Argumentasi Ilmiah: Mengapa Riwayat Al-Sakhawi Tidak Bisa Dijadikan Hujjah Nasab Ba’alwi

*Argumentasi Ilmiah: Mengapa Riwayat Al-Sakhawi Tidak Bisa Dijadikan Hujjah Nasab Ba’alwi*

 

Imam al-Sakhawi (w. 902 H), dalam karya terkenalnya al-Daw’ al-Lami’ li Ahl al-Qarn al-Tasi’, mencatat banyak biografi ulama yang hidup pada abad ke-9 Hijriah. Salah satu tokoh yang ia catat adalah Abdullah bin Muhammad Ba’alwi. Dalam biografi tersebut, al-Sakhawi menyebutkan secara lengkap silsilah Abdullah hingga ke Ahmad bin Isa al-Muhajir, dan bahkan sampai ke Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Namun, apakah catatan tersebut dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan kebenaran nasab Ba’alwi?

 

*1. Silsilah Itu Disampaikan Langsung oleh Tokohnya Sendiri, Bukan Diriwayatkan dari Kitab Nasab*

Teks dari al-Sakhawi menjelaskan bahwa keterangan tentang nasab tersebut bersumber langsung dari pengakuan Abdullah bin Muhammad Ba’alwi sendiri. Hal ini dibuktikan dengan frasa penting yang ditulis oleh al-Sakhawi:

“قال إنه رحل…”
(“Ia [Abdullah] berkata bahwa ia melakukan perjalanan…”)

Ini adalah bentuk riwayah syakhshiyyah (kesaksian langsung dari tokoh terhadap dirinya sendiri), bukan penelitian nasab berbasis sumber literatur klasik yang sahih atau dokumentasi nasab terdahulu. Artinya, al-Sakhawi hanya mencatat cerita hidup dan silsilah yang diklaim oleh Abdullah sendiri, tanpa menyebutkan bahwa ia meneliti atau menguji validitas klaim tersebut dengan standar ilmu nasab.

 

*2. Al-Sakhawi Tidak Menunjukkan Rujukan Kitab Nasab Otoritatif*

Dalam pencatatan nasab, ulama klasik seperti Ibn Hazm, al-Baladhuri, dan Ibn al-Kalbi sangat teliti dalam menyebutkan sanad nasab dan rujukan tertulis atau riwayat yang disepakati. Namun, al-Sakhawi dalam kasus Abdullah bin Muhammad Ba’alwi tidak menyebutkan rujukan apa pun dari kitab nasab terdahulu, misalnya dari kitab ‘Uqud al-Lujain, al-Mashbah, atau karya ahli nasab lain yang valid. Maka, pencatatan al-Sakhawi lebih merupakan biografi naratif, bukan verifikasi nasab.

 

*3. Riwayat Serupa Ditulis Berdasarkan Hubungan Personal, Bukan Verifikasi Akademik*

Al-Sakhawi dikenal menjalin hubungan dengan sejumlah tokoh Ba’alwi yang tinggal di Makkah pada akhir hayatnya, seperti Umar bin Abdurrahman Sahibul Hamra dan Abdullah bin Muhammad Ba’alwi. Bahkan, Umar meminta al-Sakhawi untuk memberikan ijazah atas tulisannya mengenai karamat gurunya, Abdullah bin Abi Bakr al-Idrus. Keterlibatan emosional dan relasi personal ini membuat al-Sakhawi lebih bersifat pencatat narasi tokoh daripada seorang muhaqqiq nasab (peneliti yang memverifikasi kebenaran garis keturunan).

 

*4. Al-Sakhawi Tidak Menggunakan Istilah “Tsabat Nasab” atau “Itbat Nasab”*

Dalam tradisi ilmu nasab, ketika seorang ulama menetapkan kebenaran nasab, biasanya digunakan istilah seperti tsabat nasabuhu, itsbat nasabihi, atau semacamnya. Dalam seluruh penjelasan tentang Abdullah bin Muhammad Ba’alwi maupun Umar bin Abdurrahman, tidak ditemukan frasa tersebut. Maka, al-Sakhawi tidak sedang menguatkan atau menetapkan kebenaran nasab, tetapi hanya mencatat riwayat hidup berdasarkan kesaksian mereka.

 

*5. Penggunaan Nama “Al-Husayni” Tidak Otomatis Menunjukkan Validitas Nasab*

Dalam kutipan al-Sakhawi, disebut bahwa Abdullah adalah:

“الْحُسَيْنِي الْحَضْرَمِيّ ثمَّ الْمَكِّيّ…”

Sebutan “al-Husayni” yang dilekatkan bukan merupakan penetapan resmi dari al-Sakhawi, tetapi bagian dari klaim Abdullah sendiri. Ini biasa terjadi di banyak wilayah Muslim, di mana orang menisbatkan diri kepada Ahlul Bait tanpa adanya verifikasi nasab yang sah. Penggunaan nisbah semacam ini tidak bisa menjadi dasar kebenaran nasab tanpa bukti pendukung yang sahih dan objektif.

 

*Kesimpulan*

Pencatatan nasab Ba’alwi oleh Imam al-Sakhawi dalam al-Daw’ al-Lami’:

  • Tidak bersumber dari literatur ilmu nasab yang sahih.
  • Berdasarkan pengakuan langsung dari tokoh-tokoh Ba’alwi yang hidup bersamanya di Makkah.
  • Tidak menunjukkan upaya verifikasi, telaah, atau pembandingan sumber-sumber nasab terdahulu.
  • Tidak menggunakan istilah teknis yang menunjukkan proses pengesahan (itsbat nasab).
  • Lebih bersifat naratif-biografis ketimbang ilmiah-genealogis.

Maka, riwayat al-Sakhawi ini tidak bisa dijadikan hujjah ilmiah atau otoritatif dalam menetapkan kebenaran nasab Klan Ba’alwi sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. Ia hanya mencatat apa yang ia dengar dari tokoh yang bersangkutan — tanpa verifikasi, tanpa analisis, tanpa sumber valid.

 




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *