Madrasah Mukibiniyah

Secara objektif, saiya melihat salah satu ciri utama madrasah mukibiniyah adalah tutur kata yang buruk dan penuh suudhan terhadap orang yang tidak sependapat, apalagi terhadap para peminta bukti secara ilmyah (tes DNA, manuskrip, maupun arkeologi) bahwa Klan Ba’alwi adalah bagian dari dzuriyah Nabi yang memang rival. Dan, Mukibin yang derajadnya sudah Abidin Kabib selaku pendiri madrasah yang melanjutkan pemikiran seorang penipu nasab bernama Ubaidillah Al Mahdi pendiri Disnasti Fatimiyah, sayang sekali mencontohkan betul bagaimana tutur kata yang buruk penuh ancaman berjuta kualat itu di beberapa videonya. Sayang sekali sebab mereka sebenarnya orang alim.

 

Soal keilmiahan, secara subjektif saiya tidak melihat ada yang ilmiah dari kritik mereka semua sehingga saya malas membahasnya, semalas membalas komen menggelikan para wahabi pengosong khilafah yang mampir ke beranda saiya. Bahwa alasan ketiadaan kitab sezaman untuk membatalkan nasab Sadah Ba’alwi itu adalah dari teorinya Sayyid Husain bin Haidar al-Hasyimi yang tercantum dalam kitabnya “Rasa’il fi Ilm al-Ansab” halaman 183-184.

 

Namun para Mukibin & Abidin pembela nasab Ba’alwi menggesernya bahwa syarat kitab sezaman itu adalah alasan dari orientalis seperti Schacht yang menolak seluruh hadis dengan alasan tidak ada manuskrip sezaman. Dengan beretorika “kalau Schacht menuduh perawi tsiqah hanya melakukan Projecting Back (memproyeksikan ke belakang) agar terkesan sanadnya bersambung, maka Imad menuduh para tokoh Ba’alwi tsiqah hanya melakukan Projecting Back hingga terkesan nasabnya bersambung. Nalarnya sama persis dan pengikut fanatiknya sama-sama menelannya mentah-mentah.”

 

Dari narasi di ataspun membuktikan bahwa Mukibin maupun Abidin Kabib sudah tidak memakai adab seorang berilmu, karena siapapun yang berbeda pandangan makan hanya akan dipanggil dengan namanya saja. Berbeda jauh dengan santrinya Kiai, walau berbeda tetap menghormati dalam memanggil seseorang. Santri tetap memanggil dengan gelarnya penuh penghormatan, minimnya dengan menyebut Pak atau Bapak di depan namanya.

 

Jadi, kalau anda yang bertanya pendapat saiya tentang dalil-dalil Madrasah Mukibiniyah, maka jawaban singkatnya adalah: Pendapat mereka mengikuti seorang penipu nasab (aslinya keturunan Yahudi) bernaman Ubaidillah Al Mahdi pendiri Dinasti Fatimiyah, dan pola pikirnya pun mengikuti penganut akidah kastanisasi rasis penyembah berhala nasab.

 

Berikut ulasanya agar kita harus selangkah lebih maju dalam berfikir yang disandur dari berbagai sumber kridebel…

 

Bahwa Islam bukanlah agama yang puritan dengan doktrinasi harus nurut dan patuh lalu tertutup ruang untuk berfikir kritis, namun sejatinya Islam adalah gudangnya ilmu pengetahuan yang rahmatanlilalamin. Berislam berarti harus bisa berfikir secara waras dan rasional agar tercapainya seuatu kebenaran, jangan sampai kerangka dan cara berfikir tersumbat oleh doktrin jahiliyah yang mengamputasi seseorang untuk berfikir secara merdeka.

 

Bahwa, Sayyid Husain bin Haidar al-Hasyimi dalam kitabnya “Rasa’il fi Ilm al-Ansab” halaman 183-184 mengatakan tentang cara mendeteksi kesahihan nasab dengan kitab sezaman:

“Maka sesungguhnya Allah menyiapkan bagi setiap masa para ‘abdal’ dalam agama. Para abdal itu (ada) dalam setiap ilmu dan hakikat yang ada dalam orbit agama, maka cara ‘al-habr’ (orang alim) yang ‘al-badal’ (ulama utama dalam setiap masa) dalam memverifikasi silsilah dan mengungkap kepalsuannya adalah dengan meneliti silsilah dan mengkajinya dengan kajian yang sempurna dan terintegrasi dari segala aspek sebagai berikut:

 

Ia mempelajari silsilah yang disajikan kepadanya dengan kajian nasab yang murni, mengamati dengan seluruh indranya, mengklasifikasikan dan menyusun data-data dan informasi-informasi, merangkum pemikiran-pemikiran, dan menerapkan pengalamannya. Kajian ini, bagaimanapun juga – baik dalam silsilah yang benar maupun (silsilah yang hanya) pengakuan – berlangsung melalui tahapan-tahapan yang (biasa) dijalankan oleh seorang ahli nasab yang muhaqiq (mentepakan berdasar dalil), yaitu:

 

a) Penelitian nasab, yaitu ia menulis nasab secara mubassat (ditulis dari ayah ke anak) dalam satu waktu, dan membuat musyajjar (susunan pohon nasab dari anak ke ayah) dalam waktu lainnya. Dst.

 

b) Ahli nasab (peneliti) menghitung (ada berapa) tobaqot (lapisan) silsilah itu. Lalu memperkirakan tanggal lahir dan kematian (nya masing-masing), jika tidak diketahui, (ini) bagi (silsilah) orang non-Alawi (jika ia alawi biasanya tanggal lahir dan wafat tercatat rapih), lalu membagi tobaqot-tobaqot tersebut dengan periode waktu (tahun hidup) yang ditempati silsilah tersebut, dan menguji keabsahan setiap tobaqot (silsilah) tersebut dengan sumber-sumber (kitab atau yang lainnya) yang dapat dipercaya semaksimal mungkin hingga tobaqot terakhir yang dapat diuji kesahihannya dan di takhrij dari sumber-sumber tersebut.

 

c) Ketika nasab itu sahih untuk seseorang atau suatu kelompok, maka ahli nasab akan memperbaiki cacat yang terjadi di dalam silsilah itu, jika ada, dan jika nasab itu nasab yang benar bukan nasab yang dusta. Jika nasab itu dusta, maka tidak akan bisa diperbaiki, didobiti (diluruskan), (tidak akan pula dapat) di cari referensinya dari sumber-sumber khusus itu (serta tidak dapat) di muqobalah (dihadapkan) dengan sumber-sumber itu.”

 

Dari kutipan di atas, jelaslah bagaimana narasi yang dibangun oleh para pembela nasab Ba Alwi, bahwa tidak ada ahli nasab yang mensaratkan adanya kitab sezaman itu tidak benar. Persaratan sumber sezaman bagi nasab dan sejarah adalah mutlak bagi siapa saja orang yang ingin meneliti kesahihan klaim nasab dan sejarah.

 

Berikut ini daftar kitab rujukan para naqib di hampir seluruh dunia Islam yang tidak membahas nama Ubaidillah (383 H) :

 

1. Maqitil At thalibiyyin karya Abu Al faraj Al Isfahani (abad 4 H).

 

2. Tahdzib Al Nasab karya Abu Hasan Al ubaidili Al Husaini (Abad 4 H)

 

3. Al Majdi Al Makhtut, Karya Abu Hasan Ali Al Umri ( Abad 5 H)

 

4. Al Majdi fi Ansab at Thalibiyyin karya Abu Hasan Ali Al Umri (Abad 5)

 

5. Nihayatul Ikhtisar, karya As Sayyid An Naqib Abu Muhammad Syamsuddin bin Muhammad Al athqa, beliau adalah Imam An Naqib”( pencatat dan pengawas) Nasab Keluarga Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam (abad ke 6 H) di Kitab beliau ini tidak ada nama Ubaidillah bin Ahmad

 

6. Syajarah Al Mubarakah karya Fahrurrozi (Abad 6 H)

 

7. Thoroful Ash hab Fi Marifatil Ansab karya Sultan Raja Al Asyrof,Umar bin Yusuf Bin Rosul pada Abad ke 7 H ,ini penguasa Yaman dari Dinasti Rasuli (Keturunan Imam Hasan) melakukan sensus terhadap keturunan Nabi di seluruh Yaman, termasuk wilayah Mirbath, dan jumlah ba’alawi di masa itu sudah banyak. Hasilnya : Tidak ada keluarga Al Husaini di yaman di masa itu, yang ada hanya keturunan Imam Hasan Bin Ali dari banyak kabilah. Dan semuanya diperinci Dengan detil dan memuaskan.Tentu saja keluarga ba’alawi tidak di masukkan dalam hasil sensus tersebut. Di abad ini belum muncul Klaim nama ubaidillah yang di cantolkan sebagai anak Ahmad bin Isa Al Husaini.

 

8. At Tadzkirah fi Ansab Al Muthhaharah,karya ibnu Mahna Al Ubaidili Al Husaini (abad 7 H)

 

9 . Udah At Thalib Kubra, Karya Jamaluddin bin Ali ibnu Anbah Al Husaini (Abad 8 H)

 

10. Umdah at Thalib Sughra, karya Jamaluddin bin Ali ibnu Anbah Al Husaini (Abad 8 H).

 

11. Al Ashili karya syarif Shafiudin Muhammad Bin Tajuddin Ibnu Thaqthaqi Al Husaini (Abad 8 H)

 

12. Sikhakul Akhbar Nasabi Sa’adah Al Fatimiyah Al Akhyar karya Sayyid Muhammad Sirajuddin Bin Abdullah Al Qosim bin Muhammad Huzam Ar Rifai (abad 9 H)

 

13. Musyajarah Al Kasyaf Karya Sayyid Jamaluddin Abdullah bin Abi Al Barakat Al Jurjani ( Abad 10 H)

 

Maka ketahuilah bahwa, perihal nasab bukan kajian fiqih, ijtihadnya harus verifikatif dan tidak bisa di mawqufkan dalam khilaf tanpa kejelasan. Kaidahnya adalah:

 

“Tidak disebutkan bukan berarti tidak ada, tetapi untuk mengatakan ada harus ada buktinya juga”

 

Sedang bukti itu ada dua yaitu: Bukti asli (tanpa rekayasa) dan Bukti palsu (sudah direkayasa/diada-adakan)

 

Kita sudah mengetahui bahwa pembuktian beberapa kitab dari era 4 H sampai 10 H tidak menyebutkan nama Ubaidillah, mari kita bahas dengan ilmu sain kekinian yaitu ilmu genetik yang secara detail memeriksa perihal kode DNA disetiap manusia.

 

Bahwa, “Al-Habsy, Assegaf, Jamalullail, dan BSA itu masuk haplogroup G-Y32613”.

 

Demikian Doktor Sugeng Sugiharto menulis dalam halaman Facebooknya. Peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu juga mengucapkan terimakasih kepada para Ba Alwi yang telah berkontribusi untuk sains. Bahkan, ia menawarkan diri untuk Ba Alwi yang sudah test DNA untuk mengirim file BAM-nya kepadanya, untuk dibantu membuatkan file yang berisi seluruh mutasi dalam kromosom Y.

 

Dari situ nampaknya, sudah ada kalangan Ba Alwi yang tes DNA, dan hasil haplogroupnya adalah G. lalu apa artinya haplo G? dalam kolom komentar Sunan Kaliprogo bertanya: “…maksudnya apakah masuk zuriat Nabi tegak lurus atau zigzag? Lalu dijawab oleh Doktor Sugeng: “Ya ga mungkin lurus. Zigzag, disclaimer, belum ada buktinya.”

 

Lurus garis laki-laki sampai Nabi itu tidak mungkin. Tetapi keturunan Nabi jalur Zigzag masih mungkin, namun belum ada buktinya. Itu mungkin maksud jawaban Doktor Sugeng.

 

Dalam halaman lain dari Facebooknya, ia menulis bahwa identitas genetic Nabi Ibrahim berhaplogroup J lengkapnya J-FGC8712, dan Imam Ali bin Abi Talib adalah J-FGC10500. Dari sini kita memahami garis lurus keturunan Nabi harus berhaplo J. lalu bagaimana kedudukan tes DNA menurut para ulama?

 

Menurut hasil keputusan Muktamar NU yang ke-31 yang dilaksanakan di Solo tahun 2004, hasil tes DNA bisa digunakan sebagai penafiyan ilhaq nasab (tersambungnya nasab), tetapi belum tentu bisa menentukan ilhaq nasab. Dari hasil keputusan muktamar NU itu kita bisa menyatakan nasab Ba Alwi sebagai tidak tersambung garis lurus laki-laki kepada Nabi Muhammad Saw, berdasarkan hasil tes DNA mereka yang tidak berhaplo J yang merupakan haplogroup yang dimiliki Imam Ali bin Abi Talib dan harus dimiliki keturunannya.

 

Jika demikian, nasab Ba Alwi tersebut sudah tertolak dari dua sisi, yaitu pertama kajian pustaka sebagaimana dalam kajian dari tesis KH Imaduddin Utsman Al Bantani, yang kedua dilihat dari kesimpulan hasil tes DNA sebagaimana dijelaskan peneliti BRIN seperti di atas.

 

“Seperti tesis saya yang membatalkan nasab Ba’alwi itu tidaklah mewakili NU, Ba’alwi itu sahih juga tidak ada dalam forum Muktamar NU. Sejak berdirinya NU 1926 sampai Muktamar terakhir di Lampung, tidak ada satupun Muktamar NU, keputusan bahwa Nasab dari Bani Ba’alwi ini sahih, ini tidak ada. Kalaupun ada narasi-narasi bahwa NU tidak pernah membatalkan ya karena memang NU juga tidak pernah mensahihkan. Mengapa Ulama-ulama tidak membatalkan, karena dari dulu belum ada ulama yang mensahihkan, misalnya Kiai Haji Hasyim Asy’ari mensahihkan juga tidak ada. Kita lihat dalam kitab-kitabnya Kiai Hasyim Asy’ari yang mensahihkan Bani Ba’alwi juga tidak ada. Apa benar ulama-ulama di luar negeri juga mensahihkan Ba’alwi? Dari abad ke 5,6,7,8,9 tidak ada yang menyatakan bahwa Bani Ba’alwi ini keturunan dari Baginda Nabi Muhammad SAW, itu tidak ada sama sekali, bisa dicek dalam kitab-kitab nasab dari abad ke 5 sampai abad ke 9. Disitulah titik kritis sebuah nasab sahih atau tidak di dalam rentang abad ke 5 sampai abad ke 9.” (KH Imaduddin Utsman Al Bantani)

