*“Menelaah Narasi Sejarah Alternatif: Telaah Kritis terhadap Versi Tungku Qori”*
Oleh Redaksi
Tulisan viral berjudul provokatif oleh Tungku Qori—yang menuduh “90 persen orang Jawa adalah antek Belanda”—adalah puncak dari manipulasi sejarah dan kegagalan berpikir kritis. Alih-alih memperkuat semangat keilmuan, tulisan tersebut justru menjadi propaganda kelompok tertentu yang ingin menutupi peran mereka yang sebenarnya dalam kolaborasi dengan penjajahan.
Tulisan ini menyajikan sanggahan berbasis data sejarah, telaah akademik, dan kesadaran etis untuk membuka siapa sebenarnya yang menjadi alat penjajahan: rakyat tertindas atau para elit yang menjual nama agama?
*1. Mitos “90 Persen Orang Jawa Antek Belanda”*
Mengutip angka-angka tentara KNIL pribumi—misalnya 13.000 orang Jawa di tahun 1936—tidak membuktikan bahwa mayoritas rakyat Jawa adalah “antek Belanda”. Ini adalah logical fallacy: false equivalence.
🔹 Jumlah 13.000 orang Jawa di KNIL tahun 1936 itu:
Hanya sebagian kecil dari total penduduk Jawa saat itu yang mencapai puluhan juta.
Mayoritas rakyat pribumi adalah petani, buruh, guru pesantren, pedagang kecil, dan santri, bukan tentara kolonial.
🔹 Bahkan jika total pribumi di KNIL tahun 1936 mencapai 33.000 dari 37.000 tentara, ini hanyalah 0,1% dari total populasi Hindia Belanda yang kala itu sekitar 60 juta jiwa.
Jadi, bagaimana mungkin kamu menuduh 90% orang Jawa sebagai antek Belanda berdasarkan data tentara KNIL yang hanya mencakup sebagian kecil elite atau warga yang dipaksa oleh sistem kolonial?
Menuduh rakyat Jawa sebagai pengkhianat adalah bentuk penyalahgunaan statistik dan penyederhanaan brutal terhadap kompleksitas kolonialisme. Faktanya, sejarah perlawanan di Jawa sejak abad ke-17 dipenuhi oleh tokoh-tokoh pemberani: Sultan Agung, Trunojoyo, Pangeran Diponegoro, dan tokoh pesantren seperti KH Hasyim Asy’ari.
Namun fakta yang perlu diketahui, setelah Perang Diponegoro (1825–1830) yang mengakibatkan trauma kolektif, rakyat Jawa memendam kebencian mendalam terhadap Belanda. Dalam konteks inilah Belanda membawa masuk Klan Ba’alwi dari Hadramaut—bukan sebagai pelindung Islam, melainkan sebagai alat politik.
*2. Klan Ba’alwi: Import Kolonial untuk Meredam Perlawanan*
Setelah Perang Diponegoro, rakyat Jawa memusuhi segala sesuatu yang berbau Belanda. Dalam kondisi sosial yang penuh kebencian dan kehilangan arah, Belanda mendatangkan kelompok Ba’alwi dari Yaman—yang mengklaim sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW—untuk merebut hati masyarakat Jawa.
Dengan simbol keagamaan, jubah, dan status “habib,” Klan Ba’alwi mulai mendekati rakyat kecil, membaur di pasar-pasar, dan menjadi perantara kekuasaan kolonial melalui pengaruh agama. Di sinilah terjadi apa yang disebut oleh Prof. Dr. Anhar Gonggong sebagai bentuk “politik kultural kolonial”—menggunakan simbol dan legitimasi agama untuk membungkam perlawanan.
Para pemuda Jawa yang terlilit kemiskinan dan trauma dijajah akhirnya terbujuk. Mereka mengira masuk ke dalam KNIL adalah bagian dari taat kepada tokoh agama, yang ternyata menjadi corong kekuasaan kolonial. Klan Ba’alwi menjadi penenang luka, namun pada saat yang sama menjadi penyambung lidah kekuasaan yang menindas.
Contoh Fakta:
- Dalam buku “Hadrami Arabs in Indonesia” oleh Natalie Mobini-Kesheh, disebutkan bahwa keluarga-keluarga Ba’alwi elite memiliki hubungan istimewa dengan penguasa kolonial, terutama lewat kegiatan dagang dan keagamaan yang tidak membahayakan kekuasaan kolonial.
- Arsip Belanda (lihat KITLV) memuat nama-nama tokoh Hadrami yang menjadi penengah atau fasilitator kebijakan pemerintah kolonial di komunitas Arab di Hindia Belanda.
Ironisnya, kelompok ini justru menuduh pribumi Jawa sebagai kolaborator, padahal banyak dari mereka hidup nyaman dan bebas bergerak justru karena hubungan baik dengan penguasa kolonial.
*3. Statistik KNIL: Siapa yang Memanipulasi Siapa?*
Sekitar tahun 1936, jumlah tentara pribumi di KNIL mencapai 33.000 orang. Dalam tulisan Tungku Qori, ini dijadikan bukti bahwa rakyat Jawa adalah pengkhianat. Tapi siapa yang membujuk mereka masuk ke KNIL?
Sebagian besar dari mereka bergabung karena dibimbing dan dipengaruhi oleh tokoh-tokoh agama yang diasosiasikan sebagai “dzurriyah Nabi,” padahal mereka bagian dari skema sosial-politik Belanda. Ini adalah bentuk manipulasi spiritual yang brutal: menjual nama Nabi untuk mendamaikan rakyat dengan penjajah.
Mari kita bertanya kepada fakta; Berapa banyak dari elite Klan Ba’alwi yang tidak masuk KNIL tapi hidup mewah di bawah perlindungan kolonial, berdagang, membangun relasi dagang, dan tidak ikut berjuang?
Fakta sejarah mencatat bahwa banyak keluarga elite Ba’alwi tidak terdokumentasi sebagai pejuang, bahkan malah dilaporkan di arsip Belanda sebagai tokoh netral atau pro-kolonial.
Referensi:
Natalie Mobini-Kesheh, Hadrami Arabs in Indonesia
Van den Berg, Le Hadhramout et les colonies arabes dans l’archipel Indien
*4. Pangeran Diponegoro dan NU: Warisan Perlawanan, Bukan Kelahiran Politik*
Tuduhan bahwa Pangeran Diponegoro berjuang hanya untuk kekuasaan dan NU baru lahir setelah kolonialisme mencengkeram selama 200 tahun adalah narasi palsu yang bertujuan mendelegitimasi perjuangan pribumi.
NU adalah puncak akumulasi dari jaringan pesantren dan tarekat yang sudah berabad-abad melawan kolonialisme. Para pendirinya tidak menjual klaim nasab, tapi menjual ilmu, akhlak, dan keberanian.
Pernyataan bahwa NU “baru muncul setelah 200 tahun Jawa dijajah” mengabaikan fakta historis perjuangan para ulama dan pesantren yang telah berlangsung jauh sebelum NU secara resmi berdiri tahun 1926.
NU bukan titik awal perjuangan, melainkan kulminasi dari gerakan Islam tradisional yang selama berabad-abad telah melawan kolonialisme secara kultural, sosial, dan spiritual.
Bahkan sebelum NU, jaringan pesantren telah aktif menyebarkan Islam dan melindungi identitas bangsa dari serangan akulturasi kolonial:
- Perlawanan Imam Bonjol
- Gerakan Santri di Cirebon
- Jejaring tarekat anti-penjajahan di Sumatera dan Jawa
*5. Siapa Sebenarnya yang Menjilat Penjajah?*
Jika rakyat kecil dituduh sebagai penjilat karena masuk KNIL akibat keterbatasan ekonomi dan bujuk rayu tokoh agama kolaborator, bagaimana dengan para elite Ba’alwi yang hidup nyaman di bawah perlindungan Belanda?
Mereka tidak tercatat dalam gerakan bersenjata, tidak pernah menderita di pengasingan seperti Pangeran Diponegoro, tidak diburu seperti HOS Tjokroaminoto, tidak ditembak seperti Teuku Umar, dan tidak dijebloskan ke penjara seperti KH Hasyim Asy’ari. Tapi kini mereka menyebut diri sebagai pewaris kemerdekaan?
Sementara itu:
❓ Di mana data keterlibatan klan Ba’alwi dalam perlawanan fisik terhadap penjajah?
❓ Mengapa tidak ada tokoh mereka yang tercatat sebagai tokoh utama perlawanan bersenjata seperti Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, atau HOS Tjokroaminoto?
❓ Mengapa mereka justru menduduki posisi elit dagang dan keagamaan dalam sistem kolonial?
*6. Stigma “Imadiyah” dan Kekerasan Simbolik Terhadap Intelektual*
Istilah “Imadiyah” (yang merujuk pada KH Imaduddin Utsman al-Bantani) adalah sumber perpecahan bangsa adalah fitnah kosong dan anti-intelektual. Justru sebaliknya, KH Imaduddin mengajak pada rasionalitas, pemurnian sejarah, dan pembongkaran kepalsuan, demi menyelamatkan umat dari pembodohan sistematis yang dibalut simbolisme agama.
Apa yang dilakukan KH Imaduddin adalah bentuk ijtihad akademik dan spiritual untuk meluruskan sejarah, bukan menghancurkan bangsa. Yang merasa hancur adalah mereka yang selama ini bersembunyi di balik gelar palsu, nasab palsu, dan sejarah palsu hasil fabrikasi politik kolonial.
*Penutup: Sejarah Tidak Bisa Dibeli*
Ketika sejarah mulai dikomodifikasi dan klaim agama dipakai untuk menjilat kekuasaan, kita perlu keberanian untuk bicara jujur. KH Imaduddin Utsman al Bantani tidak sedang menghina siapa pun, tapi sedang menyelamatkan akal sehat umat dari kepalsuan yang diwariskan turun-temurun.
Kini, publik harus memilih: mau terus ditipu oleh simbol yang tidak diuji, atau mulai membangun kejujuran sejarah yang berakar pada ilmu.
Referensi:
- Natalie Mobini-Kesheh, Hadrami Arabs in Indonesia
- Dr. Cees Fasseur, Indischgasten: koloniale ervaring in Nederland
- KITLV Archives, Leiden
- Prof. Dr. Anhar Gonggong, Wawancara dan Tulisan Sejarah
- KH Imaduddin Utsman al Bantani, Nasab Ba’alwi dalam Kritik Ilmiah
Lampiran (Hoax yang disebar klan ba’alwi dan mukibinnya):