Narasi dan Strategi Klaim Keturunan: Kajian Kritis terhadap Pengaruh Klan Ba’alwi dalam Sejarah Islam Nusantara

*Narasi dan Strategi Klaim Keturunan: Kajian Kritis terhadap Pengaruh Klan Ba’alwi dalam Sejarah Islam Nusantara*

 

Dalam kajian sejarah dan nasab yang berkembang belakangan ini, sejumlah pengamat dan peneliti mengangkat persoalan klaim nasab terhadap Walisongo yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu, khususnya yang mengaitkan seluruh Walisongo dengan jalur Ba’alwi melalui Azmatkhan dari India. Narasi ini dianggap oleh sebagian kalangan sebagai bentuk rekonstruksi sejarah yang problematik dan perlu diuji secara ilmiah dan kritis.

Berikut beberapa pola yang ditengarai terjadi:

*1. Klaim Genealogis Tunggal*

Munculnya narasi bahwa seluruh tokoh Walisongo berasal dari jalur nasab Ba’alwi/Azmatkhan. Klaim ini diangkat tanpa dukungan dokumen silsilah yang autentik dari abad ke-15—masa hidup Walisongo.

 

*2. Isu Kemandulan Keturunan Walisongo*

Dalam narasi yang beredar, disebutkan bahwa Walisongo tidak memiliki keturunan laki-laki atau keturunannya telah musnah. Klaim ini menyisakan pertanyaan besar, sebab dalam tradisi masyarakat Jawa dan dokumentasi lokal, banyak keluarga yang secara turun-temurun menjaga silsilah mereka sebagai keturunan para wali.

 

*3. Peniadaan Keturunan Azmatkhan Lokal*

Dinyatakan bahwa keturunan Azmatkhan di Nusantara tidak dapat dibuktikan karena tidak tercatat selama lebih dari 500 tahun. Ini menjadi dasar untuk menggugurkan legitimasi keluarga-keluarga lokal yang menyimpan warisan kultural dan spiritual dari para wali.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

*4. Rekonstruksi Situs Makam*

Beberapa pengamat menyebut adanya upaya rekonstruksi makam-makam kuno dan pengubahan narasi sejarah lokal—di mana nama-nama leluhur pribumi diubah menjadi bagian dari keluarga besar Ba’alwi, yang secara faktual tidak bisa dibuktikan melalui data kontemporer masa itu.

 

*5. Penguatan Pengaruh Keagamaan*

Setelah posisi historis Walisongo diposisikan sebagai “tanpa keturunan,” sebagian pihak kemudian memosisikan diri sebagai representasi utama keagamaan di Nusantara.

 

*6. Potensi Ekspansi Sosial dan Politik*

Dalam beberapa narasi, disebutkan bahwa upaya penguatan posisi sosial-keagamaan ini bisa mengarah pada ekspansi pengaruh yang lebih luas, termasuk ke ranah sosial-politik.

Namun, arus tandingan terhadap klaim tersebut mulai menguat sejak munculnya penelitian dari KH Imaduddin Utsman al Bantani. Penelitian ini menyimpulkan bahwa klaim sebagian pihak dari Klan Ba’alwi sebagai dzurriyah Nabi Muhammad SAW tidak dapat dibuktikan secara historis maupun genetik. Dalam kajiannya, disebutkan bahwa haplogroup G yang ditemukan pada sebagian besar yang mengklaim keturunan Ba’alwi, berbeda dengan haplogroup J1 yang secara ilmiah dikaitkan dengan keturunan Nabi Muhammad SAW—sebagaimana didukung oleh riset Prof. Dr. Michael Hammer (University of Arizona) dan Dr. Firasat (Pakistan).

Sebaliknya, keturunan Walisongo yang banyak berasal dari lokal Jawa atau hasil pernikahan silang antar bangsawan dan ulama, justru memiliki warisan spiritual yang kuat dan dekat dengan masyarakat. Hal ini juga terlihat dari sambutan masyarakat terhadap keturunan mereka, baik secara budaya maupun dalam konteks perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Sebagai tonggak penting, pada 18 Mei 2025 di Pondok Pesantren Al Hasaniyah, Brebes, ditandatangani nota kesepahaman antara NAAT Indonesia, Naqobah Pakistan, dan Naqobah Maroko. Dalam perjanjian ini disepakati bahwa nasab Walisongo tidak berasal dari Klan Ba’alwi, melainkan dari jalur Sayyid lokal dan jalur murni Azmatkhan yang tidak berafiliasi ke Ba’alwi Hadramaut.

Sejumlah analis menilai bahwa narasi klaim sepihak atas tokoh sejarah Nusantara ini—jika tidak dikritisi secara ilmiah—berpotensi menjadi alat hegemoni spiritual dan politik yang justru menjauhkan umat dari semangat perjuangan asli para wali, yang lekat dengan nilai kerakyatan dan perlawanan terhadap kolonialisme.

Dalam konteks ini, kajian sejarah, filologi, dan genetika menjadi alat penting untuk mengungkap kembali narasi asli bangsa, agar sejarah Indonesia tidak ditulis berdasarkan kepentingan klan tertentu, tetapi berdiri tegak di atas kebenaran ilmiah dan integritas intelektual.

 

Wa Allahu A’lam.




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *