*“Analisis Historis terhadap Peran Sosial-Budaya Klan Ba’alwi di Nusantara”*
Kritik terhadap Klan Ba’alwi kerap dibalas dengan tudingan kejam: “komunis”, “Wahabi”, atau bahkan dianggap sebagai ancaman bagi Islam. Pola ini bukan hal baru, melainkan bagian dari narasi lama yang terus dipelihara. Ketika tidak mampu menyajikan argumentasi ilmiah di ruang publik, serangan personal dan fitnah dijadikan tameng utama.
Di masa lalu, pertentangan terjadi antara Klan Ba’alwi dan kelompok Irsyadi, sesama keturunan Arab non-Ba’alwi di Indonesia. Perselisihan ini mencuat dalam perdebatan fikih, terutama dalam bab kafaah—kesetaraan dalam pernikahan. Karena kalah argumen, pihak Ba’alwi justru melabeli lawannya sebagai “Wahabi.” Sebuah taktik yang kerap diulang: menutupi kelemahan dengan stigma.
Lebih jauh, sejarah mencatat adanya fatwa dari Mufti Batavia, Habib Utsman bin Yahya, yang menyatakan bahwa lelaki non-sayyid haram menikahi perempuan Ba’alwi. Bahkan tindakan itu dianggap sebagai perbuatan zina. Kontroversi itu dibalas kelompok Irsyadi dengan dalil dan kajian ilmiah. Sayangnya, Klan Ba’alwi justru memilih membalasnya dengan propaganda dan pencemaran nama baik.
Kini, di era keterbukaan informasi, masyarakat mulai bertanya: apakah benar Klan Ba’alwi adalah dzurriyah (keturunan) Nabi Muhammad SAW? Alih-alih menjawab dengan data dan bukti, sebagian dari mereka justru membalas dengan ancaman, intimidasi, bahkan persekusi terhadap mereka yang bersuara kritis.
Salah satu tokoh yang membuka diskursus ini secara akademik adalah *KH Imaduddin Utsman al-Bantani*. Melalui riset berbasis sejarah, filologi, dan genetika, beliau menggugat keabsahan nasab Klan Ba’alwi. Hasilnya mencengangkan: ditemukan indikasi pencangkokan nasab, penyimpangan akidah, dan gerakan politik tersembunyi yang menyusup ke tubuh organisasi Islam warisan ulama pribumi.
Tujuan akhirnya tidak sederhana. Banyak yang meyakini bahwa gerakan ini bertujuan membangkitkan kembali semangat *Neo-Daulah Fatimiyah*—sebuah rezim masa lalu di Mesir yang berpaham Syi’ah Ismailiyah dan dikenal kejam terhadap kaum Sunni. Dalam sejarah, Daulah ini akhirnya dihancurkan oleh Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi atas perintah langsung *Syekh Abdul Qadir al-Jailani*, tokoh sufi Sunni terkemuka.
Setelah kehancurannya, sisa-sisa ideologi itu bertransformasi, menyusup ke dalam dunia tasawuf dan membaur dengan kaum Muslim di berbagai wilayah, termasuk Nusantara. Banyak yang tidak sadar bahwa ajaran-ajaran yang mereka ikuti berasal dari warisan politik dan spiritual yang telah lama ditolak oleh arus utama Islam.
Pertanyaannya kini: *Apakah kita akan terus diam, membiarkan masa depan generasi kita dikaburkan oleh sejarah yang dipalsukan dan ideologi yang menyesatkan?*
WaAllahu a’lam.