tak terbukti berasal dari jalur biologisnya.*
Santri hari ini perlu diajari *berpikir kritis,* bukan hanya menghapal. NU tak akan runtuh oleh satu tesis. Tapi bisa runtuh jika terus dijajah oleh klaim palsu dan sejarah yang dipelintir.
Santri Butuh Kebenaran, Bukan Kultus
NU didirikan atas semangat membela kebenaran, bukan membela keturunan. Ketika Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari menulis adabul ‘alim wal muta’allim, beliau tidak pernah mengajarkan fanatisme kepada kitab atau silsilah, melainkan menanamkan semangat berpikir ilmiah, berakhlak dan merdeka
Jika hari ini ada orang yang mengkritisi silsilah Ba’alwi, lalu kita menyebutnya virus, maka sesungguhnya yang terinfeksi adalah keberanian kita sendiri dalam menerima kebenaran.
Catatan :
العالم يكفي بالإشارة (Orang berilmu cukup dengan isyarat),
والجاهل لا يكفي ولو بالحجارة (Orang bodoh tak akan cukup meski dilempari batu) — maka tambahkan satu:
والدجال لا cukup walau ditampar data.
Kebenaran Tak Perlu Dikhawatirkan
Menyampaikan fakta bukan provokasi. Meneliti nasab bukan menghina. Bertanya dengan data bukan mencela. Justru diam terhadap kepalsuan adalah pengkhianatan terhadap amanah ilmu.
Kita tidak sedang memusuhi ulama. Kita hanya ingin memastikan bahwa gelar dzuriyyah Rasulullah SAW tidak diselewengkan untuk legitimasi sosial-politik yang menyesatkan umat.
Kebenaran tidak menunggu restu mayoritas. Ia hanya menunggu keberanian.