*Membongkar Kesesatan Ajaran Klan Ba’alwi: Pengakuan Al-Faqih Al-Muqaddam yang Menyamakan Diri dengan Allah SWT*
Dalam kajian tasawuf dan teologi Islam, pernyataan seseorang tentang hubungan dirinya dengan Allah SWT harus selalu merujuk pada prinsip tauhid yang benar. Namun, dalam beberapa kitab yang diklaim sebagai rujukan ajaran Ba’alwi, terdapat pernyataan-pernyataan yang kontroversial dan bahkan berpotensi menyesatkan umat Islam. Salah satu yang paling mencolok adalah klaim bahwa Al-Faqih Al-Muqaddam menyatakan dirinya sebagai bagian dari Nur (cahaya) zat Allah SWT, sebuah pernyataan yang sangat berbahaya karena menyerupai paham hulul dan ittihad, yaitu keyakinan bahwa manusia dapat menyatu dengan Allah atau menjadi bagian dari-Nya.
*Analisis Pernyataan dalam Kitab Syarhul Ainiyah*
Dalam Kitab Syarhul Ainiyah halaman 154, disebutkan bahwa Al-Faqih Al-Muqaddam, dalam keadaan fana’nya, memberikan jawaban yang sangat problematik terhadap ayat-ayat Al-Qur’an:
1. Ketika ditanyakan tentang QS. Al-Ankabut: 57 (Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian), ia menjawab:
“Aku tidak bernyawa.”
2. Ketika ditanyakan tentang QS. Ar-Rahman: 26 (Semua yang ada di dunia ini akan hancur binasa), ia menjawab:
“Aku tidak berada di dunia.”
3. Ketika ditanyakan tentang QS. Al-Qashash: 88 (Segala sesuatu akan hancur binasa kecuali Zat-Nya Allah SWT), ia menjawab:
“Saya adalah bagian dari Nur (cahaya) Zat Allah SWT.”
Pernyataan ini jelas bertentangan dengan akidah Islam. Setiap makhluk, tanpa kecuali, pasti akan mati dan mengalami kehancuran kecuali Allah SWT. Tidak ada seorang pun yang bisa mengklaim dirinya tidak bernyawa atau tidak berada di dunia. Bahkan, jika seseorang berada dalam keadaan fana’ (kesadaran spiritual yang tinggi), ia tetaplah manusia yang tunduk pada hukum Allah SWT. Al-Faqih Al-Muqaddam sendiri pada akhirnya mengalami kematian, yang membuktikan bahwa klaimnya tidak benar.
Pernyataan bahwa ia adalah bagian dari Nur Zat Allah SWT juga bermasalah. Dalam Islam, Allah SWT adalah Tuhan yang Esa, tidak terbagi-bagi, dan tidak ada satu pun makhluk yang merupakan bagian dari Zat-Nya. Ini ditegaskan dalam QS. Al-Ikhlas: 1-4, yang menyatakan bahwa Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan serta tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya.
*Kesalahan Konsep Nur Ilahi dan Kesombongan Mistis*
Sebagian kelompok yang mengaku sebagai sufi memahami konsep Nur dengan sangat berlebihan. Dalam Islam, benar bahwa Nabi Muhammad SAW diciptakan dari Nur, namun itu tidak berarti beliau adalah bagian dari Zat Allah SWT. Jika Nabi Muhammad SAW saja tidak menyatakan dirinya sebagai bagian dari Zat Allah, bagaimana mungkin Al-Faqih Al-Muqaddam berani mengklaim hal tersebut?
Konsep Nur Muhammad adalah cahaya penciptaan pertama yang digunakan oleh Allah SWT untuk menciptakan alam semesta, tetapi tidak berarti bahwa setiap manusia, apalagi seorang ulama dari Tarim, bisa mengklaim dirinya sebagai bagian dari Nur Zat Allah SWT. Klaim seperti ini mirip dengan doktrin hulul dalam ajaran ekstrem sesat (mengaku sufi) yang menyatakan bahwa Tuhan dapat menyatu dengan manusia—sebuah keyakinan yang menyimpang dari akidah Islam yang lurus.
*Pernyataan Menyerupai Aqidah Yahudi tentang Nabi Uzair*
Pernyataan ini juga mirip dengan keyakinan Yahudi terhadap Nabi Uzair. Dalam QS. At-Taubah: 30, Allah SWT mengecam orang-orang Yahudi yang menganggap Uzair sebagai anak Allah:
“Dan orang-orang Yahudi berkata: ‘Uzair adalah anak Allah,’ dan orang-orang Nasrani berkata: ‘Al-Masih adalah anak Allah.’ Itu adalah ucapan dari mulut mereka sendiri, menyerupai perkataan orang-orang kafir terdahulu. Semoga Allah membinasakan mereka, bagaimana mereka sampai berpaling?”
Dengan mengklaim dirinya sebagai bagian dari Nur Zat Allah SWT, Al-Faqih Al-Muqaddam telah melakukan kesalahan yang sama seperti kaum Yahudi yang berlebihan dalam memuliakan Nabi Uzair. Ini menunjukkan adanya ghuluw (berlebihan) dalam ajaran sufi tertentu, yang menjadikan manusia seolah-olah memiliki sifat ketuhanan.
*Kitab Masro’ur Rowi: Al-Faqih Al-Muqaddam Mengaku Sebagai Allah?*
Pernyataan kontroversial lainnya terdapat dalam Kitab Masro’ur Rowi halaman 12, yang menyebutkan bahwa seorang Arab Badui bertanya kepada Muhammad bin Ali:
“Apakah Muhammad bin Ali adalah Allah?”
Lalu Muhammad bin Ali menjawab:
“Akulah Allah.”
Jawaban ini adalah kesesatan besar yang jelas-jelas bertentangan dengan tauhid! Tidak ada manusia yang boleh mengaku sebagai Tuhan, karena ini adalah kesyirikan terbesar yang pernah ada. Bahkan para nabi tidak pernah mengatakan hal semacam itu.
Klaim semacam ini mengingatkan kita pada Fir’aun, yang mengatakan dalam QS. An-Nazi’at: 24:
“Akulah Tuhanmu yang paling tinggi!”
Ucapan ini menjadi bukti bahwa ada ajaran dalam tarekat tertentu yang menyamakan manusia dengan Tuhan, suatu bentuk kesesatan yang nyata.
*Kitab Al-Wariqot: Klaim Mengatur Alam Semesta*
Dalam Kitab Al-Wariqot Min Manaqibi Sayidina Syeikh Al-Fakhr Abi Bakar bin Salim halaman 303, terdapat klaim lain yang tidak kalah berbahaya:
“Allah telah menganugerahkan kepadaku kekuasaan untuk mengatur segala yang ada di alam semesta, baik kehidupan maupun kematian. Lalu Allah berfirman kepadaku: ‘Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kerajaan-Ku adalah kerajaanmu juga, maka aturlah sesukamu.'”
Pernyataan ini sangat berbahaya karena mengandung unsur kesyirikan. Hanya Allah SWT yang berhak mengatur kehidupan dan kematian makhluk-Nya. Tidak ada manusia, termasuk Nabi Muhammad SAW sekalipun, yang diberi otoritas untuk mengatur alam semesta. Jika seseorang mengklaim memiliki kekuasaan seperti itu, maka ia telah melampaui batas dan menuhankan dirinya sendiri!
Dalam Islam, tidak ada wali, kyai, atau habib yang bisa mengatur hidup dan mati seseorang. Allah SWT telah menegaskan dalam QS. Al-A’raf: 54:
“Sesungguhnya Tuhanmu adalah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arsy. Dia menutupi malam dengan siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan, dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, hanya milik-Nya penciptaan dan urusan (makhluk).”
*Bahaya Pemikiran Menyesatkan*
Dari berbagai kutipan kitab di atas, terdapat indikasi kuat bahwa ajaran yang berkembang dalam kalangan Ba’alawi mengandung unsur ghuluw (berlebihan), hulul (penyatuan dengan Tuhan), dan syirik (penyekutuan Allah).
Umat Islam harus berhati-hati dengan ajaran yang mengarah pada pengultusan individu hingga mencapai derajat yang menyamai sifat-sifat ketuhanan. Islam adalah agama tauhid, bukan ajaran mistik yang mengaburkan batas antara manusia dan Tuhan.
Mari kembali kepada ajaran Islam yang lurus: bertauhid hanya kepada Allah SWT, dan meneladani Nabi Muhammad SAW tanpa berlebihan dalam memuliakan manusia.