*Membongkar Mitos: Benarkah Klan Ba’alwi Alim dan Layak Dijadikan Panutan?*
Dalam perdebatan mengenai klaim keturunan Klan Ba’alwi sebagai dzurriyah Rasulullah SAW, banyak yang masih beranggapan bahwa para “habib” ini adalah orang-orang alim yang patut dijadikan panutan. Namun, benarkah demikian? Jika seseorang benar-benar alim, tentu ia akan menjunjung tinggi nilai kejujuran dan integritas, bukan malah mempertahankan klaim yang telah terbukti keliru.
*Kejujuran: Pilar Keilmuan yang Sejati*
Kealiman seseorang tidak hanya diukur dari banyaknya kitab yang ia baca atau jumlah pengikut yang ia miliki. Orang yang benar-benar alim akan berpegang teguh pada kebenaran, meskipun itu bertentangan dengan kepentingan pribadi atau kelompoknya. Ketika bukti-bukti sejarah, filologi, dan genetika telah mengungkap bahwa Klan Ba’alwi bukanlah keturunan Nabi Muhammad SAW, seharusnya mereka bersikap jujur dan menerima kenyataan ini. Namun, yang terjadi justru sebaliknya—klaim nasab tetap dipertahankan tanpa dasar ilmiah yang valid.
*Mengapa Mereka Kabib Klan Ba’alwi Enggan Melakukan Tes DNA?*
Salah satu cara paling ilmiah untuk membuktikan silsilah keturunan adalah melalui tes DNA. Jika Klan Ba’alwi yakin bahwa mereka benar-benar berasal dari garis keturunan Nabi Muhammad SAW, seharusnya mereka tidak ragu untuk melakukan tes DNA dan menunjukkan hasilnya secara terbuka. Namun, mengapa hingga kini mereka enggan menjalani tes tersebut? Apakah karena mereka takut hasilnya tidak sesuai dengan klaim yang selama ini mereka propagandakan? Berdasarkan penelitian genetika, keturunan Nabi Muhammad SAW berasal dari haplogroup J1, sementara hasil tes DNA beberapa individu Ba’alwi justru menunjukkan haplogroup G, yang menegaskan bahwa mereka tidak memiliki hubungan genealogis dengan Nabi Muhammad SAW.
*Kitab-Kitab Klan Ba’alwi di Pesantren: Sebuah Pembelaan yang Lemah*
Sebagian pihak berdalih bahwa kitab-kitab yang dikarang oleh tokoh-tokoh Ba’alwi masih digunakan di pesantren-pesantren, seolah ini menjadi legitimasi keabsahan nasab mereka. Namun, perlu dicatat bahwa keberadaan kitab dalam dunia pesantren tidak serta-merta membuktikan keabsahan nasab seseorang. Bahkan, penelitian terbaru menunjukkan bahwa beberapa karya yang diklaim berasal dari Ba’alwi, seperti Ratib Haddad, sebenarnya merupakan plagiasi dari karya ulama lain, seperti Syaikh Rifa’i. Jika keilmuan mereka didasarkan pada plagiasi dan manipulasi sejarah, apakah mereka masih layak dijadikan panutan?
*Nasab dan Ilmu: Dua Hal yang Berbeda*
Dalam tradisi Islam, keilmuan seseorang tidak ditentukan oleh garis keturunan, tetapi oleh kualitas intelektual dan dedikasi terhadap ilmu. Imam Bukhari, yang kitabnya menjadi rujukan utama dalam ilmu hadis, bukanlah keturunan Nabi, tetapi tidak ada yang meragukan kredibilitasnya. Sebaliknya, seseorang yang mengklaim sebagai keturunan Nabi tetapi tidak memiliki keilmuan yang mumpuni serta kejujuran ilmiah ataupun akademik, tidak bisa serta-merta dianggap lebih unggul dari orang lain.
*Menyelamatkan Sejarah Islam dari Distorsi*
Menolak klaim nasab Ba’alwi bukanlah upaya adu domba, melainkan usaha untuk menegakkan kejujuran sejarah dan membebaskan umat Islam dari klaim-klaim yang tidak berdasar. Sejarah Islam harus diluruskan agar tidak lagi dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan kelompoknya. Keilmuan harus didasarkan pada integritas, bukan pada mitos atau propaganda turun-temurun. Jika Klan Ba’alwi ingin diakui sebagai sosok yang berilmu dan berintegritas, maka langkah pertama yang harus mereka ambil adalah berhenti memanipulasi sejarah dan menerima fakta ilmiah dengan lapang dada.