Misteri Abna’ al-Imam: Kompilasi, Bukan Karya Otentik

*”Misteri Abna’ al-Imam: Kompilasi, Bukan Karya Otentik”*

 

Di tengah riuhnya perdebatan nasab, satu kitab kembali dipanggungkan: Abna’ al-Imam. Dicetak oleh Dar Kinan di Damaskus, buku ini disebut-sebut sebagai karya otentik Ibnu Thobathoba—seorang nasabah abad ke-5 Hijriah yang namanya kerap dijadikan tameng legitimasi nasab oleh sebagian kalangan. Tapi benarkah demikian?

 

Kompilasi Bernuansa Manipulatif

Fakta pertama yang tak bisa ditampik: edisi Dar Kinan bukan naskah tunggal, melainkan hasil kompilasi dari empat manuskrip berbeda. Semuanya memang membahas keturunan Imam Ali, tapi menyebutnya sebagai karya asli Ibnu Thobathoba adalah tindakan manipulatif yang menyesatkan. Ini bukan karya tunggal, tapi produk suntingan dan seleksi modern. Dalam tradisi tahqiq klasik, status semacam ini hanya layak disebut sebagai ta’lif musytarak—bukan teks primer.

 

Sejarawan yang Menulis ke Masa Depan?

Salah satu bagian paling problematik adalah penyebutan tokoh Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir dalam karya yang diklaim dari abad ke-2 H. Padahal, Ubaidillah sendiri wafat tahun 383 H—lebih dari dua abad setelah kematian Ibnu Thobathoba. Jika benar dinisbahkan padanya, maka ini menempatkan sang penulis dalam posisi absurd: menulis sejarah masa depan. Dalam standar keilmuan manapun—baik klasik maupun modern—hal ini masuk kategori fiktif, bukan faktual.

 

Fitnah atau Fakta Ilmiah?

Tudingan “fitnah” kepada KH Imaduddin Utsman al Bantani dan peneliti lain justru berbalik arah. Sebab, telaah mereka mengungkap ketidakkonsistenan redaksi, penambahan bagian tanpa tanda pembeda, dan keterlibatan tangan penyusun pasca Ibnu Thobathoba seperti Ibnu Shadaqah dan Yusuf Jamalullail. Ini bukan cocoklogi, tapi kajian teks. Menolak telaah ini tanpa argumen ilmiah hanya memperlihatkan ketakutan terhadap kritik metodologis.

 

“Dicetak di Palestina” Tak Menjawab Masalah

Narasi bahwa versi lama kitab ini pernah dicetak di Palestina, bahkan ditemukan di Perpustakaan Yasu’iah, tidak serta-merta membuktikan keautentikan isinya. Dalam ilmu filologi, validasi teks tidak cukup dengan melihat tempat cetak atau usia manuskrip. Yang diuji adalah kapan dan oleh siapa isi naskah itu ditulis. Dan jika isi naskah memuat tokoh dari abad ke-4 H dalam teks abad ke-2 H, tanpa keterangan revisi atau interpolasi, maka itu adalah cacat ilmiah.

 

Bandingan yang Salah Kaprah

Upaya membandingkan Abna’ al-Imam dengan al-Umm karya Imam Syafi’i adalah tindakan bunuh diri argumen. Al-Umm ditulis langsung oleh Imam Syafi’i dan diajarkan kepada murid-muridnya seperti al-Rabi’ al-Muradi, dengan sanad yang terjaga. Sementara Abna’ al-Imam? Tak ada bukti manuskrip primer, tak ada sanad keilmuan, dan isinya berisi narasi pasca wafatnya penulis yang diklaim. Ini seperti membandingkan emas murni dengan logam daur ulang.

 

Kesimpulan: Bukan Sumber Valid

Dengan berbagai kejanggalan metodologis, Abna’ al-Imam tidak layak dijadikan rujukan dalam urusan nasab. Ia hanyalah kompilasi longgar, disusun belakangan, tanpa otoritas keilmuan langsung dari Ibnu Thobathoba. Tuduhan “fitnah” kepada para pengkritik justru dibantah oleh fakta-fakta tahqiq dan ilmu sejarah yang mapan.

Dan satu hal yang harus digarisbawahi:

Jika benar nasabmu sah, kenapa perlu kitab rancu untuk membuktikannya?

Logika tak bisa dibohongi. Apalagi di era genetika sekarang.




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *