*Doktrinisasi Kafa’ah (ajaran klan ba’alwi) Warisan Belanda*
Oleh : Husni Mubarok Al Qudusi
Habaib Klan Ba’alwi keturunan imigran asal Tarim Hadramaut Yaman yang hidup di Indonesia banyak menyebarkan pemahaman-pemahaman yang hampir semuanya sesat dan menyesatkan.
Salah satunya pemahaman, syarifah lebih baik berzina dengan non sayyid daripada menikah dengan non sayyid, karena kalau berzina maka anaknya tidak putus nasab pada Rasulullah SAW, karena anak zina itu bernasab pada ibunya, kalau anak sah itu bernasab pada ayahnya.
Banyak Habaib yang mengklaim bahwa kafaah nasab atau syarifah tidak boleh menikah dengan non sayyid adalah kesepakatan semua keluarga Klan Ba’alwi. Hal ini bertentangan dengan fakta. Di Hadramaut sendiri, ketatnya masalah kafaah hanya terjadi di kota Tarim saja.
Berkatalah Habib Ali bin Muhsin Assegaf: Kakek saya (Habib Abdurrahman bin Ubaidillah Assegaf) mendapat cerita dari Sayyid Yusuf bin Abid, bahwa Sayyid Abdurramah bin Syihab (yang tinggal di Tarim) mengirim seorang syarifah –yang wali nikahnya sedang pergi jauh– pada Sayyid Yusuf (yang tinggal di luar Tarim), agar habib Yusuf menikahkan syarifah itu dengan seorang lelaki dari keluarga Bahanan (bukan sayyid). Maka beliau pun menikahkannya. Tidaklah akad pernikahan itu dioper pada Sayyid Yusuf kecuali karena Sayyid Abdurrahman bin Syihab takut ditegur oleh para sayyid di Tarim (Baca Al-Istizadah, hlm. 1.371).
Ketika di Nusantara raya (Indonesia, Malaysia dan Singapura) ada ribut imigran Yaman antara Klan Ba’alwi dan non Ba’alwi gara-gara ada seorang India menikahi Hubabah perempuan dari Klan Ba’alwi, datanglah fatwa dari dua ulama besar di Hadramaut. Yang pertama dari Qadhi Siwun bernama Habib Alwi bin Abdurrahman Assegaf, dan yang kedua dari Habib Abdurrahman bin Ubaidillah Assegaf yang merupakan mufti provinsi Hadramaut.
Kedua fatwa itu membolehkan syarifah menikah dengan non sayyid. Terkait fatwa itu, Habib Abdurrahman bin Ubaidillah Assegaf berkata:
وبمثل ذلك أفتيت أنا في سنة 1.358 هـ بشأن رجل جاء من الهند وتزوج بشريفة برضاها من وليها مستندا في ذلك قول المنهاج وشروحه ، ولو أذنت في تزويجها بمن ظنته كفؤا فظهر بعد ذلك فسقه أودناءة نسبه أو حرفته فلا خيار لها لتقصيرها بترك البحث .. ورفعت فتواي لكثير من أهل العلم ومنهم إنسان عين تريم لذلك العهد السيد عبد الله بن عمر الشاطري فلم يقدح فيها أحد وأمضي الكاح إلى اليوم (حال تأليف الكتاب 1366 هـ)
“Dan seperti itu juga saya berfatwa pada tahun 1.358 H, tentang seorang lelaki yang datang dari India dan menikahi sorang syarifah dengan keridhaannya dari walinya, berdasarkan pendapat kitab Al-Minhaj dan kitab-kitab syarahnya. Dan seandainya seorang syarifah telah mengizinkan (walinya) untuk menikahkannya dengan lelaki yang ia kira sepadan, kemudian nampaklah (setelah akad nikah) bahwa suaminya itu adalah orang fasiq atau rendah nasabnya atau (rendah) pekerjaannya, maka syarifah itu tidak punya pilihan lagi (untuk menggagalkan pernikahannya), karena dia sendiri yang sembrono dengan tidak meneliti (sebelum pernikahan)… Sayapun memperlihatkan fatwa saya itu pada banyak ulama’, diantaranya adalah ulama yang paling agung pada zaman itu di kota Tarim, yaitu Habib Abdullah bin Umar Asy-Syathiri. Tidak seorangpun dari mereka yang menolak fatwa saya. Pernikahan (orang India dengan syarifah) itupun berlanjut hingga kini (saat menulis kitab itu tahun 1.366 H.)”.