 

Ketahuilah bahwa, memberantas nasab palsu kepada Nabi SAW, hukumnya fardu kifayah tergolong amar ma’ruf nahi munkar. Perihal ini jangan di freaming sebagai kebencian.

 

Ulama yang melakukan:

 

1. Ibnu Hazm al-Andalusi dan Imam Tajuddin As-Subki, membongkar kepalsuan nasab Bani Ubaid.

2. Al-hakim An-Naisaburi, membongkar kepalsuan Abu Bakar ar-Razi, mengaku dzuriyah melalui Muhammad bin Ayyub al-Bajali.

3. Adz-Dzhabi, membongkar kepalsuan nasab Ibnu Dihyah al-Andalusi.

4. Ibnu hajar al-Asqolani yang membongkar kepalsuan nasab Syekh Abu Bakar al-Qumni. (Ushulu wa Qowaid Fi Kasfi Mudda’I al-Syaraf: 11)

5. ⁠KH Imaduddin Utsman Al Bantani, Indunisyi. Membongkar nasab palsu klan Ba’alwi imigran asal Yaman di Indonesia. 13H/2022M.

 

Wajib menyebarkan kepalsuan nasab yang ia ketahui, dan haram mendiamkannya kedustaan tersebut, yang demikian itu termasuk istihqor bi haqqi al mustofa (merendahkan hak Nabi Muhammad SAW)

 

Imam Ibnu Hajar al-Asqolani al-berkata:

“Seyogyanya, setiap orang kecemburuan terhadap nasab mulia Nabi dan mendhobit (memeriksanya), agar tidak bernasab kepada Nabi SAW kecuali dengan sebenarnya”. (Ash-Showa’iq al Muhriqoh: 2/537)

 

Syekh Ibrahim bin Qosim berkata:

“Dan seorang alim tidak boleh menyembunyikan ilmu (nasab)ini, termasuk amanah dalam ilmu dan membongkar tercampurnya nasab adalah bagian dari amar ma’ruf dan nahi munkar” (Ushulu wa Qowaid Fi Kasfi Mudda’I al-Syaraf: 13)

 

Imam Malik bin Anas berkata:

“Barangsiapa yang bernisbah kepada keluarga Nabi, yakni dengan batil maka ia harus dipukul dengan pukulan yang pedih dan di umumkan serta dipenjara” (Ushulu wa Qowaid Fi Kasfi Mudda’I al-Syaraf: 9)

 

Jaman ini, Alhamdulillah terbongkar pula nasab palsu klan Ba Alwi asal Yaman, yang diinisiasi awal oleh KH Imaduddin Utsman Al Bantani, melalui Tesis nya, menemukan celah/gap riset yang menjadi pertanyaan riset, yang menuntut dijawab dengan bukti data ilmiah.

 

Yaitu: tiadanya data ilmiah atas nama “Ubaidillah” yang diklaim sebagai leluhur klan Ba Alwi Yaman yang diklaim sebagai putra dari Sayid Ahmad bin Isa.

 

Oleh karena itu diharapkan pesantren-pesantren kita, harus selangkah lebih maju dalam pemikiran keagamaan, bukan hanya dalam bagaimana mempertahankan legacy yang baik, tetapi bagaimana mengambil peran dalam mengembangkan sesuatu yang baru yang lebih baik. Kita juga, harus mulai memperkenalkan pemikiran-pemikiran yang progresiv kepada para santri, pemikiran-pemikiran yang akan mengangkat harkat kemanusiaan mereka sebagai manusia merdeka yang melekat akal-budi yang difitrahkan Allah Swt sebagai manusia yang sempurna.

 

Sebagaimana Imam Malik mempunyai santri Imam Syafi’i. Imam Malik adalah guru yang berhasil mengangkat Imam Syafi’i menjadi salah satu manusia utama di muka bumi ini, kenapa? Karena imam Malik mendidik Imam syafi’i bukan dengan doktrin kebarokahan mengikuti guru, tetapi mendidiknya agar Imam Syafi’i mampu menemukan hakikat kebenaran yang diyakininya sebagaimana gurunya telah mencapai derajat itu, walau dengan itu muridnya kemudian mempunyai kesimpulan yang berbeda dengan gurunya dalam memahami kebenaran yang diyakini.

 

Waallahu Alam




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *