“Telaah Kritis atas Penyalahgunaan Gelar Keagamaan: Studi Kasus Jepara dan Urgensi Literasi Publik”
Publik dikejutkan dengan kasus predator anak di Jepara, Jawa Tengah, yang melibatkan seseorang bernama Safiq bin Zainal Abidin Alaydrus, pria yang dikenal di lingkungan sekitarnya dengan sebutan Habib. Di balik gelar itu, masyarakat tak menyangka bahwa ia adalah pelaku kekerasan seksual terhadap 31 anak—sebuah angka yang mencengangkan dan menyayat nurani.
Sumber dari Radar Semarang – Jawa Pos (https://radarsemarang.jawapos.com/jepara/725954666/publik-gempar-dengan-kasus-predator-anak-di-jepara-korban-mencapai-31-orang) mencatat bahwa pelaku dikenal sebagai sosok pendiam yang pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren. Namun ketika polisi menyambangi kediamannya, mereka justru dibuat bingung karena lingkungan sekitar memanggilnya dengan kehormatan religius: Habib. Sebutan yang membuat seolah-olah ia mustahil bersalah.
Nama belakang Alaydrus yang melekat pada pelaku merupakan bagian dari klan Ba’alwi, sebuah marga yang mengklaim berasal dari Hadhramaut, Yaman, dan mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. Klaim yang kerap diterima tanpa verifikasi, bahkan dijadikan semacam “lisensi moral”, terbukti bisa melahirkan rasa aman palsu bagi publik.
Padahal, belakangan ini, banyak pihak mulai menyoroti kredibilitas klaim nasab klan Ba’alwi. Di tengah berkembangnya ilmu genetika, sejarah, dan filologi, sejumlah penelitian—termasuk oleh KH Imaduddin Utsman al Bantani—telah mematahkan klaim garis keturunan mereka dari Nabi SAW. Salah satu temuan kuat adalah perbedaan haplogroup DNA, di mana klan Ba’alwi membawa haplogroup G, sementara keturunan Nabi SAW secara ilmiah terbukti membawa haplogroup J1.
Kita patut bertanya: kenapa gelar ‘Habib’ bisa jadi tameng? Kenapa masyarakat masih tunduk pada simbol tanpa menguji substansi?
Fenomena ini menjadi pengingat keras bagi umat Islam agar tidak terjebak dalam kultus palsu atas nama keturunan. Kasus Safiq hanyalah salah satu contoh. Sudah saatnya umat kembali berpikir kritis, menggunakan akal sehat dan ilmu pengetahuan, serta tidak menoleransi kultus yang dapat menyamarkan kebusukan di balik jubah “kehormatan.”
Afala ta’qilun? Maka apakah kalian tidak berpikir?