Lalu kenapa Klan Ba’alwi yang hidup di Indonesia sangat kompak berpegang teguh pada pendapat yang tidak membolehkan syarifah menikah dengan non sayyid, sementara di Hadramaut sendiri dianggap masalah khilafiyah? Sampai-sampai Habib Ali bin Muhsin Assegaf berkata:
كما أن من المستغرب حصر الاهتمام بفتوى السيد عمر العطاس مع أنه لا يأتي في مرتبة العلماء الأعلام بحضرموت الذين أفتوا بما ينقض فتواه من أساسها..
“Sebagaimana termasuk yang aneh, adalah bahwa mereka hanya peduli dengan fatwa Sayyid Umar Alatas (Singapura), padahal beliau dibawah level para ulama’ besar Hadramaut yang telah berfatwa menentang fatwa beliau mulai dari dasarnya.” (Baca Al-Istizadah, hlm. 1.391).
Bahkan yang lebih dahsyat lagi adalah yang diceritakan oleh Habib Ali bin Muhsin Assegaf:
ومن الطريف ما ذكره الجد ابن عبيد الله بأنه بذلت له مئتا ريال وهو مبلغ كبير في ذلك العهد بواسطة الشيخ سالم بن محمد الخطيب ليفتي ببطلان العقد فلم يوافق الجد على مخالفة الشرع لأجل مصلحة
“Dan termasuk yang lucu adalah apa yang diceritakan kakek saya, Habib Abdurrahman bin Ubaidillah Assegaf, bahwa beliau pernah diberi uang (sogokan) sebesar 200 reyal, nilai uang yang sangat besar ketika itu, uang itu diberikan melalui Syekh Salim bin Muhammad Al-Khatib, agar Habib Abdurrahman berfatwa tidak sah syarifah menikah dengan non sayyid. Namun beliau menolak, beliau tidak mau melanggar syari’at demi sebuah kepentingan” (Baca Al-Istizadah, hlm. 1.371).
Sejumlah fakta yang diceritakan oleh kitab Al-Istizadah itu jelas-jelas membantah klaim bahwa pendapat Habib Utsman bin Yahya yang menyatakah haram non sayyid menikahi syarifah adalah pendapat yang disepakati oleh ulama Klan Ba’alwi sedunia, alih-alih ahlulbait sedunia.
Maka menvonis non sayyid yang menikah dengan syarifah sebagai orang yang tidak beradab pada Rasulullah SAW, sebenarnya itu hanya bualan saja. Namun kalau bualan ini dijadikan dasar untuk menghukumi setiap non sayyid yang menikahi syarifah, maka jelas ini adalah pemahaman sesat.
Ini bertentangan dengan fakta bahwa leluhur ahlulbait sendiri yang pernah menikahkan putri-putri mereka dengan non ahlulbait. Setidaknya saya tulis 10 nama ini saja sebagai bukti:
1. Ruqayyah binti Sayyidina Muhammad, menikah dengan Utsman bin Affan.
2. Ummu Kultsum binti Sayyidina Muhammad, menikah dengan Utsman bin Affan.
3. Zainab binti Sayyidina Muhammad, menikah dengan Abul ‘Ash.
4. Ummu Kultsum binti Fathimah binti Sayyidina Muhammad, menikah dengan Umar bin Al-Khatthab.
5. Sukainah binti Husain bin Fathimah binti Sayyidina Muhammad, menikah dengan Zaid bin Umar bin Utsman bin Affan.
6. Fathimah binti Husain bin Fathimah binti Sayyidina Muhammad, menikah dengan Abdullah bin Amr bin Utsman bin Affan.
7. Fathimah binti Ali Zainal Abidin bin Husain bin Fathimah binti Sayyidina Muhammad, menikah dengan Al-Mundzir bin Zubair bin Al-Awam.
8. ‘Idah binti Ali Zainal Abidin bin Husain bin Fathimah binti Sayyidina Muhammad, menikah dengan Nuh bin Ibrahim bin Muhammad bin Thalhah.
9. Fathimah binti Hasan Al-Mutsanna bin Hasan bin Fathimah binti Sayyidina Muhammad, menikah dengan Ayyub bin Maslamah Al-Makhzumi.
10. Ummul Qasim binti Hasan Al-Mutsanna bin Hasan bin Fathimah binti Sayyidina Muhammad, menikah dengan Marwan bin Aban bin Utsman bin Affan.
Terkait pernikahan Sayyidina Utsman dengan dua putri Rasululullah SAW, Habaib Klan Ba’alwi yang hidup di Indonesia biasanya berkata: “Itu adalah khushushiyah, Rasulullah SAW bisa menikahkan siapapun dengan siapapun. Selain itu, wanita Ahlulbait tidak boleh menikah dengan pria non ahlulbait”.
Dengan demikian berarti, menurut mereka, Sayyidina Ali bin Abi Thalib telah durhaka karena menikahkan seorang putrinya dengan Sayyidina Umar bin Al-Khatthab. Keluarga Sayyidina Ali Zainal Abidin bin Husain juga telah durhaka empat kali karena menikahkan dua orang putrinya dan dua orang saudarinya dengan non ahlulbait. Demikian juga keluarga Sayyidina Hasan Al-Mutsanna telah durhaka dua kali karena menikahkan dua orang putrinya dengan non ahlulbait.
Kita bisa menyimpulkan bahwa kebanyakan Habaib Klan Ba’alwi yang hijrah ke Indonesia itu memang berbeda sekali dengan Ba’alwi yang sejak awal bertahan di Hadramaut.
Mereka berani mencaci ulama Habaib Hadramaut demi mempertahankan pendapat yang lemah ini, bahkan demi pendapat yang lemah ini mereka mengorbankan persaudaraan dengan sesama imigran Yaman yang non Ba’alwi; bertikai fisik dan saling caci di media sehingga membuat malu bangsa Arab di negara-negara Arab, bahkan mengeluarkan banyak biaya untuk perang opini.
Maka atas keanehan itu kemudian muncul pertanyaan, ada apa dibalik semua ini? Kemudian menemukan jawabannya setelah membaca sejarah mereka dalam kitab Al-Istizadah.
Ceritanya, pemerintah kolonial Belanda membuat peraturan bahwa imigran Yaman tidak boleh menikah dengan pribumi dan tidak boleh berpakaian dengan pakaian pribumi. (Baca Al-Istizadah, hlm. 1.351)
Rupanya Belanda khawatir imigran Yaman akan simpati dan mendukung perjuangan pribumi kalau menjadi besan atau menantu pribumi.
Adalah Snouck Hurgronje sebagai orang yang berinisiatif mengangkat masalah kafaah ini untuk mendukung peraturan Belanda itu. Snouck Hurgronje adalah orientalis bayaran Belanda yang pakar dalam keilmuan dan sejarah Islam. Pasti dia tahu bahwa di kalangan Habaib Klan Ba’alwi ada yang fanatik soal kafaah.
Dia pun memanfaatkan itu untuk mendukung peraturan pemerintah kolonial Belanda, karena dengan fatwa Habib Utsman itu, setengah target peraturan Belanda terpenuhi, setidaknya untuk kalangan Habaib Klan Ba’alwi, yaitu Hubabah perempuan dari Klan Ba’alwi tidak berani menikah dengan pribumi karena bertentangan dengan fatwa dan bertentangan dengan peraturan Belanda.
Jadi, pihak kolonial Belanda memang patut dicurigai ada main didalam membesar-besarkan masalah kafa’ah nasab yang sebenarnya sepele ini, yakni masalah khilafiyah. Kecurigaan ini didukung dengan fakta bahwa ternyata imigran Yaman bukan hanya membuat keributan di Indonesia saja, melainkan juga membuat keributan di Afrika, India dan negara-negara jajahan Belanda lainnya. (Baca Al-Istizadah, hlm. 1.366)
Waallahu Alam