BAB 1: Menjawab Prolog Buku Hanif Alatas dkk: Menggugat Klaim Nasab Ba‘alwi
Buku ini diawali dengan mengutip pernyataan tanpa dasar dari Syekh Taqiyyudin al-Nabhani (w. 1350 H.) dalam kitabnya Riyadlul Jannah dan Al-Muhibbi dalam Khulatsah al-Atsar, yang menyatakan bahwa nasab klan Ba‘alwi adalah nasab yang paling sahih dan telah disepakati (ijma‘) oleh ulama. Namun, klaim ijma‘ tersebut sebenarnya hanya mengutip dari buku kaum Ba‘alwi sendiri, yaitu Al-Burqat al-Musyiqat karya Ali bin Abubakar al-Sakran (w. 895 H.). Ali bin Abubakar al-Sakran adalah orang pertama yang menyatakan bahwa nasab keluarganya tersambung kepada Nabi Muhammad SAW, dan ia juga yang mengklaim adanya ijma‘ tentang hal itu. Padahal, klaimnya itu tidak didukung oleh referensi kitab nasab mana pun.
Menurut kaidah para ahli nasab, ketika meneliti suatu nasab yang mencurigakan seperti nasab Ba‘alwi, tidak boleh menggunakan hujjah dan dalil dari kitab-kitab mereka kecuali ada penguat dari referensi lain. Hal ini ditegaskan oleh ahli nasab Abdul Majid al-Qaraja dalam kitabnya Al-Kafi al-Muntkhab, yang menyatakan bahwa pendapat seseorang tentang nasab tidak boleh diambil jika ada kepentingan pribadi, kecuali dikuatkan oleh ulama lain yang tidak berkepentingan.
Klaim bahwa Ba‘alwi adalah keturunan Nabi Muhammad SAW dan bahwa nasabnya telah diijma‘ pertama kali muncul secara formal dalam kitab Ba‘alwi sendiri, yaitu Al-Burqat al-Musyiqat. Sebelumnya, tidak ada kitab nasab yang menyatakan bahwa keluarga Abdurrahman Assegaf (Ba‘alwi) merupakan keturunan Nabi. Oleh karena itu, klaim Ali al-Sakran bahwa ia dan keluarganya merupakan keturunan Nabi tidak dapat diterima.
Hanif Alatas dkk. seharusnya memahami makna ijma dan rukun-rukunnya menurut para ulama sebelum mengutip pendapat Syekh al-Nabhani sebagai dalil. Klaim ijma‘ tentang nasab Ba‘alwi bertentangan dengan kenyataan bahwa nasab tersebut telah batal secara ilmiah. Bagaimana mungkin nasab yang telah batal kemudian disebut sebagai nasab yang telah diijma‘?
Definisi Ijma‘ dan Rukun-Rukunnya
Ijma‘ menurut para ulama adalah kesepakatan para ulama mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW terhadap suatu hukum syara‘. Definisi ini diungkapkan oleh Abdul Wahhab Khalaf dalam kitabnya Ushul al-Fiqh. Suatu hukum bisa disebut ijma‘ jika disepakati oleh seluruh ulama ahli ijtihad. Namun, nasab Ba‘alwi sejak awal kemunculannya di abad ke-9 hanya berdasarkan klaim mereka sendiri, tanpa dukungan dari kitab-kitab nasab yang sahih.
Salah satu rukun ijma‘ adalah kesepakatan itu harus terjadi sejak awal kemunculannya. Namun, nasab Ba‘alwi tidak pernah disebutkan dalam kitab-kitab nasab sebelum abad ke-9. Kitab-kitab nasab yang mencatat anak Ahmad bin Isa, seperti Al-Syajarah al-Mubarakah, hanya menyebutkan tiga anak: Muhammad, Ali, dan Husain. Tidak ada anak bernama Ubaid, yang menjadi klaim Ba‘alwi.
Kritik terhadap Klaim Ijma‘
Klaim ijma‘ dari Ali al-Sakran dan yang mengutipnya, seperti Al-Nabhani dan Al-Muhibbi, tidak dapat diterima. Bahkan, menurut Abdullah bin Ahmad bin Hambal, klaim ijma‘ tanpa dasar adalah dusta. Hanif Alatas dkk. juga perlu memahami bahwa tidak semua catatan nasab bisa dijadikan dalil. Kitab yang bisa digunakan sebagai rujukan dalam penelitian nasab haruslah kitab-kitab nasab yang sahih dan tidak bertentangan dengan kitab-kitab sebelumnya.
Kesimpulan
Prolog Hanif Alatas dkk. dalam bukunya menunjukkan kurangnya pemahaman tentang kaidah ilmu nasab. Klaim nasab Ba‘alwi sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW tidak memiliki dasar yang kuat dan telah dibantah oleh berbagai kitab nasab yang sahih. Buku ini akan mengungkap berbagai upaya dan skandal ilmiah yang dilakukan para penulis buku Keabsahan Nasab Ba‘alwi untuk mempertahankan klaim yang tidak berdasar tersebut. Nasab Ba‘alwi bukanlah keturunan Nabi Muhammad SAW, dan klaim mereka telah batal secara ilmiah.
Wallahu muwaffiqun ila aqwami thariqin.
Imaduddin Utsman Al-Bantani
Sumber : Buku ULAMA NUSANTARA MENGGUGAT NASAB PALSU
Jawaban KH. Imaduddin Utsman al-Bantani
terhadap Buku Hanif Alatas dkk