Mengungkap Fakta: Siapakah Sebenarnya Habaib Keturunan Ba’alwi?
Latar Belakang Sejarah Kedatangan Klan Ba’alwi ke Indonesia
Banyak masyarakat yang masih belum memahami asal-usul kedatangan para Habaib (Bani Ba’alwi yang mengaku sebagai dzurriyah Rasulullah SAW) ke Indonesia. Oleh karena itu, penting untuk mengungkap fakta sejarah dengan lebih jelas dan berdasarkan sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.
- Imigrasi dari Yaman ke Indonesia
Pada tahun 1800-an, pasca Perang Diponegoro, para imigran dari Yaman datangkan ke Indonesia sebagai pekerja . Sebagian dari mereka diangkat menjadi Kapitan Arab , sementara yang memiliki latar belakang keagamaan, terutama dari marga Ba’alwi , diberikan posisi sebagai mufti . Salah satu tokoh terkenal adalah Usman bin Yahya , yang diberi gelar “cucu Nabi” oleh pemerintah kolonial Belanda untuk meningkatkan legitimasi dan pengaruhnya di kalangan masyarakat Muslim.
- Larangan Penggunaan Gelar Sayyid dan Syarif
Sejak awal, Mufti Makkah telah melarang marga Ba’alwi menggunakan gelar “Sayyid” atau “Syarif” karena tidak adanya bukti yang sahih mengenai nasab mereka sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. Namun, larangan ini diabaikan, dan seiring berjalannya waktu, mereka mulai menggunakan gelar “Habib”.
- Transformasi Gelar Ulama Ba’alwi
Gelar “Habib” mulai dikenal luas setelah diperkenalkan oleh Habib Umar Al-Aththas . Awalnya gelar ini hanya digunakan untuk ulama tertentu, namun kemudian bergeser menjadi identitas eksklusif bagi seluruh keturunan Ba’alwi , tanpa mempertimbangkan ilmu atau ketakwaan mereka.
- Peran Klan Ba’alwi dalam Politik Kolonial
Pasca penangkapan Pangeran Diponegoro, Belanda mendatangkan para ulama dari kalangan Ba’alwi ke Nusantara. Tujuan utama mereka adalah untuk meredam perlawanan rakyat yang dipimpin oleh para ulama pribumi , khususnya mereka yang tergabung dalam tarekat-tarekat sufi seperti:
- Tarekat Satariyah di Banten (dipimpin oleh Syekh Abdul Karim),
- Tarekat Sammaniyah di Sumatera,
- Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah di Kalimantan, Jawa Timur, hingga Lombok.
Keberadaan mereka menyatukan kesatuan perjuangan ulama lokal yang selama ini menjadi motor perlawanan terhadap penjajah.
- Fatwa Mufti Kontroversial Batavia
Sebagai Mufti Batavia, Habib Usman bin Yahya mengeluarkan fatwa bahwa perlawanan pribumi terhadap Belanda adalah bentuk pemberontakan dan perbuatan onar . Atas jasanya kepada Belanda, ia dianugerahi Bintang Salib Singa oleh Ratu Wilhelmina . Sebagai bentuk penghormatan, Habib Usman bin Yahya bahkan menulis bait-bait pujian untuk mendoakan Ratu Wilhelmina pada ulang tahunnya .
- Pendirian Rabithah Alawiyah untuk Menandingi NU
Pada tahun 1928, kalangan Ba’alwi mendirikan Rabithah Alawiyah sebagai organisasi tandingan bagi Nahdlatul Ulama (NU) yang berdiri pada tahun 1926 . Hal ini terjadi dalam konteks persaingan ideologi dan sosial, terutama setelah NU turut mendukung semangat Sumpah Pemuda . Perpecahan pun terjadi di kalangan imigran Yaman antara klan Ba’alwi dan non-Ba’alwi , yang akhirnya melahirkan organisasi Al-Irsyad .
- Status Non-Pribumi dan Upaya Asimilasi
Pasca kemerdekaan, muncul desakan agar kelompok Ba’alwi digolongkan sebagai non-pribumi . NU kemudian tampil sebagai pembelaan mereka dengan harapan agar terjadi asimilasi dengan masyarakat Nusantara. Namun pada kenyataannya, kaum Ba’alwi tetap mempertahankan eksklusivitas mereka dan enggan berbaur dengan masyarakat pribumi .
- Peran dalam Gerakan Islam Pasca Orde Baru
- Sebelum tahun 1998 , aktivitas mereka terbatas pada organisasi seperti Rabithah Alawiyah dan Al-Irsyad.
- Menjelang kejatuhan Orde Baru (1998) , mereka mendapatkan kesempatan besar dengan diberi peran dalam Pam Swakarsa , yang kemudian berkembang menjadi Front Pembela Islam (FPI) .
- Melalui FPI, mereka mengubah ajaran Wali Songo , menggeser peran ulama pribumi , serta mengagungkan gelar “Habib” sebagai label cucu Nabi yang penuh dengan berbagai doktrin khurafat .
- Penyatuan Sunni dan Syiah dalam Strategi Gerakan
Dalam konteks ini, para Ba’alwi dari berbagai mazhab, termasuk yang berhaluan Syiah, bersatu dalam perjuangan politik dan sosial mereka . Hal ini membuktikan bahwa identitas keagamaan mereka sering kali lebih bersifat strategis daripada ideologi .
- Distorsi Sejarah dan Klaim Fiktif
Setelah mendapatkan momentum, mereka mulai mendorong sejarah bangsa dengan mengklaim situs-situs leluhur dan garis keturunan Wali Songo sebagai bagian dari klan mereka . Beberapa contoh klaim yang mereka buat antara lain:
- Kesultanan Siak dan Banjar diklaim berasal dari keturunan mereka,
- Makam-makam leluhur Indonesia diklaim sebagai bagian dari garis keturunan mereka,
- Kerajaan-kerajaan Nusantara terhubung dengan nasab Ba’alwi, meskipun tidak ada bukti sejarah yang mendukung klaim tersebut.
- Gerakan Dakwah yang Mengancam Kedaulatan Bangsa
Kelompok dakwah Ba’alwi semakin berkembang dengan menyebarkan narasi anti-pemerintah , serta memanfaatkan momen-momen politik untuk memperluas pengaruh mereka. FPI menjadi salah satu alat utama mereka dalam menggalang dukungan umat , hingga akhirnya dibubarkan oleh pemerintah.
- Perlawanan Ilmiah terhadap Klaim Ba’alwi
Melihat cara dakwah yang jauh dari nilai-nilai luhur , mulai muncul perlawanan ilmiah . Salah satu kajian yang paling berpengaruh adalah penelitian yang dilakukan oleh KH Imaduddin Utsman Al-Bantani . Sebagai keturunan Syekh Nawawi Al-Bantani , hasil kajiannya tidak dapat dibantah oleh Rabithah Alawiyah hingga saat ini .
- Strategi Adu Domba di Kalangan Pribumi
Untuk mempertahankan pengaruhnya, klan Ba’alwi menggunakan strategi adu domba antar-pribumi , salah satunya dengan memanfaatkan keluarga Keraton Cirebon dan Banten . Mereka memanipulasi sejarah yang kelam (babat peteng) , di mana raja yang berkuasa bukan keturunan asli Sunan Gunung Jati , untuk memperkuat posisi mereka.
Kesimpulan: Saatnya Bangkit Melawan!
Kini, pilihan ada di tangan kita. Akankah kita menyerahkan nasib anak cucu kita kepada mereka dan tetap dalam penjajahan sejarah , ataukah kita akan bangkit melawan demi menjaga warisan bangsa dan identitas asli kita ?
#BANGKIT_MELAWAN!