*Bukan Cinta Buta, Tapi Waras Data*
Oleh Redaksi Walisongobangkit.com
Dr. Muhammad Saeful Kurniawan menulis soal Manajemen Cinta — sebuah seruan normatif untuk bersatu, saling menghormati antara kubu pro Ba’alwi dan kubu pro Walisongo. Kedengarannya teduh dan menenangkan, semacam nasihat tengah yang tampak manis di bibir, tapi sayangnya luput menjawab soal pokok: *apa yang mau disatukan kalau dasar faktanya saja kabur?*
Bagaimana bisa kita diajak proporsional bila akar masalahnya justru tidak disentuh: *nasab Ba’alwi*. Sumber keributan ini bukan sekadar soal fanatisme buta atau perebutan massa muhibbin, melainkan klaim genealogis yang menempelkan diri pada silsilah Nabi Muhammad saw. Kalau silsilah ini sahih, silakan dihormati. Tapi kalau cacat, mau tidak mau harus diuji dengan standar akademik — bukan hanya romantisme sejarah atau ritual hormat kerbau Kiai Slamet.
Panggilan Habib memang sah-sah saja secara antropologis bagi orang Hadramaut, tapi pengakuan keturunan Nabi tidak bisa berhenti di “katanya”. Di era sains genetik, klaim seperti ini harus berani dibawa ke laboratorium, diverifikasi dengan *filogeni DNA*, dicocokkan dengan jalur Bani Ibrahim sesuai rekam silsilah kitab suci.
*Raja Jordan* dari Bani Qatada saja filogeninya rapi, haplogroup-nya nyambung, diuji population bottleneck sampai Nabi Ismail. Lah, Ba’alwi? Sering teriak mulia, tapi pas diajak test DNA malah main retorika cinta dan persatuan?
Kalau benar sahih, kenapa takut diuji? Kalau benar Alwiyin, tunjukkan pohon filogeni yang robust — kalau ada cabang nyasar, ya diakui dan dibersihkan.
Mencampur-baurkan kebanggaan silsilah dengan imbauan damai justru memburamkan persoalan. Seolah-olah semua wajib akur, padahal di balik narasi cinta ada label mulia yang jadi komoditas identitas.
Kritik keras pada Ba’alwi bukan sekadar kebencian. Ini kontrol publik agar gelar kehormatan tidak disalahgunakan jadi sarana bisnis status, menekan umat, atau mengkultuskan darah biru yang faktanya rapuh.
*Ironisnya*, Saeful Kurniawan seolah meletakkan Habib dan Kiai setara di satu nampan, tanpa sadar mengabaikan bahwa Kiai Nusantara umumnya diakui lewat sanad keilmuan, bukan silsilah biologis. Kiai diuji murid, diuji kitab. Habib diuji apa? Hanya cerita turun-temurun tanpa cross-check DNA?
Kalau mau cinta, mari cinta pada kebenaran — bukan cinta palsu pada pohon keluarga yang berkarat tapi tabu disentuh. Salam akal sehat, bukan sekadar slogan Maunah Inayah sambil menyembunyikan pertanyaan mendasar: *Berani tes DNA atau tidak?*
Karena bagaimanapun juga, agama ini agama akal sehat. Nabi Muhammad saw. justru membebaskan umat dari feodalisme darah. Kalau hari ini masih ada kasta darah palsu — publik berhak bertanya, dan publik berhak tidak cinta pada dusta.
Walisongobangkit.com — karena fakta lebih pantas dicintai daripada mitos.