Ulama Pribumi Indonesia, Pemimpin Dunia yang Terlupakan

*Ulama Pribumi Indonesia, Pemimpin Dunia yang Terlupakan*

Ketika dunia Islam menoleh ke arah Timur, pada satu titik sejarah, sorotan itu jatuh kepada para ulama dari Tanah Jawa, dari Tanah Melayu, dari Sumatra, dari pesantren-pesantren terpencil yang tak banyak dikenal oleh dunia modern. Dari sanalah, lahir para pemimpin ilmu pengetahuan Islam yang tak hanya mewarnai Nusantara, tetapi juga mewarnai dunia Islam secara keseluruhan.

Namun ironisnya, di tengah riuhnya penghormatan umat Islam Indonesia kepada tokoh-tokoh luar negeri yang sering hanya dikenal dari layar gawai atau poster majelis, para ulama besar tanah air justru tak banyak dikenal, bahkan oleh bangsanya sendiri.

Padahal, sejarah mencatat dengan tinta emas: ulama-ulama Nusantara telah menjadi imam, mufti, bahkan guru besar di tanah suci Makkah dan Madinah—sesuatu yang tak bisa dicapai sembarang orang, kecuali yang benar-benar mumpuni dalam ilmu.

Sebut saja nama *Syekh Ahmad Zakaria*—lebih dikenal sebagai Mama Eyang Rende—ulama asal Indonesia yang selama *13 tahun menjadi imam Masjidil Haram*. Buyutnya, Sayyid Seif Alwi, kini menjadi pimpinan Majelis Ahbaburrosul Indonesia, yang tetap menapaki jalur keilmuan dan dakwah dengan kesederhanaan.

Ada pula *Syekh Yasin al-Padani*, ulama besar asal Sumatera Barat, yang menjadi *guru besar di Madinah dan Makkah*. Ulama satu ini dikenal luas dalam khazanah keilmuan hadis dan menjadi rujukan internasional.

Lebih ke belakang lagi, tercatat *Syekh Nawawi al-Bantani*, putra Banten yang semasa hidupnya menjabat sebagai *mufti di Mekkah*, menulis lebih dari 100 kitab yang sampai kini menjadi rujukan di berbagai perguruan tinggi Islam dunia. Beliau adalah “Sayyidul Ulama al-Hijaz”, gelar tertinggi untuk ulama non-Arab di tanah Hijaz.

Tak kalah berwibawa, *Kiai Aang Nuh Gentur* dari Cianjur diakui kedalaman fikihnya oleh para ulama dunia, sebagaimana *Abuya Muhtadi Dimyathi*, ulama Banten yang pernah diminta menjadi Mufti oleh Kerajaan Arab Saudi. Beliau menolak dengan alasan ingin tetap mengajar santri di tanah air.

Namun, mengapa tokoh-tokoh besar seperti ini tidak dielu-elukan seperti layaknya ustaz selebritas atau dai luar negeri yang hanya sesekali datang ke Indonesia?

Fenomena ini memperlihatkan kegamangan identitas di tengah umat. Masyarakat seolah lebih percaya pada ulama yang memiliki embel-embel gelar dari luar negeri seperti “Lc” (licentiate), meski baru setingkat sarjana muda. Sementara di pesantren-pesantren tradisional kita, kitab seperti Safinatun Najah sudah diajarkan sejak awal bagi santri pemula—padahal kitab ini menjadi materi mahasiswa di Universitas Al-Azhar Kairo.

Hal ini menunjukkan bahwa *pesantren di Nusantara telah menjadi benteng terakhir ilmu Islam yang otentik, lengkap, dan bersanad.*

 

*Kontras dengan Klaim Palsu*

Sebaliknya, ketika kita berbicara mengenai sebagian kelompok yang mengaku sebagai dzuriyat Nabi Muhammad SAW, terutama dari kalangan Ba’alwi, kita dihadapkan pada realitas yang jomplang. Klaim nasab tinggi ternyata tidak selalu sebanding dengan kedalaman ilmu ataupun kontribusi terhadap peradaban Islam.

Fakta menunjukkan, *nyaris tak ada satu pun dari kalangan Ba’alwi yang menjadi pemimpin keilmuan di kancah dunia Islam*. Bahkan, banyak di antara mereka justru tidak mampu membaca kitab kuning, tidak pernah menyusun karya ilmiah keislaman, dan lebih dikenal sebagai figur populer di media sosial atau pengisi acara-acara ritual yang penuh glorifikasi diri.

Lebih jauh lagi, sejarah mencatat, Sunan Giri dan Wali Songo yang merupakan dzuriyah asli Nabi Muhammad SAW, dikenal karena kerendahan hati, kontribusi nyata, dan sikap menyatu dengan rakyat. Mereka menanggalkan gelar-gelar kebangsawanan, memilih nama-nama lokal seperti Raden, Kiai, atau Gus, demi mendekatkan Islam kepada masyarakat.

Bandingkan dengan sebagian kelompok yang justru memamerkan gelar “Habib” secara eksklusif, bahkan menjadikannya alat politik dan kekuasaan, jauh dari semangat dakwah santun ala Wali Songo.

 

*Menghargai Ulama Pribumi, Merawat Akar Peradaban*

Sudah saatnya umat Islam di Indonesia menyadari bahwa kebanggaan terhadap ulama lokal adalah bentuk kecintaan terhadap ilmu dan integritas keislaman.

Indonesia adalah ladang subur ilmu. Santri-santri kita membaca ribuan kitab klasik dengan sanad yang bersambung, tidak hanya menghafal, tapi memahami dan mengamalkan. Kiayi-kiayi kita bukan hanya guru, mereka adalah penjaga warisan Rasulullah SAW—dalam akhlak, keilmuan, dan sikap hidup.

Maka, jangan heran jika banyak ulama luar negeri justru datang belajar ke Indonesia. Karena di sini, ilmu tidak hanya diajarkan, tapi dihidupi. Di pesantren, kitab kuning bukan sekadar teks, tapi terang akhlak dan cahaya peradaban.

Bangga menjadi Muslim Indonesia, berarti bangga terhadap ulama-ulamanya. Mereka bukan hanya pewaris ilmu, tapi penjaga peradaban Islam yang hidup dan membumi.

 




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *