*Menggugat Penggunaan Atribut BANSER oleh Kalangan Habaib: Sebuah Refleksi atas Sejarah dan Perjuangan bangsa Indonesia*
(dikutip dari tulisan santri kauman Pemalang)
*Identitas yang Terkoyak: Penggunaan Atribut BANSER Tanpa Konteks*
Dalam beberapa tahun terakhir, publik sering disuguhkan dengan dinamika yang pelik dalam hubungan antara kalangan Habaib dan organisasi-organisasi Islam di Indonesia, termasuk Nahdlatul Ulama (NU) dan Banser. Salah satu peristiwa yang baru-baru ini mencuat adalah ketika kelompok eks FPI di Pemalang berencana menggelar pengajian umum, sekaligus haul Pangeran Benowo, yang semula dijadwalkan akan dihadiri oleh Habib Rizieq Syihab. Namun, setelah beredarnya penolakan dari berbagai kalangan, acara ini pun berganti wajah, tanpa kehadiran HRS dan digantikan dengan Habaib lain.
Pada saat yang bersamaan, panitia acara ini merilis flayer yang sebelumnya memuat foto HRS, namun kemudian diubah dengan gambar para Habaib Pemalang. Publik pun mulai bertanya-tanya, mengapa sebuah acara yang sejatinya bernuansa keislaman ini dibalut dengan segala kerumitan politik, bahkan menyentuh isu yang lebih sensitif: hubungan antar kelompok agama dan golongan di dalam Indonesia. Ketika kami mencoba bertanya melalui sebuah postingan, kami mendapatkan reaksi dari salah satu Habaib yang akhirnya datang langsung ke rumah kami, dengan niat yang disebut sebagai “nganjabi.” Meskipun niat itu tidak bisa kami terima, namun kami tetap menjunjung tinggi ajaran Kanjeng Nabi, yang mengajarkan untuk menghormati tamu.
Namun, persoalannya bukan sekadar soal niat atau tamu yang datang, tetapi bagaimana kita memahami identitas yang sebenarnya. Dari siapa sebenarnya kita belajar akhlak dan adab? Jangan ajari kami sopan santun, karena kami sudah mempelajarinya dari para Kyai dan Guru kami yang selalu meneladankan akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari.
*Sejarah Kyai Makmur dan Haul Pagaran*
Acara haul di pagaran yang digelar setiap tahun di Pemalang ternyata lebih dari sekadar mengenang seorang tokoh. Di balik pelaksanaannya, terdapat banyak dinamika yang perlu dicermati. Pertama, meskipun panggung sudah digeser untuk tidak berada tepat di atas makam, penempatan panggung yang masih berada dalam kompleks makam menunjukkan ketidaksediaan pihak penyelenggara untuk menerima masukan masyarakat.
Selain itu, kami juga merasa perlu bertanya: Apa kontribusi nyata Habib Sholeh Assegaff terhadap peradaban Kabupaten Pemalang? Kontribusi semacam ini sangat penting, apalagi jika acara ini melibatkan berbagai elemen masyarakat, termasuk NU dan banom-banomnya. Namun, yang lebih penting adalah kenyataan bahwa kalangan Habaib sering kali mengklaim dirinya sebagai bagian dari arus utama Islam Indonesia, meskipun dalam kenyataannya, mereka lebih memilih jalan yang berbeda
Sebelum melangkah lebih jauh, penting untuk diingat bahwa kompleks makam Pagaran di Pemalang bukan sekadar situs sejarah biasa. Di sanalah terbaring Kyai Makmur, seorang pahlawan nasional yang gugur di tangan penjajah Belanda pada 14 Oktober 1947. Kyai Makmur bukan hanya seorang ulama, tetapi juga seorang pejuang kemerdekaan yang tegas menolak agresi militer Belanda. Keberaniannya memimpin pasukan Laskar Hizbullah-Sabilillah untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia menjadikannya tokoh yang dikenang hingga saat ini.
Kyai Makmur dilahirkan di Desa Pelutan, Pemalang, pada 1906. Ia menghabiskan sebagian besar hidupnya menuntut ilmu agama di berbagai pesantren besar, seperti Pesantren Godong di Purwodadi dan Pesantren Jamsaren di Solo, hingga akhirnya membuka pondok pesantren salafiah di Pemalang. Kiprahnya sebagai pemimpin pasukan dan Bupati Pemalang yang ditunjuk oleh rakyat pada 1946 menunjukkan dedikasinya terhadap perjuangan kemerdekaan. Namun, akibat perbedaan pandangan politik dan penolakan terhadap Belanda, Kyai Makmur dijatuhi hukuman mati. Ia akhirnya ditembak mati bersama adiknya oleh pasukan Belanda di Jalan Raya Pantura, tempat yang kini menjadi saksi bisu perjuangannya. Mereka dimakamkan di TPU Pagaran Pemalang, yang kini menjadi tempat peringatan perjuangan besar seorang ulama.
Berdasarkan sejarah ini, Haul Pagaran seharusnya menjadi momen untuk mengenang jasa Kyai Makmur, yang bukan hanya seorang ulama, tetapi juga pahlawan kemerdekaan yang berjuang untuk tanah air. Namun, kenyataannya justru terjadi pergulatan ideologi yang menyimpang, dengan munculnya keterlibatan kalangan habaib yang tidak jarang terlibat dalam polemik politik.
Link mengenai kyai makmur:
*Kontroversi Penggunaan Atribut BANSER*
Penulis ingin menyoroti bahwa penggunaan atribut BANSER, sebuah organisasi yang identitasnya sangat erat dengan Nahdlatul Ulama (NU), oleh kalangan habaib, terutama yang terlibat dalam majelis atau acara yang menyimpang dari ajaran luhur NU, menjadi perdebatan serius. BANSER, dengan komitmen untuk menjaga dan mengawal para kyai NU serta menjaga NKRI, tentunya harus menjaga prinsip-prinsip luhur yang telah menjadi bagian dari identitas mereka.
Bagaimana mungkin atribut BANSER digunakan untuk mengawal kelompok yang secara terang-terangan menghina para kyai NU dan menyebarkan narasi yang membelokkan sejarah bangsa? Bukankah sudah saatnya kita merenungkan apakah kita masih ingin melihat atribut BANSER digunakan oleh mereka yang justru merusak persatuan dan kesatuan umat?
Sebagai bagian dari NU, BANSER memiliki tugas mulia yang tak dapat diserahkan begitu saja kepada siapa pun yang tidak menghargai perjuangan para kyai dan sejarah bangsa. Penggunaan atribut BANSER oleh kalangan habaib yang sering kali merendahkan martabat kyai NU dan mencaci maki tokoh-tokoh nasional seperti Gus Dur dan Kyai Ma’ruf Amin adalah tindakan yang tak seharusnya dibiarkan. Begitu pula dengan pernyataan-pernyataan yang menghina, seperti yang disampaikan oleh Habib Taufiq Assegaff yang mengatakan bahwa Gus Dur itu “buta mata dan buta hati.”
Apakah ini mencerminkan nilai-nilai yang diajarkan oleh para kyai NU? Apakah ini menjadi contoh perilaku yang seharusnya diikuti oleh para kader BANSER? Sebagai organisasi yang mengemban amanah besar, sudah saatnya BANSER bertanya pada diri sendiri: Apakah kita ingin terus mendukung mereka yang merusak citra ulama dan merusak kehormatan bangsa ini?
*Kesadaran Sejarah dan Tanggung Jawab Moral*
Saat ini, saatnya kita mempertanyakan kembali siapa yang sebenarnya pantas untuk mendapat dukungan kita. Apakah kita ingin melanjutkan untuk mendukung mereka yang merusak sejarah bangsa dan mempermainkan perjuangan para pahlawan nasional seperti Kyai Makmur? Apakah kita ingin mendiamkan penghinaan terhadap Gus Dur dan Kyai Ma’ruf Amin yang telah berjuang keras untuk memperjuangkan kemerdekaan dan menjaga keutuhan NKRI?
Sebagai bagian dari sejarah panjang perjuangan kemerdekaan Indonesia, Haul Pagaran di Pemalang seharusnya menjadi ajang refleksi untuk mengingat kembali perjuangan tokoh-tokoh besar seperti Kyai Makmur. Ia adalah simbol keberanian, keteguhan, dan pengabdian kepada tanah air. Keberadaannya di makam Pagaran bukan hanya sebagai bentuk penghormatan kepada seorang ulama, tetapi juga sebagai pahlawan nasional yang telah memberikan hidupnya untuk Indonesia.
*Ente Jual, Ana Borong Semuanya*
Menjaga Indonesia adalah tugas kita bersama. Namun, apakah kita bisa membiarkan atribut BANSER, simbol perjuangan dan penjagaan terhadap ulama, digunakan oleh mereka yang tidak pantas untuk menghadapinya? Mari kita bangun kesadaran kolektif untuk menjaga kehormatan para kyai, menghargai sejarah bangsa, dan memastikan bahwa kita tidak membiarkan siapa pun, apalagi mereka yang merusak integritas negara, untuk memanfaatkan simbol perjuangan kita demi kepentingan pribadi mereka.
Sudah saatnya kita berkata, *”Ente jual, Ana borong semuanya!”*