*Muhibbin dan Perbudakan Spiritual: Kegagalan Literasi Agama dalam Perspektif Ahlussunnah wal Jama’ah*
Islam diturunkan sebagai agama pembebasan. Salah satu ajaran fundamental dalam Islam adalah bahwa manusia dilarang menghamba kepada sesama manusia. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT menegaskan, “Wa mā khalaqtul-jinna wal-insa illā liya‘budūn” (QS. Adz-Dzariyat: 56), bahwa tujuan penciptaan manusia dan jin adalah semata untuk menyembah Allah, bukan makhluk. Oleh karena itu, segala bentuk penghambaan kepada manusia, baik secara fisik, intelektual, maupun spiritual, bertentangan dengan prinsip dasar tauhid.
Namun, dalam realitas sosial-keagamaan umat Islam di Indonesia, masih dapat dijumpai fenomena yang oleh para pemikir kritis disebut sebagai perbudakan spiritual. Fenomena ini terjadi ketika sekelompok umat secara sadar tunduk secara total kepada figur-figur religius tertentu, bukan atas dasar ilmu dan hujjah, melainkan karena hegemoni narasi dan kultus yang telah diwariskan secara turun-temurun. Mereka disebut “Muhibbin”, yaitu pengikut setia dari kelompok elite keagamaan tertentu, dalam hal ini adalah sebagian pengikut dari klan Ba’alwi yang secara genealogis dan historis telah menjadi perdebatan panjang tentang validitas nasab mereka terhadap Nabi Muhammad SAW.
—
Hegemoni dan Perbudakan Spiritual
Perbudakan spiritual bukanlah bentuk paksaan secara fisik, melainkan bentuk dominasi wacana sebagaimana dikemukakan oleh Antonio Gramsci dalam teori hegemoninya. Hegemoni ialah bentuk kekuasaan yang bekerja melalui kesadaran — bukan melalui represi — sehingga mereka yang dikuasai merasa tunduk secara sukarela, bahkan rela berkorban atas nama ketaatan kepada tokoh yang dikultuskan. Dalam konteks agama, hal ini menjadi berbahaya ketika umat kehilangan akal kritis, menerima segala ucapan tokoh sebagai “kebenaran mutlak”, dan menjadikan mereka sebagai ghuluw dalam mencintai manusia melebihi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dalam Islam, bentuk ghuluw (berlebih-lebihan) dalam memuliakan manusia adalah hal yang diharamkan. Nabi SAW bersabda: “Laa tutrūnī kamā atratin-nashārā ‘Isā ibn Maryam, fa innamā anā ‘abduhū, fa qūlū ‘Abdullāh wa Rasūluh” — “Jangan kalian memujiku berlebihan sebagaimana orang Nasrani memuji Isa putra Maryam. Aku hanyalah hamba Allah, maka katakanlah, ‘Hamba Allah dan Rasul-Nya’.” (HR. Bukhari)
Fenomena muhibbin yang rela menutup mata atas kesalahan, kebohongan historis, bahkan tindakan hukum yang dilakukan oleh para tokoh panutannya merupakan wujud dari kegagalan literasi agama. Mereka kehilangan daya kritis karena dicekoki narasi bahwa “keturunan Nabi” itu suci dan tidak boleh digugat. Padahal, dalam ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah, status nasab tidak otomatis menjamin kemuliaan di sisi Allah, sebagaimana firman-Nya: “Inna akramakum ‘indallāhi atqākum” — “Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13)
—
Sikap Ulama Ahlussunnah terhadap Kultus dan Pemalsuan Nasab
Ulama besar Ahlussunnah seperti Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin menyatakan bahwa kehormatan seseorang tidak terletak pada nasab, tapi pada ilmu, amal, dan akhlaknya. Bahkan Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA pernah berkata, “An-nāsu min âdami ilâ âbîhim wa ummâhum sawâun” — “Manusia dari Adam hingga ayah dan ibunya adalah sama.”
Kultus terhadap garis keturunan, terlebih jika didasarkan pada klaim yang tidak bisa diverifikasi secara ilmiah maupun syar’i, berpotensi besar menjadi fitnah bagi umat. Ulama filolog seperti Prof. Dr. Manachem Ali, dan peneliti DNA seperti Dr. Sugeng Sugiarto telah menunjukkan bahwa banyak klaim nasab kepada Nabi SAW tidak bisa dibuktikan baik secara historis, filologis, maupun genetik. KH Imaduddin Utsman al Bantani dalam tesisnya yang ditulis dengan pendekatan multidisipliner bahkan membongkar bahwa klaim keturunan dari Ba’alwi melalui Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir tidak memiliki bukti yang valid dari sumber-sumber primer abad ke-4 H.
Dengan demikian, kewaspadaan umat terhadap manipulasi nasab adalah bagian dari menjaga kemurnian ajaran Islam. Seorang tokoh boleh dihormati karena ilmunya, tetapi tidak boleh diposisikan bak nabi atau makhluk suci yang bebas dari kritik
—
Perbudakan Spiritual dan Keuntungan Politik-Ekonomi
Tak bisa disangkal bahwa ada keuntungan politik dan ekonomi dari berlangsungnya sistem perbudakan spiritual. Ketika sekelompok elite religius berhasil memonopoli narasi kesucian dan legitimasi keagamaan, mereka mendapat akses langsung terhadap sumber daya umat: pengaruh politik, kekuasaan sosial, dan aliran dana publik. Dalam hal ini, para muhibbin berperan sebagai “pasukan” yang mendukung tanpa reserve, menjustifikasi apapun tindakan para tokohnya meski bertentangan dengan nilai-nilai agama dan akal sehat.
Dalam sejarah Islam klasik, para ulama mujtahid seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, hingga Imam Al-Nawawi berdiri sebagai pembela keadilan dan penjaga kebebasan berpikir dalam Islam. Mereka menolak dikendalikan oleh penguasa dan menolak segala bentuk penindasan — termasuk perbudakan spiritual. Ulama sejati tidak menciptakan kultus, melainkan membebaskan umat dari kebodohan dan kemusyrikan gaya baru.
—
Penutup: Seruan untuk Para Ulama dan Kiai Aswaja
Sudah saatnya para ulama dan kiai Ahlussunnah wal Jama’ah mengambil peran aktif untuk membebaskan umat dari perbudakan spiritual. Jika para ulama diam dan memilih netral, maka ruang publik akan terus dipenuhi oleh suara-suara kultus dan manipulasi sejarah. Literasi agama harus dikuatkan, kajian kritis terhadap nasab dan sejarah perlu dibuka seluas-luasnya, dan umat harus diajak untuk mencintai Rasulullah SAW berdasarkan ilmu, bukan mitos dan kepentingan elite.
Sebagaimana sabda Nabi SAW: “Ad-dīn an-naṣīḥah” — “Agama adalah nasihat.” (HR. Muslim). Maka, nasihat terbesar hari ini adalah menyelamatkan umat dari jebakan taklid buta, terutama dalam hal yang menyangkut kebenaran sejarah dan warisan Rasulullah SAW.
Wallāhu A‘lam biṣ-Ṣawāb.
—